Jakarta, 3 Oktober 2025 – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap upaya paksa dan penetapan tersangka yang dilakukan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar dan Muzaffar Salim masing-masing sebagai Pemohon. Permohonan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka serta serangkaian tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, serta penyitaan terhadap keempat aktivis muda yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Permohonan ini ditujukan kepada Direktur Reserse Kriminal Umum dan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jakarta Raya selaku Termohon.
TAUD menemukan terdapatnya lapisan pelanggaran pada serangkaian tindakan hukum yang dialami Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim dan Khariq Anhar. Pelanggaran sebagaimana dimaksud antara lain:
Pertama, penangkapan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, tidak humanis dan tanpa menunjukkan surat tugas. Bahkan, penangkapan dengan dilakukan selama lebih dari 1×24 jam.. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 6/2019 serta Perkabareskrim Nomor 1/2022;
Kedua, penggeledahan dan penyitaan paksa. Pengaksesan terhadap ruang-ruang privat para Pemohon dilakukan tanpa adanya surat izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga merupakan bentuk pengkerdilan terhadap harkat-martabat para Pemohon sebab kepolisian telah menerabas batas-batas otonomi pribadi
Ketiga, penetapan tersangka secara serampangan. Status tersangka ditetapkan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana yang dipersyaratkan hukum acara. Lebih jauh, alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahkan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pasal-pasal yang dituduhkan. Artinya, konstruksi hukum yang digunakan Polda Metro Jaya tidak hanya asal-asalan, tetapi juga sesat secara prosedur;
Keempat, penahanan sebagai akibat dari rangkaian tindakan tidak sah. Karena penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka dilakukan secara serampangan, maka penahanan sebagai konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan tersebut otomatis menjadi tidak sah.
Lapisan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Termohon bukan hanya merupakan pelanggaran administratif semata, lebih dari itu, hal tersebut merupakan bentuk perampasan kemerdekaan. Penetapan tersangka serta rangkaian upaya paksa merupakan bentuk pembatasan hak, untuk itu, penerapannya harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memastikan bahwa proses penegakan hukum diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan prosedural merupakan bukti nyata bahwa kepolisian mengabaikan hak konstitusional para Pemohon;
Lebih dari itu, para Pemohon yang kini ditahan adalah aktivis muda, warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pemidanaan terhadap ekspresi politik yang sah dalam rangka berpartisipasi di negara demokrasi merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak pada keroposnya ruang sipil. Apalagi jika pemidanaan tersebut dilakukan secara serampangan sebagaimana praktik Polda Metro Jaya saat ini. Rangkaian tindakan dari hulu hingga hilir mencerminkan pencederaan terhadap prinsip negara hukum, pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta ancaman nyata bagi ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Pengajuan praperadilan ke pengadilan menjadi jalur hukum penting dalam rangka memulihkan hak-hak para Pemohon yang dilanggar akibat proses penegakan hukum serampangan oleh kepolisian. Melalui mekanisme ini pula, TAUD menuntut “keberanian” Polda Metro Jaya untuk menjalani proses secara jujur, adil, dan tanpa manipulasi fakta, demi memastikan tegaknya keadilan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara sekaligus Panglima Tertinggi, untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip negara hukum dan menghentikan praktik represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjamin independensi hakim yang memeriksa perkara ini, serta memastikan jalannya sidang praperadilan berlangsung terbuka, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan eksternal apa pun;
3. Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangan pengawasannya guna memastikan tindakan kepolisian dalam perkara ini sesuai hukum acara pidana, serta tidak mengabaikan pelanggaran prosedural yang terjadi;
4. Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap aktivis, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, dan bersikap gentleman menghadapi praperadilan dengan tidak melakukan intervensi maupun rekayasa fakta;
5. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedural serta perampasan hak-hak konstitusional para Pemohon.
hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
Narahubung:
1. Gema Gita Persada ([email protected])
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo ([email protected])
3. M. Al Ayyubi Harahap ([email protected])
4. Ma’ruf Bajammal ([email protected])