Jakarta, 22 Mei 2024 – Koalisi Masyarakat Sipil mengecam segala bentuk ancaman, intimidasi, kekerasan dan pengusiran paksa yang dialami oleh warga Kampung Susun Bayam (KSB). Kekerasan yang terjadi dilakukan oleh petugas keamanan Jakarta International Stadion (JIS), Jakarta Propertindo (JAKPro), Satuan Pamong Praja (Satpol-PP), Polri dan TNI pada Selasa, 21 Mei 2024 di Rumah Susun Kampung Bayam (Rusun KB)
Sebelumnya Pemprov DKI bersama JAKPro menjanjikan pembangunan Rusun KB kepada warga KSB yang tergusur akibat pembangunan JIS. Namun, kini Pemprov DKI justru hendak merelokasi warga KSB ke Rusun Nagrak yang berada di Cilincing, Jakarta Utara. Warga pun menolak rencana tersebut. Dari informasi yang kami terima dan telusuri, petugas keamanan JIS dan polisi datang ke rumah warga KSB dan langsung meminta warga untuk segera mengosongkan kediamannya masing–masing. Petugas keamanan JIS dan Polisi memaksa masuk serta melakukan kekerasan untuk membuat warga keluar dari rumahnya. Pemaksaan tersebut pun berujung kekerasan hingga beberapa warga mengalami luka-luka dan warga lainnya yang merupakan Ibu serta anak mengalami trauma atas kekerasan yang dialami.
Warga yang dipaksa keluar kemudian dikumpulkan di pelataran Rusun KB. Warga yang sudah terkumpul pun dikelilingi oleh para petugas keamanan JIS dan polisi sehingga warga tidak dapat meninggalkan pelataran Rusun KB. Dalam kumpulan tersebut, JAKPro terus memaksakan agar warga segera meninggalkan Rusun KB, yang kemudian di dalam rilis persnya disebutkan bahwa yang dilakukan oleh JAKPro adalah pemulihan aset. Akhirnya, warga yang mulai merasa kelelahan bertahan sejak pagi pun membuat kesepakatan antara perwakilan JAKPro dan perwakilan warga yang disaksikan oleh pihak Polisi.
Penggusuran Paksa Kali Ke-2
Peristiwa pengusiran paksa ini bukan kali pertama dilakukan oleh Pemprov DKI dan JAKPro terhadap warga KSB. Kami melihat dalih pemulihan aset sejatinya adalah penggusuran paksa yang mana di dalam praktiknya adalah menghilangkan hak atas tempat tinggal warga negara dengan prosedur yang tidak layak secara hukum dan menghilangkan kohesi sosial antar masyarakat di dalamnya. Padahal, hak atas tempat tinggal telah dijamin oleh Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 H Ayat (1) Konstitusi UUD 1945 jo. Pasal 11 UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, jo. Pasal 40 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana menjamin bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, serta Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah Pelanggaran HAM Berat (gross violation of human rights). Oleh karena itu, upaya penggusuran paksa disertai kekerasan dan intimidasi jelas telah melanggar hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara.
Selain itu, dalam Pasal 12 Ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan bahwa “Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut”. Kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM ada pada Negara, maka sudah menjadi kewajiban Pemprov DKI Jakarta dalam kasus ini untuk memenuhi hak atas ruang hidup warga KSB.
Polisi dan Petugas Keamanan (Satpam) Sebagai Alat Represi
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan, kami melihat bahwa anggota kepolisian melakukan pembiaran tindak kekerasan yang dilakukan oleh Satpam Jakpro. Kami menilai tindakan pembiaran tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap mandat konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 yang yang menyatakan bahwa fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Selain itu, terdapat sekitar 500 aparat gabungan terdiri dari Satpam, Pol PP, Polri dan TNI yang dikerahkan untuk mengusir warga KSB yang hanya berjumlah 150 orang dari 37 Kepala Keluarga (KK). Kami menilai hal tersebut jelas merupakan bentuk dari penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) dalam tindakan pengamanan. Penggunaan kekuatan aparat tersebut merupakan tindakan yang dilarang oleh berbagai ketentuan/instrumen internal maupun peraturan lainnya. Peraturan yang dimaksud yakni Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Perkap 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bayang-Bayang Kriminalisasi Terhadap Warga
Selain tindak kekerasan dalam penggusuran paksa, kami menyoroti anggota kepolisian yang menggunakan instrumen hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga yang bertahan dan memperjuangkan hak atas tempat tinggalnya. Dua bulan sebelumnya, seorang warga ditangkap dan ditahan serta ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Jakarta Utara atas dugaan tindak pidana pencurian, pengrusakan dan/atau memasuki pekarangan milik orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP Subsider Pasal 362 KUHP dan atau Pasal 406 KUHP dan atau Pasal 167 KUHP. Baru pada 21 Mei 2024, warga tersebut dibebaskan setelah terdapat kesepakatan.
