LBH Jakarta bersama dengan mahasiswa dan jaringan yang tergabung dalam Komite Nasional Pendidikan mengajukan Judicial Review atas UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi. UU ini muncul setelah UU Badan Hukum Pendidikan [UU BHP] dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena menghilangkan kewajiban negara, mempersulit akses pendidikan, menjadikan biaya pendidikan mahal, mengubah paradigma pendidikan menjadi barang dagangan, dan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan menjadi terhalang. LBH Jakarta menolak UU Dikti karena UU ini hanyalah UU BHP yang berganti baju. Secara substansi, UU ini sama saja, yakni liberalisasi pendidikan yang melepaskan tanggung jawab negara kepada mekanisme pasar, sehingga pendidikan tinggi menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan. Padahal, penyelenggaraan pendidikan merupakan kewajiban negara berdasarkan amanah UUD 1945.
Pokok permohonan Pemohon dalam Judicial Review ini terbagi atas:
- Bentuk badan hukum pendidikan tidak boleh melanggar kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Hal in didasarkan pada pendapat Mahkamah Konstitusi, yakni apapun bentuk badan hukum yang menjadi pilihannya tidak boleh menyebabkan hilangnya kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan. Upaya pemerintah merubah Perguruan Tinggi Negeri menjadi PTN Badan Hukum merupakan upaya pelepasan tanggung jawab negara melalui delegasi kepada Badan Hukum yang memiliki kewajiban, hak, dan tujuannya sendiri. Ke depannya, Perguruan Tinggi harus secara mandiri memenuhi segala kebutuhan penyelenggaraan kegiatan akademis dan nonakademis. Hal ini berpotensi menggelembungkan biaya pendidikan.
- Bentuk Otonomi Pengelolaan dalam Pasal 64 dan 65 UU Dikti Melanggara Hak Atas Pendidikan. Secara eksplisit dalam kedua pasal diatas, bahwa otonomi pengelolaan pendidikan tinggi pada pasal 64 penyelenggaraannya pada pasal 65 sebatas pada Pola Pengelolaan Keuangan. Penyelenggaraan otonomi akademik dan nonakademik diartikan pemerintah hanya pada mekanisme pengelolaan anggaran, bukan pada tujuan perguruan tinggi yang melaksanakan Tri Dharma pendidikan. Mahkamah Konstitusi pernah mengkritisi latar belakang pembentukan Badan Hukum Pendidikan, apakah otonomi pengelolaan sebagai keharusan normatif? Apakah betul bahwa ada hubungan kausal fungsional antara otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila? Artinya, apakah untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut secara mutlak harus diperlukan otonomi pengelolaan pendidikan formal? Kemudian dipertegas oleh Pemohon, Apakah otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan sebuah keharusan yang diamanatkan oleh UUD 1945? Dengan demikian pengharusan otonomi pegelolaan pendidikan tinggi berpotensi besar melanggar akses hak atas pendidikan bagi sebagian besar anak bangsa.
- Di dalam UU Dikti disebutkan bahwa, PTN badan hukum memiliki kekayaan, tujuan, hak, dan kewajiban sendiri, dengan tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. Konsep PTN Badan Hukum ini akan mengganggu kegiatan pendidikan. Dian Puji Simatupang sebagai ahli telah menjelaskan bahwa terjadi paradoks irasionalitas pengelolaan pendidikan tinggi dalam perspektif hukum keuangan publik. Ketentuan Pasal 65 ayat (4) menyatakan pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Ketentuan ini mengandung paradoks rasionalitas karena badan hukum mempunyai kepentingan sendiri karena mempunyai kekayaan yang dipisahkan. Dan kepentingan badan hukum itu menghendaki kestabilan dalam menjaga kepentingannya. Jika suatu penugasan pemerintah dilakukan terus menerus dan bersifat wajib terhadap suatu PTN badan hukum, berarti di mana kepentingan dan otonomi PTN badan hukum tersebut dilindungi oleh undang-undang?
- Sebagai PTN Badan Hukum, Institusi Pendidikan yang tidak dikecualikan sebagai obyek kepailitan akan menimbulkan ketidakpasatian hukum dan melanggar UUD 1945. Institusi pendidikan dengan otonomi pengelolaan memiliki wewenang mencari dana sendiri sehingga dapat membuat perjanjian kerja sama dengan dunia usaha dan industri. Kondisi ini menjadikan institusi pendidikan dapat memiliki dua atau lebih kreditor layaknya perusahaan. Dengan demikian institusi pendidikan menjadi obyek kepailitan. Jika sebuah Perguruan Tinggi dipailitkan tentu yang akan dirugikan adalah para peserta didik.
