Pada 16 November 2013, bertepatan dengan hari intoleransi internasional, LBH Jakarta, Yayasan Cahaya Guru, dan Indonesia Conference on Religion and Peace, menyelenggarakan workshop yang bertema “Kebhinekaan, Kemanusiaan, dan Pendidikan Agama Yang Lapang”, di Gedung LBH Indonesia, Jl. Diponegoro 74 Jakarta. Workshop ini melibatkan Guru-guru tingkat SD-SMA di Jabodetabek. Workshop ini diadakan karena adanya keprihatinan meningkatnya intoleransi di masyarakat Indonesia. Guru, termasuk guru agama dipandang sebagai aktor kunci yang mampu menumbuhkembangkan toleransi antar umat beragama.
Workshop ini dibuka oleh Henny Supolo, Ketua YCG yang kebetulan juga anggota Dewan Pembina LBH Indonesia. Dilanjutkan oleh Prof. Musdah Mulia, yang menekankan pentingnya membangun nilai-nilai penghormatan, toleransi, dan kesatuan, di tengah-tengah perbedaan latar belakang agama atau keyakinan bangsa Indonesia.
F.Yonesta, dari LBH Jakarta memandu para guru untuk memahami toleransi beragama. Yonesta mengingatkan semakin menurunnya tingkat toleransi beragama di Indonesia. Stigma, pengucilan, pelecehan, dan segregasi menjadi modal terjadinya penghancuran satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Padahal, masyarakat sepenuhnya sadar bahwa siapapun akan sepakat pada nilai-nilai universal seperti persaudaraan atau tolong-menolong. Dan tidak menyetujui tindakan diskriminasi, perampasan harta, atau pembunuhan, yang seharusnya ada di dalam ajaran-ajaran setiap agama.
Workshop kemudian dilanjutkan dengan melakukan permainan untuk mengajak guru-guru merasakan jika mereka berada di dalam kelompok agama minoritas, yang menerima perlakuan diskriminatif selama ini, sehingga menjauh dari kesejahteraan dan kedamaian yang menjadi dambaan setiap orang. Dari permainan tersebut, salah seorang guru mengungkapkan keprihatinannya karena kelompok mayoritas semestinya dapat mengulurkan tangan menolong minoritas, bukan mendiskriminasi mereka.
Di dalam workshop ini, hadir pula empat orang perwakilan kelompok minoritas keagamaan, antara lain: Penghayat Kepercayaan, Ahmadiyah, HKBP Filadelfia, dan Paroki Parung. Mereka berbagi pengalaman diskriminatif yang dialami dan berharap dapat beribadah dengan aman, masyarakat Indonesia bisa menerima perbedaan, dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka.
Workshop ditutup dengan cerita tentang perbedaan bagaikan rangkaian nada, yang akan terdengar lebih indah, dibandingkan dengan hanya satu nada.