Jakarta, 28 Agustus 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) memantau perkembangan yang terjadi pada aksi demonstrasi tanggal 25 Agustus 2025 di Jakarta. Setidaknya, sebanyak 370 orang ditangkap secara sewenang-wenang oleh anggota kepolisian dan diangkut paksa menuju Polda Metro Jaya. Kami memantau dan menyaksikan massa aksi yang tengah ditahan di Polda Metro Jaya mengaku mengalami sejumlah tindakan kekerasan hingga menyebabkan sebagian tubuhnya penuh luka.
Selain itu, proses hukum yang berjalan di Polda Metro Jaya yang diklaim sebagai “pengamanan” dan “pendataan” justru merupakan tindakan tidak berdasar hukum dan kami nilai hanya menjadi kamuflase dari praktik penangkapan sewenang wenang oleh aparat sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlu kami tegaskan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur istilah pengamanan, melainkan upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan seseorang yang diatur dalam kerangka penangkapan atau penahanan.
Dalam pemantauan, kami juga mendapati tindakan pelanggaran berulang sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, berupa penghalang-halangan akses terhadap bantuan hukum dan akses orang tua dan/atau keluarga terhadap massa aksi yang sebagian besar merupakan anak-anak yang ditangkap serta ditahan sewenang-wenang oleh kepolisian.
Menyikapi berbagai hal-hal tersebut di atas, maka kami mendapatkan temuan dan berpendapat sebagai berikut:
- Bahwa tindakan represif kepolisian merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Hak atas kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) serta Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Bahwa tindakan kepolisian dalam melakukan pemeriksaan terhadap massa aksi yang ditangkap dilakukan dengan prosedur ilegal yakni dengan berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan praktiknya menjadi ruang untuk mencari-cari kesalahan karena ketiadaan bukti permulaan yang cukup;
- Bahwa tindakan kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan luka yang mana orang yang diperiksa sudah mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengiyakan pertanyaan dari pihak kepolisian. Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk torture atau penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
- Bahwa penghalangan terhadap akses bantuan hukum merupakan pelanggaran terhadap Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 60 KUHAP, dan Pasal 14 Kovenan HAM Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 serta menghalangi akses warga negara terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945;
- Bahwa penangkapan pada kurang lebih 200 orang anak di bawah umur yang disertai dengan tidak diberikannya pendampingan oleh orang tua dan tidak diperbolehkan mendapat bantuan hukum merupakan pelanggaran terhadap hak setiap anak dalam proses peradilan pidana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Penting juga untuk menyoroti ketiadaan perwakilan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam mendampingi pelaksanaan proses hukum pidana terhadap anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA;
- Bahwa aparat kepolisian melakukan pemeriksaan tes urin secara sewenang-wenang padahal pemeriksaan yang sedang berlangsung bukan bagian dari proses penyidikan tindak pidana narkotika. Bahkan pemaksaan tes urine dilakukan sebelum adanya pendampingan oleh pengacara. Hal ini bertentangan dengan Pasal 75 huruf i UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
- Bahwa aparat kepolisian juga kembali melakukan kekerasan terhadap seorang jurnalis Antara yang sedang meliput berlangsungnya aksi demonstrasi. Kekerasan berulang tanpa terdapatnya pertanggungjawaban hukum merupakan indikasi keroposnya jaminan perlindungan terhadap pers. Pers dalam menjalani fungsinya mendapatkan perlidungan sebagaimana yang diatur melalui Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tindakan penghalang-halangan kerja-kerja jurnalis merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur pada Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya melanggar prinsip-prinsip kemerdekaan pers, namun juga merupakan pelanggaran terhadap hak atas informasi bagi publik sebagaimana yang diatur dan dijamin pemenuhannya pada Pasal 28F UUD NRI 1945.
- Bahwa keseluruhan rangkaian kejadian represi dan kekerasan terhadap massa aksi, warga sekitar, pers, dan individu lainnya serta tidak diberikannya pendampingan hukum dan hak-hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan bentuk penyempitan ruang sipil dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara aktif maupun melalui pembiaran oleh negara.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) akan memantau berbagai aksi yang akan dilaksanakan pada hari ini (28/8/25) dan hari-hari mendatang. Berbagai kelompok menyerukan seruannya terhadap aksi massa menanggapi kondisi bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Adanya aksi massa ini harus dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia dan bentuk upaya aktif untuk ikut serta dalam berjalannya pemerintahan. Kami juga memantau banyaknya pemberitaan yang tidak benar dari pejabat publik yang meminta aparat kepolisian melakukan tindakan represif yang melanggar undang-undang. Maka, kami menghimbau agar aparat keamanan untuk tidak bertindak represif dan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Maka dari itu, kami mendesak sejumlah pihak untuk:
Pertama, kepada Polri untuk mentaati serta mengedepankan penggunaan kekuatan yang didasarkan pada prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, serta mengedepankan langkah-langkah preventif sesuai dengan ketentuan dalam Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Penggunaan senjata pengurai massa oleh aparat dalam menjalankan tugas juga harus disesuaikan dengan situasi dan dilakukan sedemikian rupa untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan, sebagaimana diatur dalam United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials.
Kedua, kepada Polri agar melakukan proses pemeriksaan secara etik dan proses pidana terhadap para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran seperti tindakan brutal terhadap massa aksi hingga penghalang-halangan proses bantuan hukum.
Ketiga, kepada lembaga pengawas eksternal kepolisian seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pemantauan langsung di lapangan terhadap pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aktif melakukan upaya preventif dan korektif sesuai dengan mandat dan kewenangan masing-masing lembaga serta melaporkannya secara berkala kepada publik.
Jakarta, 28 Agustus 2025 Hormat Kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi
Narahubung:
- Fadhil Alfathan (LBH Jakarta);
- Andrie Yunus (KontraS);
- Arif Maulana (YLBHI);
- Gema Gita Persada (LBH Pers).