Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau biasa dikenal dengan istilah G30S adalah awal dari tragedy kemanusiaan, yang menewaskan lebih dari 500.000 orang[1] warga sipil dengan dalih “pembersihan” komunis dari Indonesia.
Pembunuhan massal terjadi akibat propaganda Orde Baru yang menyatakan peristiwa tersebut sebagai gerakan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI. Soeharto bahkan memberi singkatan resmi yakni G30S/PKI. Atau dengan kata lain, Gerakan 30 September oleh PKI, untuk memperkuat propaganda tersebut.
Tidak hanya itu, penangkapan dan penahanan terhadap PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI pun terus berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Penangkapan dan penahanan itu dilakukan tanpa adanya proses peradilan. Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka. [2]
Propaganda ini juga menjadi awal proses stigmatisasi yang dilakukan oleh Negara. Stigmatisasi ini tidak hanya dilekatkan pada mereka saja, tapi juga dilekatkan pada keturunan mereka, bahkan orang-orang terdekat di dalam lingkungan mereka. Stigmatisasi ini berdampak pada pelanggaran hak-hak ekosob, seperti hak atas pekerjaan, hak atas barang milik pribadi, hak atas pendidikan, dan hak atas budaya.
Dalam rangka merefleksikan kembali peristiwa 30 September 1965, LBH Jakarta, Federasi Buruh Lintas Pabrik, Perempuan Mahardhika, KPO-Perhimpunan Rakyat Pekerja, Militan Indonesia, Sekber Buruh, SBTPI, SeBUMI, Politik Rakyat, bekerjasama dengan crew film The Act of Killing (Jagal) dan crew film 40 Years of Silence, mengadakan sebuah kegiatan “Festival Film ‘65” dengan tema : Fakta Lain Sejarah 1965.
Kegiatan yang itu bertujuan untuk mengkampanyekan fakta lain mengenai tragedy kemanusiaan paska peristiwa 1965 yang didokumentasikan berdasarkan sudut pandang pelaku maupun korban paska peristiwa 30 September 1965; membangun empati dan meningkatkan kepedulian publik terhadap korban dan keluarga korban paska peristiwa 30 September 1965; serta mendorong upaya-upaya hukum dalam rangka penyelesaian kasus kejahatan HAM berat 1965 maupun dalam rangka pemulihan hak-hak korban selaku warga Negara Indonesia.
Kegiatan Festival Film ’65 diawali dengan “Lomba Penulisan Opini 1965” dengan tema : “Kebenaran dan Keadilan Peristiwa 1965-1966; Penentu Masa Depan Kemanusiaan Bangsa Indonesia”. Lomba yang terbuka selama ± 2 minggu ini, ternyata mampu menarik minat para penulis muda untuk terlibat menuangkan hasil refleksinya mengenai fakta lain dari peristiwa 1965 yang selama ini telah menjadi mainstream di masyarakat luas. Pemenang dari lomba penulisan opini antara lain : Rifqi Fadhlurrakhman, Mahasiswa (Juara 1); Dinda Nuurannisaa Yura, Mahasiswa (Juara 2); Bossga Yos Toman Hutagalung, Mahasiswa (Juara 3).
Puncak kegiatan Festival Film ’65 berlangsung selama 2 hari, pada tanggal 30 September – 1 Oktober, bertempat di Gedung LBH Jakarta. Aktifitas pada tanggal 30 September terdiri dari : Pemutaran Film “The Act of Killing” (Jagal) diikuti dengan diskusi interaktif bersama dengan Joshua Oppenheim (Sutradara Film The Act of Killing), Faiza Marzuki (Seniman/Aktifis, ), Ibu Nani Sugiarto (Perwakilan dari Aliansi Guru Sejarah Indonesia) dan Bapak Abdul Syukur (Seniman).
Sedangkan pada tanggal 1 Oktober, aktifitas yang dilakukan antara lain : Pemutaran Film “40 Years of Silence” diikuti dengan diskusi interaktif bersama dengan Restaria Hutabarat (LBH Jakarta, selaku pendamping korban pada saat mengajukan Gugatan Class Action), Bonnie Triyana (Sejarawan, salah satu pendiri dan pemimpin redaksi Historia) dan Nurkholis (Anggota Komnas HAM, Ketua Tim Ad Hoc Kasus 65-66).
Kegiatan ini juga didukung dengan performance art dari 2 komunitas Seniman yang selama ini aktif menyuarakan isu-isu sosial dan kemanusiaan, yakni Marjinal dan SeBUMI.
Antusiasme masyarakat terhadap kegiatan ini, terlihat dari jumlah peserta yang hadir. Ada sebanyak ± 200 orang hadir dari berbagai latar belakang aktifitas, misalnya : NGO, Serikat Buruh, Buruh, Akademisi, Seniman, Mahasiswa, Paralegal, Masyarakat sipil dan Komunitas HAM lainnya, dan terlibat secara aktif dalam keseluruhan rangkaian kegiatan.