[Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nomor 224/RILIS-PERS/LBHJ/VI/2025]
“Pernyataan Ketua Komisi III DPR RI: Mengkhianati Reformasi, Mengerdilkan Marwah Mahkamah Konstitusi”
Rabu, 18 Juni 2025 – LBH Jakarta mengecam keras pernyataan Ketua Komisi III DPR RI mengenai meaningful participation dan Mahkamah Konstitusi. Pada Rabu, 17 Juni 2025, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI dengan LPSK dan PERADI, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyampaikan pernyataan mengenai proses pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi yang pada intinya dianggap tidak berdasarkan meaningful participation.
Beberapa petikan pernyataan Ketua Komisi III DPR RI mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
“Di DPR ini, kadang-kadang kita udah capek bikin undang-undang dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi…,” (Menit: 1.04.55 s.d. 1.05.01)
“Ada senjatanya Mahkamah Konstitusi itu Meaningful Participation…,” (Menit: 1.05.03 s.d. 1.05.07)
“Jangan sampai kita udah capek berbulan-bulan RDPU dengan gampangnya pula oleh sembilan orang (Hakim MK) itu dipatahkan lagi…,” (Menit: 1.05.33 s.d. 1.05.39)
“Padahal kalau dibilang partisipasi, Putusan MK itu sama sekali nggak melibatkan partisipasi siapapun kecuali 9 orang (Hakim MK) itu.” (Menit: 1.05.47 s.d. 1.05.56)
(Sumber: Youtube/TVR Parlemen, “Komisi III DPR RI RDPU dengan Ketua LPSK dan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia tentang KUHAP”)
Atas pernyataan tersebut, LBH Jakarta berpendapat sebagai berikut:
Pertama , kami menilai, ucapan Ketua Komisi III DPR RI tersebut adalah bentuk ketidakpahaman Ketua Komisi III DPR RI terhadap mekanisme check and balances serta independensi kekuasaan yudisial dalam negara demokratis. Dalam negara hukum, pembatasan kekuasaan (termasuk kekuasaan legislatif) adalah prinsip utama untuk menjaga agar tidak terjadi abuse of power dalam menjalankan pemerintahan. Hanya dengan kekuasaan yudisial yang independen, rakyat bisa mengadukan manakala terjadi abuse of power yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.
Kejadian ini bukanlah kejadian pertama. Sebelumnya, DPR RI pernah melakukan hal serupa dengan memberhentikan Hakim Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan subjektif yaitu Aswanto dianggap gagal mewakili kepentingan DPR RI. Pemberhentian ini juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan prosedur pemberhentian dan pengangkatan Hakim MK yang ada dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Maka, kejadian ini menegaskan posisi DPR RI yang alergi terhadap kontrol oleh cabang kekuasaan lainnya. Tindakan tersebut merupakan bentuk konkrit dari fenomena autocratic legalism (Kim L. Scheppele, 2018).
Kedua , ucapan Ketua Komisi III DPR RI tersebut merupakan bentuk pengkerdilan terhadap marwah Mahkamah Konstitusi yang sudah sepatutnya berperan sebagai The Guardian of The Constitution, The Protector of Human Rights, dan The Guardian of Democracy. Sangat disayangkan pejabat negara, dalam hal ini Ketua Komisi III DPR RI yang menaungi bidang hukum, justru tidak memahami dan malah mengeluarkan pernyataan yang menegasikan peran Mahkamah Konstitusi sebagai produk reformasi yang sudah sepatutnya berperan menjaga konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Ketiga , ucapan tersebut mengindikasikan adanya keinginan atau upaya-upaya terselubung untuk mengerdilkan partisipasi publik yang bermakna dalam pembahasan produk hukum yang tengah dibahas, salah satunya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bukan tidak mungkin produk hukum yang sebelumnya dibentuk dan menuai protes publik karena nirpartisipasi juga dilahirkan melalui kesesatan berpikir yang sama.
Sebagai pejabat publik yang memberikan pernyataan dalam forum resmi DPR RI, maka pernyataan Ketua Komisi III DPR RI harus memperhatikan norma-norma hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab, pernyataan resmi yang tercatat dalam suatu forum resmi dapat dijadikan dasar atau pedoman penyelenggara negara dalam bertindak, maka pernyataan itu harus diberikan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan tidak mengandung kebohongan (bedrog) sebagaimana dinyatakan dalam Putusan PTUN Jakarta Nomor 99/G/2020/PTUN-JKT.
Selain itu, Anggota DPR berkewajiban menaati tata tertib dan Kode Etik serta menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan Pasal 13 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2025.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, LBH Jakarta mendesak kepada:
1. Habiburokhman selaku Ketua Komisi III DPR RI untuk mencabut dan memohon maaf kepada publik atas pernyataannya dalam RDPU pada tanggal 17 Juni 2025 yang secara nyata telah mendiskreditkan Mahkamah Konstitusi dan mengerdilkan esensi meaningful participation;
2. Mahkamah Kehormatan Dewan untuk melakukan pengawasan dan penyelidikan pelanggaran Kode Etik baik berupa ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan Ketua Komisi III DPR RI sebagaimana yang diatur berdasarkan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang serta menjatuhkan sanksi etik kepada Habiburokhman;
3. Presiden dan DPR RI selaku pembentuk undang-undang untuk memahami, menaati, dan melaksanakan sepenuhnya prinsip-prinsip meaningful participation dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Jakarta, 18 Juni 2025,
Hormat kami
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
1. Fadhil Alfathan (Direktur);
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (Kepala Bidang Advokasi).