Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Nomor: 481/RILIS-LBH/XII/2024
“Buruh Perempuan yang Membela Diri Tidak Boleh Dikriminalisasi!”
Selasa, 17 Desember 2024. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan pendapat tertulis sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus yang menjerat Septia, buruh perempuan yang sebelumnya bekerja PT Hive Five. Sejak 2023 lalu, Septia dilaporkan oleh Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, mantan atasannya ke Polda Metro Jaya hanya karena menyampaikan fakta mengenai adanya kondisi kerja yang buruk dan berbagai pelanggaran hak normatif yang dialaminya semasa bekerja di PT Hive Five.
Proses hukum terhadap Septia terus bergulir hingga akhirnya ke persidangan. Pada 11 Desember 2024, di persidangan dengan agenda tuntutan, Septia dituntut hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulan kurungan karena dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
LBH Jakarta menilai bahwa proses persidangan ini tidak semestinya terjadi. Hal tersebut karena sejak proses penyidikan hingga persidangan, terjadi serangkaian kesalahan penerapan delik. Lebih lanjut, dalam pendapat tertulisnya, LBH Jakarta juga menegaskan bahwa Septia telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang sebenarnya disampaikan secara sah di ranah digital.
Adapun pendapat tertulis tersebut, pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pernyataan Septia dalam akun Twitter pribadinya bukanlah pendapat dan ekspresi yang dilarang di dalam ketentuan pembatasan hak asasi manusia (HAM). Pernyataan tersebut justru dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum HAM baik nasional maupun internasional.
Kedua, konstruksi dakwaan penuntut umum dalam perkara ini mengandung kekeliruan yang fatal, khususnya mengenai penerapan delik penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah, yang seharusnya menempatkan individu/orang perseorangan sebagai korban dari delik tersebut. Dalam berbagai ketentuan maupun doktrin, korban dari delik penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah haruslah orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Delik-delik tersebut tidak dapat didakwakan terhadap Septia karena Penuntut Umum menempatkan pihak yang menjadi korban adalah Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF dalam jabatan/kedudukannya sebagai Komisaris PT Hive Five.
Ketiga, pernyataan Septia di akun Twitter pribadinya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang ia alami sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif. Pernyataan tersebut tak lain merupakan wujud pembelaan diri dan kepentingan umum dari praktik korporasi yang melanggar hak buruh. Oleh karenanya, berdasarkan berbagai ketentuan dan doktrin, Septia tidak dapat dipidana. Terlebih dalam pernyataannya tidak terdapat pula kesengajaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
Keempat, sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif, tentunya Septia memiliki relasi kuasa yang timpang dengan Pelapor/Saksi Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Selain itu, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF juga merupakan figur publik yang secara umum status sosial-ekonominya dapat dikatakan lebih tinggi ketimbang Septia. Oleh karenanya, untuk dapat mengikis relasi kuasa tersebut dan demi proses peradilan yang adil, maka Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo wajib menjalankan proses persidangan dengan didasarkan pada PERMA No. 3/2017.
Berdasarkan uraian-uraian dalam pendapat tertulis sebagai amicus curiae ini, maka kami meminta agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan bebas untuk Septia. Hal ini untuk menghindari proses peradilan yang sesat (miscarriage of justice), serta menjadi penting bagi lembaga peradilan untuk menegaskan kembali posisinya sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan.
Jakarta, 17 Desember 2024
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta