Koalisi Peringatan Aksi Buruh Migran International 2013 (KOPER BUMI)
Berikan Perlindungan Sejati Bagi Buruh Migran Indonesia & Keluarganya, Bongkar dan Lawan Skema Kebijakan Ekspor Tenaga Kerja Mengatasnamakan Pembangunan, Tolak Segala Bentuk Pemerasan dan Penindasan Mengatasnamakan Perlindungan
Lahirnya konvensi PBB 1990 pada 18 Desember tentang perlindungan Buruh migran dan keluarganya adalah satu bentuk pengakuan bahwa buruh migran dan keluarganya sangat rentan terhadap penindasan dan eksploitasi dan harus diberikan perlindungan. Namun disisi lain, kontribusi buruh migran terhadap kemajuan negara tempatnya bekerja di aspek ekonomi, sosial dan budaya dan terhadap negera asalnya melalui remitansi yang dikirimkannya tidak terbantahkan. Sejak saat itu, tanggal 18 selalu diperingati sebagai hari migran internasional.
Setelah menunda selama 22 tahun, akhirnya pada tanggal 12 April 2012 pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB 1990. Lalu apakah kondisi BMI dan keluarganya telah membaik setelah ratifikasi? Sudahkah BMI dan keluarganya menikmati perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan?
Kenyataan di lapangan membuktikan BMI dan keluarganya masih tetap menjadi objek pemerasan, penindasan dan bahkan penelantaran di dalam dan luar negeri. Perlindungan hukum yang dijanjikan belum direalisasikan hingga sekarang. Pemerintah yang seharusnya menciptakan Undang-Undang perlindungan berpedoman pada prinsip Konvensi PBB 1990, justru merevisi UUPPTKILN No. 39/2004 dengan prioritas penempatan.
Atas nama Perlindungan, SBY-Boediono memeras dan menindas buruh migran
Saat ini, tercatat sekitar 8 juta tenaga kerja di luar negeri dan 80% adalah perempuan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). BNP2TKI menyatakan jumlah warga Indonesia yang bekerja diluar negeri mencapai 3.998.592 orang, terbesar di Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang)
Peningkatan drastis terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil mendongkrak pengiriman menjadi 700.000 orang/tahun dengan pemasukan devisa Rp. 100 trilyun/tahun. Namun jumlah ini dianggap belum memenuhi target pemerintah yang menginginkan penempatan 1-2 juta orang/tahun dengan harapan devisa bisa dinaikan menjadi Rp. 125 triliun/tahun.
Untuk itulah, SBY-Boediono merevisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri No. 39 tahun 2004 (UUPPTKILN No.39/2004) guna menghapus hambatan-hambatan yang menghalangi percepatan ekspor tenaga kerja.
Namun di mata BMI dan keluarganya, revisi UU semakin memperjelas niat sebenarnya dari pemerintah yaitu menjadikan ekspor tenaga kerja sebagai industri negara untuk mengurangi pengangguran, solusi instan bagi kemiskinan dan memberikan pemasukan bagi pemerintah yang di ambang kebangkrutan. Lebih dari itu, pemerintah juga mengesahkan pelepasan tanggungjawab perlindungan terhadap BMI dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan perusahaan Asuransi. Proses revisi inipun hanya melibatkan PJTKI/agensi dan 7 lembaga pemerintahan tapi meniadakan pelibatan aktif serikat atau organisasi buruh migran di dalam dan luar negeri. Lalu apa jaminannya jika Undang-Undang yang ditelurkan melalui revisi kali ini akan sungguh-sungguh menjawab persoalan-persoalan kongkret buruh migran dan keluarganya?
BMI di Luar Negeri: Diekspor dan Ditelantarkan Negara
Diluar negeri, buruh migran hanya dimanfaatkan tenaga kerjanya sebagai buruh murah, kontrak dan sementara tanpa jaminan kerja serta hak menetap. Lebih dari itu, uang hasil kerja (remitansi) juga dimanfaatkan untuk mengsubsidi rakyat miskin (keluarga) dan menggerakan roda ekonomi di negara asalnya yang sudah macet.
BMI dihisap dengan dijadikan buruh murah tanpa hak layak, diikat dengan berbagai kebijakan, seperti tidak adanya kontrak kerja, batasan tinggal, pelarangan pindah majikan atau kerja, jam kerja panjang, dsb (labour flexibility, contractualization). Bahkan tidak mendapat pengakuan hukum dari negara tempatnya bekerja.
