Kendaraan melewati banjir di lampu merah Fatmawati, Jakarta, Kamis (30/10/2025). Titik genangan banjir pun muncul di Jalan Fatmawati Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Sumber Foto: CNBC dan VOI)
Jakarta, 1 November 2025 – Beberapa minggu ke belakang, terutama sejak hujan deras melanda Jakarta di pertengahan hingga akhir Oktober 2025, terjadi dua hal yang menjadi topik keresahan warga Jakarta: banjir dan kemacetan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat terdapat 54 RT di Jakarta yang terendam banjir pada 31 Oktober 2025. Menurut Gubernur DKI Jakarta sendiri, penyebab banjir parah di Jakarta adalah keretakan tanggul yang menyebabkan Kali Krukut meluap. Fenomena ini juga diiringi oleh macet parah di beberapa titik di Jakarta.
Atas hal tersebut, kami berpendapat sebagai berikut:
Pertama, banjir dan kemacetan adalah fakta yang menunjukkan kerapuhan Kota Jakarta. Faktanya, menurut berbagai studi yang sebelumnya telah dilakukan, 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan air laut. Jakarta adalah kota tercepat tenggelam di dunia dengan penurunan tanah sekitar 3-10 cm per tahun. Banjir Jakarta pernah mencapai hampir 75% dari kota dan memaksa lebih dari 450.000 orang pergi mengungsi. Kerugian ekonomi akibat banjir mencapai lebih dari 900 juta USD. Setiap tahunnya, terjadi banjir besar tanpa adanya evaluasi yang berarti. Selain itu, populasi Jakarta adalah sekitar 11 juta jiwa. Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta adalah sekitar 24 juta unit. Naik signifikan (sekitar 7 juta kendaraan) dalam empat tahun (2020-2024). 79,1% komuter di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama. Kemacetan yang terjadi di Jakarta berdampak pada penurunan produktivitas, polusi udara, dan dampak lain yang perkiraan kerugiannya hampir Rp 100 triliun.
Kedua, banjir dan kemacetan yang tidak teratasi adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kondisi dan dampak dari peristiwa ini jelas berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia. Banjir dan macet berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hingga hak atas lingkungan hidup yang baik dah sehat sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 dan UU HAM. Banjir dapat berdampak pada rusaknya rumah sebagai tempat tinggal dan mendorong banyaknya penggusuran paksa terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai. Kemacetan juga berdampak pada hak atas tempat tinggal karena menyebabkan adanya kenaikan harga rumah di tengah kota sehingga menyingkirkan masyarakat miskin kota. Kemudian, banjir juga menyebabkan terlanggarnya hak atas kesehatan sebab berbagai penyakit dapat ditimbulkan akibat banjir serta timbulnya kerusakan sanitasi air bersih. Hak atas kesehatan juga terpengaruh akibat macet, di antaranya disebabkan oleh adanya polusi udara yang tinggi yang mengganggu pernapasan, juga macet yang berdampak pada meningkatnya tingkat stress dan gangguan kesehatan mental.
Hak atas pendidikan dan pekerjaan juga terpengaruh. Banjir memutus akses mobilisasi sehingga berdampak pada akses pekerjaan dan pendidikan warga. Kemudian, kemacetan juga berdampak terhadap hak atas pekerjaan dan pendidikan karena waktu yang habis di jalan mengurangi produktivitas serta waktu beristirahat sebagai hak asasi manusia. Kemudian, hak atas lingkungan hidup, melalui banjir, kualitas air menjadi turun, sungai tercemar, hingga ruang terbuka hijau yang dapat semakin berkurang. Kemudian kemacetan juga menjadi penyebab buruknya kualitas udara Jakarta.
Terkait banjir, banjir dikategorikan sebagai bencana alam dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Pasal 5 dan 6 UU Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, tanggung jawab tersebut meliputi perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dampak bencana, hingga pengurangan resiko bencana. Selain itu, dalam Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur bahwa mengenai penataan ruang, pekerjaan rumah, serta perlindungan masyarakat merupakan urusan Pemerintah Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar yang pemenuhannya adalah kewenangan Pemerintah Daerah. Sehingga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab hukum untuk membenahi permasalahan banjir dan macet di Jakarta.
Ketiga, banjir dan kemacetan adalah gejala dari akar masalah yang sebenarnya, yaitu kegagalan pemerintah dalam menata kota secara berkeadilan ruang yang berorientasi pada manusia dan lingkungan. Masalah banjir dan macet di Jakarta dipengaruhi beberapa faktor yang kompleks. Masalah urbanisasi dan penataan kota, bagaimana Ruang Terbuka Hijau (zonasi hijau) di Jakarta masih jauh dari target. Selain itu, laju urbanisasi juga mempengaruhi adanya pengalihfungsian lahan dan daerah aliran sungai (DAS) menjadi lahan-lahan beton (betonisasi) guna mencukupi kebutuhan pemukiman dan industri. Penanganan masalah banjir pun belum dikatakan mengakar, karena masih berorientasi betonisasi baik membangun tembok, tanggul atau bentuk pengerasan lain. Mengingat penanggulangan banjir akibat luapan Kali Krukut dan sungai lain di Jakarta memerlukan adanya penyelarasan upaya konservasi di hulu dan pendayagunaan di hilir.
Kemudian, kegagalan pengelolaan air, yaitu persebaran sambungan air bersih ke warga yang belum maksimal memaksa warga untuk mengambil air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence). Mengenai kemacetan, masalah sistem transportasi yang belum efektif juga menjadi catatan. Dari jumlah warga Jakarta, sekitar 80% masih menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama. Hal ini juga didorong akibat masalah dalam transportasi umum seperti ketepatan waktu, kenyamanan, dan keamanan. Selain itu, masalah tata kelola lembaga yang buruk juga menjadi masalah. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Provinsi yang kurang baik menyebabkan banyaknya penanganan masalah yang tumpang tindih. Selain itu, berbagai ancaman datang dari solusi palsu pemerintah, misalnya rencana pembangunan Giant Sea Wall yang memiliki potensi merusak lingkungan.
- Terhadap hal-hal tersebut, kami mendesak sebagai berikut:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur dan DPRD untuk:
a. menghentikan laju pembangunan di zonasi hijau; menghentikan laju penurunan muka tanah; dan perlu adanya kesepakatan dengan penyelarasan hulu-hilir karena DAS yang berkaitan dengan daerah lain;
b. melakukan penanggulangan bencana banjir dengan melakukan pemulihan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi;
c. memperluas akses air perpipaan hingga mencapai 100%;
d. mengelola dan memperbaiki ekosistem transportasi umum agar terjadi peningkatan jumlah pengguna transportasi umum;
e. melibatkan masyarakat secara luas dan partisipatif dalam menyusun kebijakan penataan ruang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana tertuang dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. - Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan penanggulangan bencana banjir di Jakarta yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh guna mencegah adanya keberulangan bencana banjir di Jakarta dengan mengedepankan orientasi pada manusia dan lingkungan (nature-based solutions);
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
Alif Fauzi Nurwidiastomo ([email protected])
Daniel Winarta ([email protected])






