Catahu LBH Jakarta 2025 disusun sebagai instrumen pemantauan dan evaluasi terhadap situasi hak asasi manusia, demokrasi, dan negara hukum di wilayah kerja LBH Jakarta. Laporan ini merekam pola-pola pelanggaran yang dialami warga sepanjang tahun 2025 serta menilai kapasitas negara dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak tersebut.
Data dan temuan sepanjang 2025 menunjukkan bahwa penyusutan ruang demokrasi berlangsung secara sistematis. Penggunaan kekuatan aparat dalam penanganan aksi, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berpendapat, dan praktik kriminalisasi terhadap warga maupun pembela HAM mengindikasikan bahwa represi tidak lagi bersifat insidental, tetapi terstruktur. Di ranah legislasi, proses pembentukan undang-undang berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi bermakna, menghasilkan regulasi yang melemahkan mekanisme akuntabilitas publik.
Sepanjang tahun ini, LBH Jakarta menerima 808 pengaduan. Meningkat 31,93% dari tahun sebelumnya. Lonjakan ini bukan sekadar kenaikan angka, tetapi indikator memburuknya kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan ketidaksiapan negara dalam menyediakan perlindungan yang memadai. Pengaduan mencakup kekerasan digital terkait pinjaman online, pemutusan hubungan kerja tanpa perlindungan, penggusuran paksa, sengketa layanan publik, hingga kriminalisasi peserta aksi. Variasi kasus tersebut mencerminkan kegagalan kebijakan yang berdampak langsung pada kelompok rentan.
Dalam pendampingan litigasi dan nonlitigasi, LBH Jakarta menangani 129 kasus struktural. Kasus-kasus ini menunjukkan kecenderungan berulang: ketimpangan relasi kuasa antara warga dan institusi negara atau korporasi, hambatan akses terhadap keadilan, serta pembiaran pelanggaran oleh aparat penegak hukum. Konflik ruang hidup di Pulau Pari, pencemaran lingkungan di Cibetus, perusakan alat tangkap nelayan Sero Cilincing, dan penggusuran di wilayah urban Jakarta memperlihatkan bagaimana kebijakan publik sering kali tidak selaras dengan prinsip perlindungan hak dasar warga.
Jakarta sebagai pusat pemerintahan menghadapi persoalan tata kelola yang signifikan. Ketiadaan oposisi politik formal di tingkat daerah melemahkan mekanisme kontrol kebijakan, sehingga keputusan publik berjalan tanpa pengawasan yang memadai. Hal ini berdampak pada meningkatnya penggusuran paksa, ketidakpastian dalam pengelolaan layanan dasar, serta stagnasi penyusunan regulasi berupa peraturan daerah mengenai bantuan hukum yang telah tertunda lebih dari satu dekade.
Meskipun demikian, temuan tahun ini juga menunjukkan keberlanjutan kapasitas warga dalam mempertahankan haknya. Perlawanan warga Budi Dharma, penolakan privatisasi layanan publik, serta inisiatif advokasi lintas komunitas menegaskan bahwa demokrasi tetap bertahan karena adanya partisipasi warga, bukan semata oleh institusi negara.
Catahu 2025 ditujukan sebagai dasar analisis bagi pemangku kepentingan, seperti pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan publik untuk menilai efektivitas kebijakan dan praktik penegakan hukum di lapangan. Laporan ini diharapkan dapat mendorong perbaikan sistemik yang berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, peningkatan akuntabilitas institusional, serta penguatan akses keadilan bagi kelompok rentan.






