RKUHAP UNTUK MENCEGAH TERJADINYA SALAH TANGKAP
Kasus pembunuhan Dicky Maulana terjadi pada Minggu 30 Juni 2013. Dalam kasus itu, 6 terdakwa yang terdiri dari 2 pria dewasa dan 4 bocah di bawah umur diciduk Sub Direktorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Mereka kemudian didakwa dalam berkas terpisah. Satu berkas untuk 2 terdakwa dewasa, yakni Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges. Serta 1 berkas untuk terdakwa berinisial FP (16), F(14), BF (16), dan AP (14). Dimana Selasa 1 Oktober lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Suhartono sudah menjatuhkan vonis 4 tahun untuk terdakwa FP; 3,5 tahun untuk terdakwa F; serta 3 tahun untuk terdakwa BF dan AP. Keempatnya dinyatakan secara sah terbukti melakukan pembunuhan terhadap Dicky. Sedangkan terdakwa Andro dan Nurdin sampai saat ini masih dalam proses hukum[1].
Namun Seorang pengamen dengan inisial, IP (18) ditangkap warga Ciledug. IP mengakui bahwa ia orang yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Dicky Maulana, beberapa bulan lalu di Cipulir, Jakarta Selatan. Dalam pengakuaan IP bahwa pelaku yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Dicky Maulana adalah Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges. Tetapi yang menjadi masalah, pihak kepolisian enggan melakukan proses hukum terhadap IP, dengan berbagai macam alasan.
Kasus salah tangkap, masih kerap mewarnai ketika kepolisian dalam melakukan penegakan hukum pidana. Sebelumnya pada tanggal 17 Oktober 2013 seorang warga Bekasi yang bernama Robin Napitupulu (25), menjadi korban korba salah tangkap dan juga mengalami kekerasan dari pihak kepolisian. Kasus yang lain menimpa Ruben Pata Sambo (72) yang kini mendekam di LP Lowokwaru, Malang. dan tengah menunggu eksekusi mati, menjadi polemik dalam dunia hukum kita. Ia bersama dua anaknya dipidana atas tuduhan membunuh satu keluarga pada 23 Desember 2005 silam. Namun, ternyata bukan mereka pelaku sebenarnya, empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya telah ditangkap dan menyatakan bahwa Ruben dan anak-anaknya bukanlah pelaku pembunuhan.
Kasus salah tangkap dan peradilan sesat semestinya harus diakhiri dan dapat dicegah, namun faktanya sampai saat ini masih tetap terjadi seperti yang dialami oleh Sengkon dan Karta, dan David Kemat. dan hal ini dikarenakan tidak dipenuhinya hak-hak mereka sebagai tersangka/terdakwa.
Dalam catatan LBH Jakarta bahwa, sejak tahun 2009-2012 ada delapan kasus salah tangkap yang terjadi diwilayah hukum Polda Metro Jaya, namun disayangkan nama para korban salah tangkap belum dipulihkan.
Atas terjadinya kasus salah tangkap dan peradilan sesat disebabkan karena pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, diantaranya[2];
- Tidak diinformasikannya Hak-Hak Tersangka/Terdakwa, khususnya hak bantuan hukum, atau tersangka dikondisikan kehilangan hak-haknya. Dengan kondisi kehilangan haknya tersebut, maka hak-hak tersangka atau terdakwa yang lainnya berpotensi untuk dilanggar
- Tidak jelasnya kriteria penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa
- Proses Pemeriksaan (penahanan) di setiap tingkatan berlangsung lama.
- Dilakukannya Penyiksaan dan Penggunaan Kekerasan Untuk Memperoleh Informasi
- Pelanggaran Hak untuk Mendapatkan Bantuan Hukum.
- Hak untuk menghadirkan saksi/ahli yang meringankan tidak seimbang dengan saksi/ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.
- Sulitnya menuntut ganti rugi akibat penangkapan dan penahanan yang tidak sah
Dari uraian diatas, diperlukan suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya salah tangkap dan peradilan sesat serta pemulihan yang efektif bagi para korban salah tangkap dan peradilan sesat. Salah satunya melalui pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Untuk membahas dan memotret akar masalah kasus salah tangkap dan apa yang harus dilakukan khususnya kasus yang menimpa anak-anak pengamen, yang diduga kuat bahwa para pelaku yang ditangkap oleh Polda Metro Jaya merupakan korban salah tangkap, namun sampai saat ini masih mendekam dipenjara.
Oleh karenanya LBH Jakarta ingin mengadakan diskusi publik dengan topik “RKUHAP Untuk Mencegah Terjadinya Salah Tangkap.
I. TUJUAN Diskusi Publik
Adapun tujuan dilaksanakannya diskusi publik tersebut diantaranya;
- .Untuk mengetahui akar masalah kasus-kasus salah tangkap.
- Adanya masukan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus salah tangkap dalam pembaruan KUHAP.
- Adanya masukan bagi aparat penegak hukum apabila terjadi kasus salah tangkap dalam konteks pemulihan dan menemukan pelaku sebenarnya yang melakukan tindak pidana.
II. Output Diskusi Publik.
Adapun Output dalam diskusi publik ini yaitu
- Adanya masukan dari berbagai pakar hukum, lembaga negara dan masyarakat sipil dalam menemukan akar masalah atas terjadinya kasus-kasus salah tangkap.
- Adanya masukan dari berbagai pakar hukum, lembaga negara dan masyarakat sipil untuk mencegah terjadinya kasus-kasus salah tangkap.
- Adanya masukan dari para pakar hukum lembaga negara dan masyarakat sipil untuk mencegah terjadinya kasus-kasus salah tangkap dalam pembaruan KUHAP.
III. Narasumber
Narasumber dalam diskusi publik ini, yaitu;
- Kabareskrim Mabes Polri atau Perwakilan Mabes Polri.
- Pakar Hukum.
- Perwakilan dari Koalisi KuHAP.
- Pengacara Publik LBH Jakarta.
IV. Peserta
– Koalisi KuHAP.
– LSM.
– Masyarakat Sipil.
– Wartawan/Jurnalis.
V. Waktu dan Tempat
Diskusi publik ini akan dilaksanakan pada:
Hari/ Tanggal : Jumat, 25 Oktober 2013
Waktu : Pukul 13.30 WIB-selesai
Tempat : Lantai 1 Kantor LBH Jakarta (Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat).
VI. Penutup
Demikianlah Kerangka Acuan ini kami buat. Kiranya dapat menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terimakasih.