Buku Saku
“Power concedes nothing without a demand.”
And if there is no struggle, there is no progress” – Frederick Douglass
Reformasi Kepolisian belum usai. Jauh dari kata selesai. Meski dwifungsi ABRI dicabut, kepolisian kemudian dikeluarkan dari subordinat militer, bukan serta merta Reformasi Kepolisian telah berjalan signifikan.
Restrukturisasi aktor keamanan hanya salah satu bagian penting untuk memulai Reformasi Sektor Keamanan (security sector reform), dalam hal ini Kepolisian. Dengan harapan, meneguhkan supremasi sipil.
Setelah sebelumnya bandul reformasi 1998 mengharuskan transisi Indonesia menuju negara yang demokratis (demokratisasi) serta menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) setelah 32 tahun berada di bawah kendali rezim otoriter Orde Baru. Itu sebabnya Kepolisian kemudian dilahirkan menjadi “sipil baru”.
Restrukturisasi aktor keamanan dan Refor masi Kepolisian seharusnya dapat mendegradasi secara signifikan keterlibatan politik (depolitisasi) dalam praktik penegakan hukum. Mengingat pada rezim Orde Baru, Kepolisian menjadi salah satu aktor keamanan yang dijadikan alat politik untuk memfasilitasi kejahatan negara bahkan sampai alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam tran sisi demokrasi, kejahatan semacam itu tidak boleh kembali terjadi. Mengutip Thomas P. Power (2020), penegakan hukum yang tidak memihak secara politik adalah salah satu prinsip inti dari pemerintahan yang demokratis.
Dengan dicabutnya kepolisian dari subordinat militer yang dimaksudkan menjadi sipil baru itu, harapannya kultur dan praktik militer isme di kepolisian pun ikut terkikis-luntur. Menukil pendapat David Wise (1998), selama polisi ditempatkan dalam struktur militer, bias tugas dan fungsi akan terjadi. Tentara yang berjalan pada koridor tugas to kill jelas berbeda dengan polisi yang bertugas to protect. Asimilasi militerisasi ini membuat polisi gagap merespons masyarakat sipil sehingga justru menjadi musuh.
Unduh Bukus saku pada tautan dibawah ini: