Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Nomor 492/RILIS-LBH/XII/2024
Sabtu, 21 Desember 2024 – Dua hari belakangan, publik dikejutkan dengan adanya pembredelan terhadap Pameran Tunggal Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”. Pembredelan ini disinyalir karena muatan kritik sosial dalam karya seni yang akan dipamerkan.
Atas kejadian tersebut, LBH Jakarta menyampaikan temuan sebagai berikut:
Pertama, bahwa permintaan untuk menurunkan 5 karya seni rupa dan penundaan pameran tunggal yang dialami oleh Yos Suprapto merupakan bentuk represi ekspresi seni dalam menikmati hak atas kebebasan berekspresi sebagai individu dan warga negara. Sejatinya berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap orang yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kedua, karya seni yang akan ditampilkan oleh Seniman Yos Suprapto bukanlah merupakan bentuk ekspresi yang dapat dibatasi menurut instrumen hak asasi manusia internasional, melainkan merupakan bentuk ekspresi yang sah. Pihak Galeri Nasional tidak menyampaikan alasan rasional berkaitan dengan pelarangan dan penundaan pameran. Dalam hukum hak asasi manusia internasional, kebebasan berpendapat memang dapat dibatasi. Namun, pembatasannya harus dilakukan secara ketat sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang diatur. Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi menimbulkan tanggung jawab dan kewajiban khusus, oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan itu harus dilakukan sesuai dengan hukum sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Dalam konteks pembatasan hak asasi manusia, perlu diingat bahwa Prinsip Siracusa menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya bisa dibatasi oleh negara dalam kondisi berikut:
- diatur oleh hukum (prescribed by law);
- diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society);
- untuk melindungi ketertiban umum (public order);
- untuk melindungi moral publik (public moral);
- untuk melindungi keamanan nasional (national security); dan
- untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others).
Selain itu, terdapat istilah necessary yang berarti bahwa pembatasan didasarkan pada salah satu alasan yang dibenarkan dalam Kovenan, pembatasan harus menjawab kebutuhan sosial, harus digunakan untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim), dan proporsional. Pembatasan haruslah ketat, bahkan harus dilaksanakan melalui hukum dalam bentuk undang-undang.
Ketiga, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dengan Yos Suprapto sebagai korbannya. Negara telah berperan aktif dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Direktur Galeri Nasional merupakan pejabat dari badan publik yang berada di bawah Museum dan Cagar Budaya di bawah Kementerian Kebudayaan. Permasalahan mengenai pembredelan pameran tunggal Yos Suprapto ini telah melibatkan struktur pemerintahan hingga tingkat kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan. Dalam komunikasi yang dilakukan oleh Wakil Menteri Kebudayaan (Wamenbud) kepada pihak penyelenggara acara, Wamenbud seakan-akan resisten terhadap berjalannya pameran dan menganggap salah satu karya dalam lukisan adalah bentuk tindakan asusila yang ditafsirkan sebagai sosok Joko Widodo, sehingga mewajarkan pameran tunggal tersebut tidak jadi diadakan; Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari 100 hari Pemerintahan baru, struktur ketatanegaraan dalam kementerian/lembaga bentukan baru Rezim Prabowo Subianto yang membidangi Kebudayaan, mulai dari Menteri Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Kepala Museum dan Cagar Budaya, dan Direktur Galeri Nasional Indonesia telah gagal dalam menjamin ekosistem kebebasan berekspresi khususnya ekspresi seni dalam mendukung pemajuan kebudayaan bangsa Indonesia.
Pelanggaran hak asasi manusia terjadi karena negara semestinya merupakan pemegang kewajiban (duty-bearer) dalam konteks hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Sehingga, sudah sepatutnya pemerintah melaksanakan kewajibannya secara positif (positive rights) untuk menjamin pelaksanaan pameran tunggal Yos Suprapto sebagai bentuk pemenuhan dan perlindungan terhadap ekspresi seni sebagai hak asasi manusia.
Keempat, tindakan penundaan dan pembredelan karya seni dari Yos Suprapto merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dalam negara yang demokratis, kritik melalui sarana apapun, termasuk seni adalah sah keberadaannya. Apa lagi, karya seni Yos Suprapto merupakan bentuk kritik yang berdasarkan pada penelitian ilmiah (scientific) yang diperoleh dari kondisi faktual pada kultur pertanian di beberapa Indonesia. Sehingga, pelarangan terhadap penyampaian (diseminasi) dari hasil riset ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip kebebasan akademik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip demokrasi. Pengalaman subjektif yang dialami oleh Yos Suprapto merupakan preseden buruk yang berulang (sebelumnya telah terjadi pembubaran Belok Kiri.Fest pada 2016 dan pemberangusan ekspresi mural kritik pada 2021 di Rezim Jokowi) dalam kebudayaan Indonesia dan bukti nyata kemunduran demokrasi;
Kelima, tindakan penundaan pameran ini menyebabkan adanya kerugian materiil langsung yang diderita oleh Yos Suprapto sebagai seniman. Yos Suprapto berhak atas pemulihan yang efektif sebagai korban pelanggaran HAM dan menuntut ganti kerugian kepada Pemerintah yang berkontribusi atas adanya pembredelan pameran tunggalnya.
Oleh karena itu, kami mendesak pihak-pihak sebagai berikut:
- Mendesak Presiden, Menteri Kebudayaan, Kepala Museum dan Cagar Budaya, dan Direktur Galeri Nasional Indonesia untuk bertindak demokratis dan segera membuka pameran seni tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia; dan
- Mendesak Komisi Nasional HAM untuk melakukan tindakan aktif atas adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia melalui fungsi pemantauan dan penyelidikan dalam kasus pembredelan pameran tunggal Yos Suprapto atas surat permintaan klarifikasi yang telah disampaikan di tanggal 20 Desember 2024.
Jakarta, 21 Desember 2024
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
Astatantica Belly Stanio – [email protected]
Alif Fauzi Nurwidiastomo – [email protected]