Oleh Fadhil Alfathan, Direktur LBH Jakarta
The Trial of the Chicago Seven (2020) adalah film yang mengangkat kisah nyata persidangan tujuh aktivis anti perang di Amerika Serikat pada akhir 1960-an. Mereka diadili karena dituduh memicu kerusuhan saat demonstrasi anti Perang Vietnam di Konvensi Nasional Partai Demokrat pada 1968 di Chicago, Amerika Serikat.
Dalam salah satu adegan di film tersebut, para terdakwa dipotong hakim ketika mencoba menjelaskan Perang Vietnam sebagai latar protes. “This is a court of law.” ujar hakim Julius Hoffman dengan nada yang dingin dan dengan alasan agar persidangan tetap berjalan dengan tertib.
Lima dekade kemudian, ribuan kilometer dari Chicago, gema yang sama terdengar di Jakarta, tepatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sedang mengadili perkara Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Syahdan Hussein, dan Khariq Anhar. Para aktivis yang diseret ke meja hijau setelah gelombang aksi Agustus 2025 lalu.
Sebelumnya, entah kebetulan atau tidak, pada malam penangkapannya Delpedro baru saja selesai menonton The Trial of the Chicago Seven di kantor Lokataru Foundation. Dulu, para aktivis yang dikenal sebagai Chicago Seven juga diburu dan ditangkap satu per satu, lalu dirangkai dalam satu perkara yang sarat pesan politik. Pola itu terasa terlalu akrab. Dari Chicago ke Jakarta, cara negara menghadapi perbedaan pandangan tampaknya tidak banyak berbeda, yang berganti hanya tempat, waktu, dan nama para terdakwanya.
Seperti Chicago Seven, para terdakwa hari ini tidak diadili karena perbuatan kriminal dalam pengertian yang lazim. Tidak ada tuduhan tentang kekerasan yang direncanakan atau dilaksanakan secara langsung. Yang dipersoalkan justru ekspresi politik, kata-kata, unggahan, dan jejaring solidaritas yang terbentuk di ruang digital. Dakwaan dibangun dari tafsir atas simbol dan narasi yang dinilai mengganggu ketertiban.
Keriuhan sidang pertama Delpedro dkk juga menyingkap watak politik perkara ini. Ruang sidang berubah menjadi arena simbolik. Di dalam ruang sidang, para terdakwa tidak hanya duduk pasif menunggu nasib. Ada orasi yang mereka disampaikan sebelum dan sesudah persidangan, serta kain berwarna pink yang mereka dan pengunjung sidang kenakan, warna yang kontras dengan ruang sidang yang kaku dan dingin. Begitu pula dengan pengacara para terdakwa, mereka dengan tegas menyampaikan pendirian dan pembelaannya, serta tak ragu menyampaikan keberatan terbuka apabila ada yang dirasa janggal. Elemen-elemen ini menjadikan pengadilan bukan sekadar ruang prosedural, melainkan juga panggung politik yang sarat makna.
Namun, seperti halnya dalam film The Trial of the Chicago Seven, simbol-simbol ini berisiko dibaca bukan sebagai ekspresi politik, melainkan sebagai gangguan terhadap wibawa pengadilan. Ketertiban berpotensi kembali dijadikan mantra, seolah hukum akan runtuh hanya karena orasi, kain berwarna pink, suara nyaring para pengacara pembela, atau solidaritas pengunjung sidang.
Praktik semacam ini memiliki kesinambungan panjang dalam sejarah peradilan Indonesia. Jejaknya dapat ditelusuri hingga dekade 1980-an. Misalnya ketika pembacaan putusan perkara HR Dharsono—tokoh yang diadili di masa Orde Baru dengan tuduhan subversi pada peristiwa Tanjung Priok—yang berlangsung dalam suasana tegang di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adnan Buyung Nasution, pendiri LBH Jakarta dan advokat pembela HR Dharsono kala itu, menginterupsi pembacaan putusan karena menolak tudingan Majelis Hakim yang menyebutnya tidak etis. Tuduhan itu muncul lantaran Buyung menyatakan bahwa pemerintahlah yang mematangkan situasi hingga berujung pada peristiwa Tanjung Priok. “Saya protes kata-kata Majelis itu, siapa yang tidak etis?” ujar Buyung dalam interupsinya, yang membuat hakim Soedijono menghentikan pembacaan putusan.
Situasi ruang sidang kian memanas oleh teriakan massa, hingga aparat kepolisian masuk ke dalam ruang persidangan. Buyung segera membentak dan menunjuk polisi tersebut: “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!” (Tempo, 1986).
Pascaperistiwa itu, Buyung dijatuhi sanksi skorsing selama satu tahun karena dianggap menghina pengadilan melalui protes kerasnya. Peristiwa ini kemudian tercatat sebagai salah satu kasus contempt of court pertama dalam sejarah peradilan Indonesia.
Apa yang dilakukan Buyung tidak bisa dipahami sebagai ledakan emosi individual, melainkan sebagai konsekuensi dari watak persidangan itu sebagai persidangan yang politis. Dalam perkara semacam ini, ruang sidang berhenti menjadi ruang pencarian kebenaran dan berubah menjadi panggung untuk meneguhkan narasi kekuasaan. Argumentasi pembelaan bukan diuji, melainkan dibatasi. Bukan dibantah, melainkan dilabeli tidak etis. Dalam situasi ketika imparsialitas pengadilan runtuh dan suara pembela diperlakukan sebagai gangguan, reaksi keras bukanlah penyimpangan, melainkan respons yang hampir tak terelakkan.
