Pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 bertempat di LBH Jakarta diadakan diskusi lanjutan mengenai urgensitas pembentukan divisi khusus Perburuhan di Kepolisian, diskusi ini diadakan sebagai lanjutan dari diskusi sebelumnya yang juga diadakan di LBH Jakarta sekitar akhir Agustus 2013. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa anggota serikat buruh, beberapa Pengacara Publik LBH Jakarta dan Bapak Dadang Trisasongko sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman tentang advokasi pembentukan beberapa divisi di kepolisian, diantaranya divisi khusus perempuan dan anak, divisi lingkungan, divisi cyber crime serta beberapa divisi lainnya.
Pada dasarnya ide untuk mendukung pembentukan divisi khusus perburuhan di Kepolisian karena banyak kasus-kasus pidana perburuhan yang tidak selesai dan terhenti begitu saja, berdasarkan data yang dimiliki oleh LBH Jakarta dan beberapa Serikat Pekerja/Buruh hampir tidak ada kasus pidana perburuhan yang ditangani sampai selesai, hal ini diduga karena kekurang pahaman Aparat Kepolisian dan pengawas dan Penyidik PNS di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI terhadap hukum pidana perburuhan.
Diskusi “urgensitas pembentukan divisi khusus perburuhan di Kepolisian” berjalan sangat menarik, dibuka oleh Restaria F. Hutabarat Wakil Direktur LBH Jakarta, dilanjutkan oleh Bapak Dadang Trisasongko yang menjelaskan dan berbagi pengalaman saat melakukan advokasi pembentukan divisi-divisi khusus di Kepolisian.
Dadang memjelaskan dan memberi contoh sebelum ada unit khusus bidang lingkungan di Kepolisian dalam menangani kasus lingkungan, dimana Kepolisian tidak mengerti dan mengetahui Undang-Undang Lingkungan. Menurut Dadang hal ini bisa diduga adanya masalah ketidaktahuan, problem kolusi sehingga pura-pura tidak mengetahui UU Lingkungan,
Dadang member contoh proses pembentukan Divisi Khusus Perempuan dan Anak, sebelum ada Divisi tersebut Polri mempunyai perspektif tidak berbasis korban dalam menangai kasus perempuan dan anak contohnya , ketika mendampingi korban perkosaan, dimana korban djadikan bahan ejekan terkesan di “bully”. Hal tersebut juga yang melatarbelakangi melalui pembentukan divisis khusus Kepolisian untuk korban perempuan dan anak. Dimana dalam proses pembentukan Divisi tersebut memakan waktu yang yang lama dan panjang.
Dadang, mengatakan jika menginginkan adanya divisi khusus perburuhan di Kepolisian, maka yang harus dilakukan adalah membuat tekanan publik terhadap pemerintah, menyebarkan “virus” kepada masyarakat bahwa pentingnya ada divisi khusus perburuhan ini, menggalang ahli-ahli hukum pidana dari berbagai daerah dan perguruan tinggi untuk menyakinkan Kepolisian RI bahwa Divisi khusus perburuhan penting dan mendesak untuk dibentuk.
Setelah Dadang menjelaskan, serikat buruh berbagi pengalaman diantaranya, Widodo dari Serikat Pekerja Indonesia Ferry (SP-IF PT. ASDP) menjelaskan bahwa Polisi sekarang sering kali lepas tangan dan hanya mengandalkan Kemenakertrans sebagai ahli yang akan menentukan perkara itu lanjut atau tidak, yang cukup “bobrok” juga Kemenakertrans juga seolah-olah sudah “terbeli “oleh pengusaha yang pada akhirnya menyebabkan perjuangan buruh terseok-seok, ditambah lagi yang terjadi selama buruh dalam proses PHK, sebagian besar haknya tidak dibayar lagi walaupun proses perkaranya belum sampai putusan yang berkekuatan hukum tetap, hal ini cukup memberatkan buruh yang pada dasarnya lemah dalam bidang ekonomi sehingga menyebabkan banyak perjuangan buruh yang terhenti karena permasalahan ekonomi, Ujar Widodo.
Kemudian Maruli Pengacara Publik LBH Jakarta menutup diskusi ini dengan menyatakan bahwa kejadian saat ini di Kepolisian, jika ada laporan pidana tindakan anti serikat polisi kerap kali menolak dan diserahkan ke Pengawas (Disnaker) dan selanjutnya diarahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan diproses menjadi kasus perdata, padahal kasus tersebut merupakan tindak pidana . Oleh karena itu, begitu pentingnya ada suatu divisi khusus perburuhan di Kepolisian tutupnya.