oleh: Daniel Winarta (Pengacara Publik LBH Jakarta)
1 Januari 2026 bisa jadi hari terakhir kebebasan berpendapat kita. Tak ada lagi yang berani mengkritik presiden karena tidak menetapkan status bencana nasional. Masyarakat yang muak dengan anggota DPR RI yang joget-joget tak lagi berani menyerukan bahwa DPR adalah Dewan Pengkhianat Rakyat. Tak ada lagi kritik terhadap Mahkamah Agung yang korup. Menteri yang mengeluarkan kebijakan merusak lingkungan tak lagi ada yang berani mengkritisi. Mungkinkah hal itu terjadi?
Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) sejak tanggal 2 Januari 2023 yang akan mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan, alias 2 Januari 2026. Hampir tiga tahun setelah pengesahan KUHP Baru, pada November 2025, DPR RI dan Pemerintah juga telah menyepakati pengesahan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi UU (KUHAP Baru) Undang-undang ini dinyatakan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 pula.
KUHP mengandung pidana materiil, artinya mengatur apa yang dilarang dan ancaman pidananya. Misalnya tindakan pembunuhan, pencurian, dan penganiayaan diatur dalam KUHP. Sedangkan, KUHAP mengatur mengenai pidana formilnya, artinya mengatur bagaimana proses penegakan hukum terhadap tindakan tersebut dilakukan. Misalnya KUHAP mengatur prosedur penyelidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan terhadap seorang yang dituduh mencuri, membunuh, atau menganiaya. Keduanya adalah paket hukum pidana yang saling melengkapi dan menjadi pegangan dari aparat penegak hukum untuk bertindak.
Meskipun menuai kritik besar terkait pembahasan dan pengesahannya, keduanya tetap disahkan. Keduanya sama-sama disinyalir dapat berkontribusi dalam memperburuk kebebasan sipil di Indonesia. Tidak heran, penegakan hukum di Indonesia sering kali diwarnai dengan corak politis dan mudah dimanfaatkan untuk mengkritik oposisi atau pihak yang mengkritisi pemerintahan. Hal itu bisa dengan mudah dilihat dari kasus Delpedro, Laras, dan ratusan orang lainnya yang diproses pidana karena pikiran dan pendapatnya di media sosial dianggap “menghasut” dan menimbulkan kerusuhan.
Ada corak unik yang bisa kita lihat dalam kasus Delpedro, dkk. Mungkin kita tidak pernah membayangkan bahwa Pasal 76H UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai larangan merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa dapat digunakan sebagai alat membungkam seseorang yang berpendapat. Pasal ini digunakan untuk siapapun yang memberikan pendidikan politik bagi anak, pemilik masa depan bangsa. Artinya, pasal dalam suatu undang-undang yang memiliki muatan pidana harus sedemikian rupa diperhatikan substansinya agar tidak menjadi senjata kriminalisasi di kemudian hari.
Demikian pula terlihat dalam KUHP Baru yang sudah sejak 2019 mendapat banyak kritik dengan alasan banyaknya pasal yang berpotensi menghancurkan kebebasan sipil kita. Salah satu yang teranyar adalah Pasal mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara. Pasal 240 KUHP Baru mengatur mengenai penghinaan pemerintah atau lembaga negara dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Kemudian dalam 240 ayat (2) KUHP diatur bahwa apa bila penghinaan tersebut berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda pidana paling banyak kategori IV. Pasal 241 ayat (1) KUHP Baru mengatur penghinaan melalui tulisan atau gambar dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Kemudian, Pasal 241 ayat (2) KUHP Baru menyatakan dalam hal Tindak Pidana penghinaan tersebut di atas menyebabkan kerusuhan dalam masyarakat, maka diancam pidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Keduanya merupakan delik aduan, artinya hanya dapat diproses berdasarkan aduan pihak yang dihina secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Untuk menilai pasal ini bermasalah atau tidak, kita perlu mendudukan perbedaan antara seseorang sebagai pribadi kodrati (dirinya sendiri), dengan seseorang sebagai pejabat di suatu lembaga. Prabowo Subianto adalah Presiden Republik Indonesia. Presiden adalah lembaga negara. Kelembagaan Presiden jelas diatur dalam UUD NRI 1945. Pertanyaannya: apa bila terdapat seseorang yang dianggap menghina Presiden Republik Indonesia sebagai lembaga, misalnya karena kinerjanya yang buruk dalam menangani bencana di Sumatera, apakah suatu “lembaga” dapat merasa terhina? Dalam hukum hak asasi manusia, delik penghinaan atau delik berkaitan dengan kebencian hanya dapat dibenarkan bila berkaitan dengan penghinaan terhadap manusia, bukan lembaga. Lembaga, sama halnya dengan sebuah benda mati seperti bangku, tidak dapat merasa terhina. Apalagi dalam negara demokratis, suatu lembaga tidak dapat dan tidak boleh merasa terhina. Sebab, apakah mungkin tindakan yang dianggap penghinaan terhadap suatu lembaga tidak berkaitan dengan kinerja lembaganya?