Akibat dari penyerahan wewenang secara penuh (Pengiriman, penempatan, pemulangan) kepada PJTKI/Agensi, BMI harus menanggung biaya yang sangat tinggi, ditahan dokumennya (paspor, kontrak kerja, sertifikat tanah, BPKB, Akta kelahiran, surat nikah, ijasah dll). BMI terpaksa mengalami perbudakan hutang dan bekerja tanpa digaji berbulan-bulan seperti budak dijaman moderen. Dengan adanya jalur satu pintu pemerintah terbukti berkolaborasi dan melindungi PJTKI dan agen-agen dalam mengeksploitasi buruh migran. Semua traning yang berhubungan dengan buruh migran diserahkan sepenuhnya kepada PJTKI. Ini merupakan saru bukti pemerintah gagal memberikan orientasi yang benar bagi para calon BMI tentang kondisi dan hak mereka di negara penempatan.
Sampai detik ini pemerintah belum menciptakan MoA (Memorandum of Agreement) dengan negara penempatan sebelum mengekspor buruh migrannya. Nasib BMI diserahkan kepada peraturan negara penempatan. Pemerintah gagal memenuhi harapan buruh migran untuk mempunyai kontrak kerja standar dengan hak-hak yang diakui dan dilindungi negara penempatan. Sehingga BMI terpaksa bertahan dengan kondisi yang tidak manusiawi, tidak diberi hak-hak normatifnya, mengalami pelecehan seksual, penganiayaan, bahkan tidak sedikit pulang hanya membawa nama. Hingga tahun 2013 ini sedikitnya ada 420 buruh migran yang masih terancam hukuman mati di luar negeri. Malaysia 351 orang, China 22 orang, Singapura satu orang, Manila satu orang, dan Saudi Arabia 45 orang. Ada 5 Buruh Migran di Saudi Arabia yang menunggu di eksekusi mereka adalah : Satinah, Siti Zaenab, Tuti Tursilawati, Aminah dan Darmawati.
Belum lagi saat ini BMI sedang diresahkan dengan adanya peraturan wajib KTKLN (Kartu Tenaga Kerja luar Negeri). Kartu ini hakikatnya adalah skema perampasan upah dengan dalih asuransi. Setiap BMI dipaksa membeli doble asuransi (BMI sudah diasuransikan di negara penempatan). Selain itu, dikarenakan pembuatannya dengan persyaratan yg berbeda-beda disetiap daerah dan pembuatannya hanya dikota-kota besar ini menjadi ajang pemerasan. Belum lagi BMI harus mengalami pemerasan di Bandara akibat dari kebijakan KTKLN dan Terminal khusus TKI.
Sampai saat ini pemerintah juga belum menyediakan mekanisme penuntutan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak dan kemanusiaan terhadap BMI dan keluarganya yang dilakukan PJTKI dan agensi. Kondisi BMI di luar negeri sudah sangat menderita, didiskriminasikan oleh negara penempatan. Belum lagi nasib ribuan ABK yang sampai saat ini, tidak dilindungi didalam Undang-undang, Pemerintah hanya saling lempar terhadap permasalahan ABK. Ibarat bola hanya dijadikan permainan tending sana sini, tanpa ada kepastian. Terlebih BMI dipaksa menggunakan agensi sehingga BMI terpaksa dalam hal apapun berurusan dengan agensi. Pemerintah gagal menyediakan sistem pelayanan bagi BMI diluar negeri sehingga mereka tahu kemana dan bagaimana mencari pertolongan ketika membutuhkan.
Buruh Migran Lahir Dari Pemiskinan
Buruh migran terpaksa bermigrasi karena kemiskinan kronis di Indonesia, sebagai imbas dari penghisapan panjang negara-negara adikuasa (imperialis) terhadap alam dan rakyat. Penghisapan inilah yang kemudian perlahan melahirkan gelombang kemiskinan yang kian melebar. Kelaparan, buta huruf, penyakit menular, tingginya tingkat kematian menjadi konsekwensi yang tidak terhindarkan. Akhirnya, rakyat yang menanggung semua konsekwensinya perlahan meninggalkan kampung halaman untuk bekerja ke kota, pulau lain dan luar negeri sebagai buruh murah. Penghisapan ini yang menghancurkan masyarakat kita dan menggusur kita dari tanah kita sendiri.
Di tengah krisis global, pemerintah menciptakan ilusi bahwa program pengiriman tenaga kerja bisa bermanfaat untuk pembangunan. Tetapi siapa yang diuntungkan dari program ini? Tentunya segelintir para pemodal dunia termasuk WTO dan para pejabat negara pengikutnya yang sedang berusaha menghidupkan kembali sistem globalisasi neoliberal. Sebuah skema yang dilegalisasikan melalui Global Forum on Migration and Development (GFMD).
