Penelitian ini menempatkan praperadilan sebagai titik krusial dalam evaluasi kinerja sistem peradilan pidana Indonesia. Sebagai suatu studi kasus, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case law) terhadap kasus praperadilan yang melibatkan empat tahanan politik, yaitu Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Hussein. Sebagaimana dirumuskan dalam KUHAP, praperadilan seharusnya menjadi mekanisme pengawasan terhadap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta penetapan tersangka. Praperadilan harusnya mencegah praktik sewenang-wenang dan memastikan bahwa pembatasan hak individu hanya dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang sah, proporsional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun temuan penelitian menunjukkan bahwa antara norma dan kenyataan terdapat jurang yang lebar. Praperadilan kerap gagal menjalankan fungsi kontrol konstitusionalnya karena hanya bergerak pada pemeriksaan administratif ketimbang penilaian substantif terhadap pelanggaran hak.
Dalam kasus para tahanan politik pasca demonstrasi 25–31 Agustus 2025, riset menguji beberapa bentuk pelanggaran prosedur yang seharusnya dapat diuji melalui praperadilan: penetapan tersangka, penangkapan, dan penyitaan. Seluruh pelanggaran itu secara langsung menyebabkan terlanggarnya hak asasi manusia yang dijamin dalam KUHAP dan instrumen HAM internasional sebenarnya memberikan landasan kuat agar pelanggaran- pelanggaran tersebut dapat dipersoalkan. Di titik inilah, riset ini menjadi penting: untuk menunjukkan bagaimana praperadilan bekerja, bukan sekadar bagaimana ia dirumuskan dalam teks undang-undang.
Selengkapnya UNDUH DI SINI