Bila penghinaan ini merujuk pada “pribadi” seorang manusia dan bukan karena jabatan atau institusinya, maka pasal ini telah memberikan perlakuan istimewa terhadap pejabat di institusi negara. Sebab, Pasal penghinaan sebetulnya telah diatur dalam delik lainnya, misalkan saja dalam BAB XVII KUHP Baru mengenai Penghinaan, tentunya dengan ancaman pidana yang lebih rendah. Ancaman pidana maksimal bagi pencemaran tertulis dalam Pasal 433 ayat (2) KUHP Baru hanya paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Oleh karena itu, pasal-pasal ini memberikan perlakuan istimewa terhadap pejabat negara dan berpotensi bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang telah menjamin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum.
Pembelaan terhadap adanya pasal-pasal berbahaya ini selalu sama: delik ini adalah delik aduan. Aduan tersebut harus dilakukan oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara. Apakah hal itu tidak mungkin terjadi? Situasi semacam ini pernah terjadi. Menteri Pertanian Amran mengajukan gugatan perdata kepada Tempo karena judul berita yang mengkritisi kebijakan Menteri. Apakah hal ini mungkin berulang? Nonet dan Selznick (2017) menganggap bahwa hukum bisa menjadi instrumen kekuasaan. “Law as an instrument of power rather than of restraint.” Dalam perkembangannya, hukum bisa saja digunakan sebagai alat kontrol sosial politik negara, bukan digunakan untuk membatasi kekuasaan sebagaimana harusnya dalam negara hukum. Dalam konteks hukum sebagai alat represi negara, tidak ada pemisahan yang jelas mengenai kekuasaan hukum dan kekuasaan politik. Maka dari itu, kekuasaan memang harus dipandang sinis.
Pasal bermasalah dalam KUHP Baru ini seakan dilengkapi dengan keberadaan KUHAP Baru. Pasal 100 KUHAP Baru menjelaskan mengenai penahanan. Seseorang dapat ditahan apa bila seorang tersangka atau terdakwa melakukan pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Ancaman pidana dalam Pasal 240 ayat (2) KUHP dan Pasal 241 ayat (2) KUHP adalah tiga tahun penjara dan empat tahun penjara. Namun demikian, Pasal 100 KUHAP menjelaskan bahwa penahanan juga dapat dilakukan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 240 ayat (2) dan Pasal 241 ayat (2) KUHP. Artinya, siapa yang dianggap menghina lembaga negara atau pemerintah baik lisan atau melalui tulisan yang berakibat terjadinya kerusuhan dapat ditahan.
KUHAP Baru juga memungkinkan ruang bagi penggeledahan terhadap informasi elektronik dan dokumen elektronik. Pasal 113 KUHAP Baru mengatur bahwa penggeledahan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan dalam “situasi berdasarkan penilaian Penyidik”. Pasal ini memberikan keleluasaan dan peluang diskresi bagi aparat penegak hukum untuk membuka data pribadi yang terdapat dalam informasi dan dokumen elektronik. Belum lagi aturan mengenai pemblokiran yang menurut Pasal 1 angka 37 KUHAP bisa dilakukan kepada akun platform daring. Tapi lagi-lagi, tak butuh izin pengadilan untuk pemblokiran itu. Pasal 140 KUHAP Baru mengatur bahwa dalam keadaan yang mendesak, meliputi “situasi berdasarkan penilaian penyidik”, pemblokiran boleh saja dilakukan tanpa izin pengadilan.
Pada akhirnya, kombinasi mematikan KUHP Baru + KUHAP Baru ini mungkin saja tidak sering digunakan ketika sudah berlaku. Namun, dampak pasal ini bukan hanya terjadi bila digunakan, melainkan melalui timbulnya ketakutan dan self censorship oleh masyarakat. Elvin Ong (2019) dalam “Online Repression and Self-Censorship: Evidence from Southeast Asia”, menyatakan bahwa online repression oleh pemerintah biasanya dilakukan menggunakan undang-undang untuk mengkriminalisasi ekspresi kritis. Biasanya, pembenaran yang dilakukan adalah dengan alasan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan perangkat hukum yang demikian, pemerintah akan menargetkan beberapa individu yang cukup terkenal untuk mencapai dampak ketakutan yang maksimal kepada publik. Dampaknya, masyarakat tak lagi berani, malah mereka akan membatasi diri mereka dengan melakukan self censorship terhadap apa yang ingin diungkap ke publik. Cara ini sangat efektif dalam membungkam kritik dan oposisi.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Kita perlu ingat catatan Gustav Radbruch dalam Formula Radbruch, bahwa apa bila suatu hukum menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, maka norma tersebut kehilangan kualitasnya sebagai hukum. Henry David Thoreau dalam konsepnya mengenai pembangkangan sipil (civil disobedience) menyatakan bahwa pembangkangan terhadap hukum yang tidak adil didasarkan pada kritik terhadap hukum yang menyimpang dari tujuan keadilan. Pada akhirnya, ketaatan terhadap hukum bukanlah ukuran moralitas, melainkan adalah ujian bagi moral publik. Hukum yang tidak memiliki penerimaan sosial karena melanggengkan ketidakadilan, sudah seharusnya tidak ditaati. Hal in mengingatkan saya pada tulisan Bivitri Susanti di Kompas tahun lalu, judulnya “Menolak Tunduk pada Hukum yang Jahat”, apakah kita harus mulai mempraktikannya?






