Jakarta (ANTARA News) – Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Restaria F. Hutabarat mengimbau Badan Usaha Milik Negara untuk menghapuskan sistem alih daya (outsourcing) guna “melawan” kebijakan yang dinilai merugikan kaum pekerja itu.
“Para karyawan `outsourcing` cenderung mendapat gaji lebih kecil dibanding karyawan tetap. Mereka juga rentan terhadap pelanggaran ketenagakerjaan, seperti PHK tiba-tiba, nilai gaji yang tidak pantas, dan kehilangan hak-hak normatif,” kata Restaria di Jakarta, Kamis.
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam seminar bertema “Jaminan Kepastian Kerja dan Upaya Pemenuhan Hak Pekerja di BUMN” yang diadakan oleh Gerakan Bersama Pekerja BUMN (Geber BUMN) dan Serikat Pekerja Antara.
Pakar hukum ketenagakerjaan itu berharap para direksi BUMN dapat bersama-sama berkomitmen menghapus sistem “outsourcing”. Komitmen itu akan dianggap sebagai langkah kecil menuju pemberantasan sistem tersebut di Indonesia.
“Sangat mungkin bagi BUMN untuk membuat komitmen tersebut di antara mereka sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, sistem “outsourcing” dalam ketenagakerjaan di Indonesia telah lama menjadi isu perdebatan.
Pada tahun 2012, sekitar tiga juta pekerja turun ke jalan di berbagai kota di Tanah Air menuntut kenaikan upah, penghapusan sistem “outsourcing”, dan asuransi kesehatan bagi seluruh pekerja Indonesia pada tanggal 1 Januari 2014.
Pada kesempatan itu, Restaria juga meminta Pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003, terutama Pasal 64, 65, dan 66 yang mengatur perjanjian “outsourcing”, antara perusahaan penyedia jasa “outsourcing” dan perusahaan pengguna jasa.
“Harus ada perjanjian kerja sama yang jelas antara perusahaan jasa `outsourcing` dan perusahaan pengguna jasa. Ini akan meminimalkan timbulnya masalah,” katanya.
Lebih lanjut mengatakan,”Kalaupun ada masalah di kemudian hari, akan ada kerangka hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah itu.”
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan jasa “outsourcing” yang mengabaikan hak-hak pekerja karena perusahaan semacam itu akan merusak hubungan ketenagakerjaan.
“Perusahaan jasa `outsourcing` yang buruk dapat merusak hubungan antara pekerja dan pengusaha, dan hal seperti ini telah memicu demonstrasi,” katanya.
Sofjan juga mengatakan bahwa banyak perusahaan jasa “outsourcing” yang mengambil bagian dari upah yang diberikan pengusaha kepada pekerja.
“Pada intinya, Pemerintah harus memantau dan menempatkan perusahaan jasa `outsourcing` dalam kerangka aturan yang jelas sehingga pekerja dapat memperoleh pendapatan layak,” ujarnya.(*)
Sumber: antara