“Masih ada waktu melakukan yang terbaik, tak ada manusia yg sempurna..” itulah dua bait lirik lagu grup band Radja. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Berangkat dari kesadaran itu, LBH Jakarta bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice melakukan kajian terhadap kekurangan yang terdapat dalam sistem pemberian bantuan hukum di Indonesia.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum merupakan kabar gembira bagi masyarakat –kurang mampu secara ekonomi— dan organisasi bantuan hukum. Bagi masyarakat, undang-undang ini membuka seluas-luasnya akses mereka mendapatkan keadilan. Sementara bagi organisasi bantuan hukum, undang-undang ini memberi legitimasi bagi kerja-kerja mereka selama ini dalam memperjuangkan hak keadilan masyarakat.
Namun tidak bisa dipungkiri, undang-undang yang disahkan pada 31 Oktober 2011 tersebut masih ada kekurangan, salah satunya ihwal penganggaran dana bantuan hukum. Atas dasar itu, sejak Mei hingga September 2013 LBH Jakarta bersama LBH Padang, LBH Surabaya, LBH Makasar dan LBH Papua melakukan penelitian di masing-masing wilayah.
Titik fokus penelitian adalah mengetahui skema penganggaran dan tata cara penyaluran dana bantuan hukum menurut perundang-undangan. Sementara batu ujinya adalah fakta-fakta yang dialami organisasi bantuan hukum dalam kerja-kerja bantuan hukum selama ini.
Hasil penelitian menunjukkan, skema penganggaran dana bantuan hukum di perundang-undangan tidak sesuai dengan kondisi faktual yang terjadi. Konsep penggaran dana yang disamaratakan Rp. 5 juta ternyata menjadi sorotan paling tajam dalam penelitian tersebut. Di tiap wilayah yang diteliti, semua sepakat bahwa biaya menangani kasus per kasus tidak bisa disamaratakan –ada beberapa kasus yang bisa selesai di bawah Rp. 5 juta tapi tak sedikit kasus yang proses penyelesaiannya melebihi biaya yang dianggarkan pemerintah.
Selain itu, ada hasil mengejutkan yang didapat, yakni adanya penyelewengan dana bantuan hukum oleh beberapa institusi negara —yang dalam perundang-undangan diberi amanat memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Dana tersebut lebih banyak dipakai untuk memberikan bantuan hukum bagi pejabat negara tersangkut permasalahan hokum dan bukan untuk masyarakat yang kurang mampu.
Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul “Neraca Timpang Bagi Si Miskin” yang dilauncing pada 10 Oktober 2013. Selain perwakilan dari tim penulis, Restaria Hutabarat, Launcing buku tersebut juga menghadirkan tiga pembicara; Bambang Palasara dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Wahyono dari Pemprov DKI Jakarta dan Uli Paruliasn Sihombing dari The Indonesian Legal Resource Centre (ILRC).
Menanggapi isi buku tersebut, Bambang Palasara mengakui penganggaran dana di undang-undang bantuan hukum tidak sesuai fakta. Tapi, dia juga memberi solusi agar hal itu tidak menjadi halangan dalam memberikan bantuan hukum, yakni dengan cara subsidi silang. Untuk perkara yang menghabiskan biaya di atas Rp. 5 juta dapat dicover dengan uang dari perkara yang proses penyelesaiannya di bawah Rp. 5 juta.
Sementara menanggapai penyelewengan dana bantaun hukum, Bambang menjamin bahwa dalam konsep bantuan hukum yang sekarang akan sulit terjadi penyelewengan. Hal ini karena pemerintah selain membuat undang-undang juga membuat aturan pemberian bantuan hukum dalam bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis.
Di bagian akhir buku Neraca Timpang Bagi si Miskin, tim peneliti memberi enam rekomendasi kepada para pembuat kebijakan diantaranya; menyetukan konsep bantuan hukum, mengintegrasikan anggaran bantuan hukum hanya untuk masyarakat miskin, menyusun kode etik dan standar pelayanan minimal, melakukan monitoring dan evaluasi, membangun kebijakan bantuan hukum yang responsif dan mendorong Perda bantuan hukum.