Perlu ditegaskan, warga KSB baik secara individu maupun berkelompok telah bertindak selaku pembela Hak Asasi Manusia. Kami menilai tindakan kepolisian yang berusaha melakukan kriminalisasi warga bertujuan mengancam dengan maksud untuk membuat takut warga KSB yang bertahan memperjuangkan haknya. Jika tindakan semacam ini terus dilakukan oleh kepolisian, maka hal ini merupakan bentuk serangan serius terhadap kerja-kerja pembela HAM.
Lambannya Lembaga Pengawas Eksternal
Selanjutnya, kami juga menyayangkan lambannya hingga minimnya fungsi pengawasan lembaga pengawas eksternal. Dalam konteks terjadinya ragam pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh aparat negara tidak dilakukan proses pertanggungjawaban hukum yang memadai dan berkeadilan. Peran Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal kepolisian juga terlihat pasif ketika terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan anggota polisi di lapangan. Hal ini menyebabkan peristiwa serupa berulang dan merugikan masyarakat.
Selain itu, Komnas HAM sebagai salah satu manifestasi kehadiran negara dalam pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dinilai lamban dan terkesan tidak serius dalam menangani permasalahan ini. Hal ini dilihat dari proses tindak lanjut yang berlarut atas upaya pelaporan maupun pengaduan warga kampung bayam.
Pengusiran Paksa Warga Kampung Bayam Telah Menjadi Pola Pelanggaran oleh Negara Atas Peminggiran atas Ruang Hidup Warga.
Lebih lanjut, Pengusiran paksa warga KSB telah menjadi pola pelanggaran berulang oleh aparat negara karena melakukan atas peminggiran hak ruang hidup masyarakat. Pemerintah kerap kali mengabaikan hak asasi manusia dan proses hukum yang adil dalam penyelesaian konflik. Hal ini juga mencerminkan pendekatan pemerintah yang konsisten tidak mengakui dan merepresi hak-hak warga negara dalam proses pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat diketahui peristiwa seperti ini telah menambah daftar panjang kasus penggusuran dan pengusiran secara sewenang-wenang yang terus terjadi setiap tahunnya. Pola ini akan terus menjadi siklus yang sulit diputus. Pemerintah akan terus menjadikan warga negara sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Sehingga Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan dan mendesak:
- Mengecam keras tindakan pengusiran paksa sewenang-wenang yang melanggar hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Jakarta Propertindo (JAKPro) dengan melibatkan petugas keamanan Jakarta International Stadion (JIS), Satuan Pamong Praja (Satpol-PP), Polri dan TNI;
- Menuntut Pj. Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk menghentikan penggusuran paksa sewenang-wenang yang jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia serta segera mengembalikan warga ke Kampung Rumah Susun Bayam yang merupakan hak warga kampung bayam;
- Kepolisian Republik Indonesia, Mabes Polri Cq. Polda Metro Jaya untuk menghentikan segala bentuk represifitas yang dilakukan terhadap warga kampung susun bayam;
- Komisi Kepolisian Nasional selaku lembaga pengawas eksternal Kepolisian untuk melakukan rangkaian pengusutan atas dugaan pelanggaran HAM atas prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian;
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman Republik Indonesia, Komnas Perempuan serta lembaga terkait untuk segera menindaklanjuti laporan warga serta mengedepankan prinsip dan standar hak asasi manusia dalam mengusut tuntas pelanggaran HAM yang dialami warga kampung bayam.
Hormat kami
Koalisi Masyarakat Sipil:
- LBH Jakarta
- KontraS
- WALHI Jakarta
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Paralegal Komunitas
- Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB)
- Forum Pancoran Bersatu
- Forum Warga Kampung Pilar Tertindas (FORWAPTI)
- Warga Rusun Petamburan