Jakarta, 28 November 2025. Tim Advokasi untuk Keadilan Pulau Pari menyayangkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang pada hari ini menolak seluruh gugatan warga Pulau Pari terkait kerusakan ekologis dan penggusuran ruang hidup yang didasari penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di wilayah pesisir Pulau Pari. Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada PTUN Jakarta dalam perkara nomor 195/G/LH/2025/PTUN.JKT melalui e-court.
Selama bertahun-tahun, masyarakat Pulau Pari menghadapi kerentanan berlapis dengan menghadapi tindakan maladministrasi,, kriminalisasi dan intimidasi, serta eksploitasi ruang hidup oleh korporasi. Kerusakan ekologis yang terjadi tidak terlepas dari aktivitas reklamasi untuk pembangunan cottage apung dan dermaga wisata yang turut merusak mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang merupakan penopang keberlanjutan kehidupan warga Pulau Pari sebagai masyarakat pesisir dan pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Penolakan gugatan oleh Majelis Hakim pada PTUN Jakarta akan membawa warga menghadapi dampak krisis iklim, seperti potensi banjir rob dan abrasi, yang semakin sering terjadi di Pulau Pari. Dalam kerentanan ini, pemerintah justru tetap menerbitkan PKKPRL kepada PT. Central Pondok Sejahtera (PT. CPS), tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak memberikan perlindungan berarti bagi warganya karena bersikap abai.
Sejak gugatan didaftarkan pada 13 Juni 2025, warga Pulau Pari secara konsisten menghadirkan bukti-bukti di persidangan, termasuk keterangan saksi dan ahli, untuk menunjukkan pelanggaran dalam aspek wewenang, prosedur, dan substansi penerbitan PKKPRL, serta kelalaian pemerintah dalam mengawasi aktivitas PT. CPS. Dalam proses persidangan terungkap bahwa perusahaan tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup pada wilayah Gudus Lempeng Pulau Pari, yang ditandai dengan rusaknya mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Temuan ini juga sejalan dengan Surat Penetapan Denda Administratif PT. CPS tertanggal 9 Juli 2025, yang membuktikan adanya pelanggaran serius terhadap ekosistem pesisir.
Putusan yang menolak gugatan warga Pulau Pari menunjukkan bahwa majelis hakim:
- tidak mempedomani prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup, khususnya bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil yang sangat bergantung pada ekosistem laut. Putusan ini bertentangan dengan mandat Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (Perma 1/2023), yang mewajibkan hakim untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan perlindungan ekologis dalam perkara lingkungan hidup;
- mengabaikan pandangan hukum dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui amicus curiae-nya, yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap nelayan, masyarakat pesisir, dan hak asasi manusia dalam menjatuhkan putusan.
Tim Advokasi untuk Keadilan Pulau Pari menegaskan bahwa putusan ini bukan akhir dari perjuangan warga Pulau Pari. Warga bersama organisasi masyarakat sipil akan menempuh upaya hukum pasca-putusan, untuk memastikan ruang hidup, lingkungan, dan hak asasi manusia masyarakat Pulau Pari terlindungi.
Kerusakan ekologis yang terjadi bukan hanya persoalan hukum administratif, tetapi persoalan hidup dan masa depan masyarakat yang selama ini menjaga laut dan pesisirnya. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan membiarkan kerusakan terus berlangsung atas nama investasi.
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Para Penggugat
Tim Advokasi untuk Keadilan Pulau Pari
Narahubung:
Abdul Rohim Marbun ([email protected]).