Benang merah dari Chicago, Jakarta di era Orde Baru, hingga Jakarta hari ini menunjukkan pola yang konsisten: ketika pengadilan berhadapan dengan perkara berdimensi politik, ruang sidang dapat dipastikan penuh warna. Perkara yang mengandung motif atau dimensi politik selalu membawa masuk ekspresi, emosi, dan kepentingan yang melampaui batas-batas dogmatis hukum acara.
Dalam situasi semacam itu, ruang sidang bukan lagi sekadar arena teknis untuk menguji unsur delik dan alat bukti, melainkan panggung simbolik tempat negara mempertahankan otoritasnya dan sebaliknya para terdakwa berusaha mempertahankan makna politik dari tindakan mereka. Argumentasi hukum kerap berkelindan dengan pernyataan sikap, protes moral, bahkan gestur perlawanan. Hakim, jaksa, dan pembela tidak hanya berhadapan dengan teks undang-undang, tetapi juga dengan tekanan opini publik, kepentingan penguasa, dan tuntutan sejarah.
Kasus Delpedro dkk berada persis di persimpangan itu. Apa yang diuji sebenarnya bukan sekadar apakah unsur pasal terpenuhi, melainkan sejauh mana negara memandang ekspresi oposisi sebagai bagian sah dari kehidupan demokratis atau justru sebagai ancaman yang harus didisiplinkan.
Dalam perkara yang bermuatan politik, bahaya terbesar bagi peradilan bukanlah kegaduhan di ruang sidang, melainkan reduksi makna hukum itu sendiri. Ketika konteks politik secara sistematis dikeluarkan dari pertimbangan hakim dengan dalih “ini adalah pengadilan, bukan forum politik”, maka hukum kehilangan kemampuannya untuk membaca realitas sosial yang melahirkan perkara tersebut. Padahal, hukum pidana modern justru menuntut pemahaman menyeluruh atas latar belakang, motif, dan tujuan suatu perbuatan, bukan sekadar potongan teks pasal yang dibaca secara mekanis.
Dalam konteks yang demikian, tuntutan agar hakim “menjaga ketertiban” tidak dapat dipahami secara sempit sebagai upaya meredam suara, simbol, atau ekspresi politik di ruang sidang. Ketertiban peradilan tidak identik dengan kebisuan terdakwa maupun penyangkalan terhadap konteks sosial-politik perkara. Ketertiban sejati justru terletak pada kemampuan pengadilan mengelola konflik secara adil, membuka ruang argumentasi, dan menimbang perkara secara utuh, termasuk dimensi politik yang melatarinya.
Pengadilan yang menutup mata dan telinga terhadap konteks politik berisiko terjebak pada positivisme hukum yang kering dan ahistoris. Dalam perkara-perkara seperti Delpedro dkk, pendekatan semacam itu akan mereduksi hukum pidana menjadi instrumen disiplin semata. Pasal-pasal pidana tidak lagi dipakai untuk melindungi kepentingan hukum yang konkret, melainkan untuk menertibkan ekspresi yang dianggap mengganggu stabilitas. Di titik ini, hukum kehilangan watak korektifnya dan bergeser menjadi perpanjangan dari kehendak kekuasaan.
Pengalaman Chicago Seven memperlihatkan bahaya tersebut dengan terang. Hakim Hoffman berulang kali menegaskan bahwa ruang sidang bukan tempat berpolitik, tetapi justru melalui penegasan itulah persidangan berubah menjadi demonstrasi kekuasaan negara atas warganya. Larangan berbicara tentang Perang Vietnam bukan untuk menjaga netralitas, melainkan menghilangkan konteks yang membuat dakwaan itu sendiri bermakna. Sejarah kemudian mencatat persidangan tersebut bukan sebagai contoh ketertiban hukum, melainkan sebagai salah satu preseden kegagalan peradilan dalam menghadapi perbedaan pandangan politik.
Hakim dalam perkara yang sarat muatan politik dituntut untuk melampaui peran teknis sebagai “corong undang-undang”. Ia dituntut untuk menjadi penafsir yang sensitif terhadap relasi kuasa, dinamika sosial, dan dampak putusannya terhadap kebebasan sipil. Sikap ini bukan berarti mengorbankan hukum acara, melainkan justru menghidupkan kembali tujuan dasarnya untuk mencapai keadilan substantif.
Oleh karena itu, perkara Delpedro dkk harus dibaca sebagai ujian bagi peradilan hari ini. Apakah pengadilan akan mengulangi pola lama dengan menjadikan hukum sebagai alat penertiban oposisi, atau justru mengambil jarak dari sejarah represif tersebut dan menegaskan dirinya sebagai ruang pencarian kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya.
Harapannya, hakim tidak terjebak dalam dogma formal yang memisahkan hukum dari realitas politik. Sebab, keadilan tidak pernah lahir dari ruang yang steril terhadap konteks. Ia hanya mungkin terwujud ketika pengadilan berani mengakui bahwa perkara politik memang bersifat politis, dan justru karena itu membutuhkan kehati-hatian, keberanian moral, serta komitmen yang lebih kuat pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi. Jika tidak, maka gema kalimat “This is a court of law” sebagaimana dalam adegan film The Trial of the Chicago Seven akan kembali terdengar, namun bukan sebagai penegasan keadilan, melainkan sebagai penutup telinga terhadap kebenaran.





