Sidang peradilan tata usaha negara untuk perkara penggembokan dan pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah Jatibening Bekasi yang merupakan tempat beribadah dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Jatibening Bekasi kembali digelar Kamis, 05 November di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dengan agenda pembacaan Putusan dari Majelis Hakim. Dalam putusannya, untuk sengketa pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah melalui Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 yang ditandatangani oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari Penggugat yaitu Abdul Basit selaku Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk seluruhnya dengan pertimbangan bahwa Plh atau Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Kota Bekasi yaitu Asisten Pemerintahan Kota Bekasi tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 untuk melakukan pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jatibening Bekasi sehingga dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Perintah Tugas yang dikeluarkan oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi tidak sah.
Namun yang menjadi pertanyaan Majelis Hakim yang sama dalam satu Pengadilan memutuskan hal yang sangat bertolak belakang pada perkara penggembokan, justru dalam Putusannya menolak gugatan Penggugat dengan pertimbangan bahwa Tergugat yaitu Walikota Bekasi dalam mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/422-Kesbangpolinmas/III/2013 untuk melakukan penggembokan pagar Masjd Al-Misbah Jatibening Bekasi sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lagi apakah keputusan yang dikeluarkan ini melanggar AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik) atau tidak serta tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh Penggugat baik ahli Hak Asasi Manusia maupun ahli Penanganan Konflik Sosial.
Fakta persidangan menunjukan, bahwa dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini ternyata tidak serta merta dapat melindungi hak asasi dari warga negara untuk dapat beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya karena Pengadilan yang merupakan sebuah institusi untuk mencari keadilan pun tidak dapat memberikan keadilan itu. Bukan hanya itu saja, Peraturan Walikota Bekasi Nomor 14 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah jelas bertetangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga UUD 1945.
Adanya putusan yang berbeda dalam satu pengadilan padahal peristiwa hukum dan dasar hukumnya sama sangat menggangu kepastian hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. Hal ini seolah menunjukan bahwa para hakim dalam memutus dan mengadili perkara berdiri sendiri. Seharusnya ketika Majelis Hakim PTUN Bandung mengabulkan gugatan untuk perkara pengesengan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 yang ditandatangani oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi, PTUN Bandung juga harus mengabulkan gugatan untuk perkara Surat Perintah Tugas Nomor: 800/422-Kesbangpolinmas/III/2013 untuk melakukan penggembokan pagar Masjd Al-Misbah Jatibening. Atas dasar tersebut LBH Jakarta menyayangkan disparitas putusan yang dikelurakan PTUN Bandung karena berdampak pada terlanggarnya hak atas tempat ibadah yang berdampak pada hak beribadah warga negara dalam hal ini Jemaat Ahmadyah Indonesia.
Jakarta, 09 Desember 2013
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
Kontak: Isnur: 0815 1001 4395, Atika: 0813 8339 9078 , Tiwi: 0813 8740 0670