- Tidak Adanya Kejelasan Pihak yang berwenang dalam penentuan serta penjatuhan sanksi menoleransi pelanggaran. Di dalam Pasal 63, 65, dan 78 UU Dikti mencantumkan prinsip pengelolaan akuntabilitas PTN Badan Hukum. Namun, kata-kata akuntabilitas hanya permainan kata-kata yang tidak ada giginya dan mengelabuhi publik, yang berujung pada toleransi terhadap pelanggaran dan sikap kkoruptif penyelenggara pendidikan. Di dalam UU Dikti, hanya disebutkan sanksi-nya atas pelanggaran prinsip akuntabilitas, sedangkan struktur dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi jika terjadi pelanggaran tidak diatur sama sekali. Hal ini sesuai dengan pendapat MK atas putusan UU BHP, bahwa UU yang bersifat normatif tentunya tidak dapat digunakan dalih bahwa dalam pelaksanannya dilakukan secara fleksibel, yang artinya akan menoleransi suatu pelanggaran.
- Terlanggarnya Hak Atas Pendidikan. Argumentasi ini berdasarkan pada bentuk badan hukum yang memiliki otonomi pengeloaan dalam hal akademik dan nonakademik. PTN badan hukum dimungkinkan melakukan kegiatan usaha untuk memenui kebutuhan penyelenggaraan aktifitasnya. Sebuah institusi pendidikan yang mencari dana secara otonom berpotensi melangar hak atas pendidikan warga Negara Indonesia. Tidak banyak kesempatan usaha yang terbuka bagi PTN Badan Hukum untuk mendapatkan dana di luar pemasukan jasa pendidikan yang diterima langsung dari peserta didik. Dalam keadaan tidak ada kepastian sumber dana, sasaran paling rentan adalah peserta didik dengan menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya kuliah yang secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik. Terbukti, tahun 2012, pendanaan Universitas Indonesia sebesar 57.17% diperoleh dari mahasiswa dengan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang mereka bayarkan. Pun jika pendidikan tinggi didanai oleh perusahaan, apakah kemurnian akademis yang berorientasi masyarakat akan terjamin? Apakah Tri Dharma pendidikan tinggi akan terlaksana? Apakah terjadi disorientasi tujuan pendidikan menjadi sekedar pemroduksi tenaga kerja?
Sehingga berdasarkan 3 (tiga) argumentasi di atas, Pemohon menyatakan bahwa UU Dikti bertentangan dengan UUD 1945 atau Inkonstitusional. Otonomi pengelolaan pendidikan masih menjadi roh utama UU Dikti yang tercantum dalam Naskah Akademisnya. Padahal, konstitusi telah menafsirkan bahwa otonomi pengelolaan Pendidikan Tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga dengan dalil-dalil di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa:
- Negara harus bertanggung jawab secara langsung atas penyelenggaraan pendidikan tinggi, tidak melalui otonomi pengelolaan pendidikan yang diejawantahkan dalam pembentukan badan hukum dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada Perguruan Tinggi.
- UU No 12 Tahun 2012 yang membuat sistem pendidikan tinggi menjadi institusi yang bisa membaut badan usaha, memiliki kekayaan negara yang dipisahkan, bisa dipailitkan dan tidak akuntabel, melanggar hak atas pendidikan warga negara. Dengan demikian UU Dikti ini inkonstitusional dan harus dibatalkan seluruhnya.
Sidang terakhir dilaksanakan pada hari Rabu, 3 Juli 2013 dengan agenda pemeriksaan saksi/ ahli. Sejauh ini, permohonan Uji Materi ini telah sampai pada tahap kesimpulan dan sedang menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi. Komite Nasional Pendidikan akan mengawal UU Dikti ini sebagai bentuk perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan yang memposisikan pendidikan sebagai barang yang layak diperjualbelikan, sehingga negara yang terjebak dalam cara pandang seperti ini, justru melakukan pelanggaran hak kepada warga negara karena tidak melaksanakan amanah konstitusi.