Akibat dari krisis yang semakin akut, kondisi rakyat Indonesia akan semakin buruk, terlebih rezim SBY- Boediono telah berhasil mengegolkan paket Bali (WTO) melalui menteri perdagangan Gita Wiryawan. Kemiskinan, penghisapan, penggusuran/perampasan tanah, dan represi terhadap rakyat semakin merajalela. PHK masal akan terjadi, dikarenakan adanya penggantian tenaga manusia dengan mesin akibat dari over produksi mesin-mesin.
Pemilik modal besar asing sengaja menciptakan Ekspor Buruh Migran untuk menghadapi krisis, dengan menciptakan buruh murah dan sistim kontrak agar laba yang diterima terus bertambah. Indonesia sebagai negara anggota WTO dan juga sekaligus sebagai boneka negara adikuasa juga menerapkan kebijakan yang diiginkan oleh tuannya negara adikuasa pimpinan Amerika Serikat. WTO merampasi sumber hidup dan merendahkan martabat rakyat dunia.
Segera Akhiri Kemiskinan dan Ekspor Tenaga Kerja
Perlindungan sejati bagi buruh migran tanggungjawab negara bukan swasta
Sampai detik ini, pemerintahan SBY-Boediono tidak pernah memberikan pertanggung jawaban yang kongkrit atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan Keluarganya. Penyelesaian- penyelesaian kasus hanya diselesaiakan lewat politik pencitraan dan pembenaran yang dilakukan tanpa malu, pembentukan satgas – satgas yang hanya menghabiskan anggaran negara.
Dalam moment hari migran sedunia, BMI dan Keluarganya harus berorganisasi dan bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya untuk menuntut diciptakannya UU Perlindungan Sejati bagi BMI dan Keluarganya, sesuai dengan konvensi PBB 1990. Mengingat besarnya jumlah buruh migran PRT diluar negeri, pemerintah harus segera meratifikasi konvensi ILO C189.
Namun tuntutan-tuntutan tersebut tidak akan pernah dipenuhi tanpa persatuan dan gerakan dari buruh migran dan keluarganya itu sendiri. Bersama segenap elemen rakyat Indonesia yang mendukung, mari menuntut pemerintah untuk segera memenuhi perlindungan sejati bagi buruh migran. Namun lebih dari itu agar segera dipenuhinya lapangan kerja dengan upah layak dan jaminan sosial di negeri sendiri.
Tuntutan BMI & Keluarganya:
- Cabut UUPPTKILN No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Ganti dengan UU Perlindungan Sejati BMI!
- Berlakukan Kontrak Mandiri! Hentikan Pemaksaan Masuk ke PJTKI!
- Training Calon TKI Harus Diberikan Oleh Pemerintah Secara Gratis!
- Stop Overcharging! Ciptakan Peraturan Biaya Penempatan yang adil, transparan dan murah!
- Ratifikasi Konvensi 189 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga! Ciptakan Kontrak Kerja Standar bagi seluruh BMI!
- Terapkan Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Bagi Buruh Migran dan Keluarganya dan membuat serta merubah kerangka hukum nasional dengan mengacu kepada Konvensi PBB tahun 1990.
- Hapus Monopoli pengiriman melalui PJTKI dan agensi! Berikan hukuman pidana pada PJTKI/Agen/Calo!
- Ciptakan mekanisme penuntutan ganti rugi bagi BMI dan keluarganya korban pemerasan!
- Akui hak-hak BMI tak Terdokumentasi (undocumented)!
- Akui ABK sebagai BUruh Migran!
- Bebaskan 420 BMI dari Hukuman Mati!
- Tuntaskan Segera BMI Undocumented di Arab Saudi!
- Hapuskan Mandatory Asuransi dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).
- Berlakukan Kontrak Mandiri bagi BMI!
- Akui Kebebasan Berserikat/Berorganisasi sebagaimana yang diatur dalam UU Serikat Buruh/Pekerja.
- Hapuskan Terminal Khusus TKI!
- Berikan Perlindungan Sejati Bagi BMI (Pelayanan Langsung Pemerintah Bukan swastanisasi).
- Hentikan ekspor tenaga kerja, Ciptakan Lapangan Kerja, Berikan Perlindungan Sejati Bagi Buruh Migran dan Keluarganya!
Jakarta, 18 Desember 2013
Koalisi Peringatan Aksi Buruh Migran Internasional 2013 (KOPER BUMI)
Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI Indonesia), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) FSPILN, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Independent (GSBI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Front Mahasiswa Nasional (FMN), SPOI, ISBI, Gerakan Kedaulatan Rakyat Merdeka, KPO PRP, Gerakan Orang Internasional (GOI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLB), SBSI 92, SPN, LAKI 45, KSBSI, FRONTJAK, Serikat Buruh Migran Gasbiindo