(Perempuan Mahardhika, Jala PRT, FAMM Indonesia, YAPPIKA – World March of Women, Marsinah.id, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH Jakarta, Sanggar Swara, Konde.co, Arus Pelangi)
Jakarta, 26 November 2023 – Momentum 16 HAKTP yang diperingati secara global dan berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember ini menjadi pijakan bagi sejumlah organisasi perempuan dan masyarakat sipil di Indonesia untuk menyatakan sikap tentang konteks kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat global maupun nasional.
Eskalasi peperangan yang terus meningkat di berbagai belahan dunia termasuk yang saat ini terjadi di Palestina menyebabkan angka kekerasan terhadap perempuan melonjak tajam. Menurut Lita Anggraini dari Jala PRT, situasi perang tidak hanya menyebabkan korban jiwa, namun juga pengungsian besar-besaran, perdagangan orang dan bisa berujung pada situasi perbudakan. Lita juga menyinggung bahwa situasi perbudakan pun banyak dialami oleh PRT di Indonesia saat ini dan undang-undang yang dapat melindungi PRT dari situasi tersebut, masih belum disahkan.
Terdapat kebutuhan untuk mengungkap alasan sistemik yang menyebabkan adanya kebijakan pembangunan yang tidak adil dan tidak mengakui kerja perempuan saat ini yaitu sistem ekonomi politik yang rasis, militeristik serta kapitalistik. Menurut Soka Handinah dari YAPPIKA dan perwakilan World March of Women, untuk menghentikan genosida yang terjadi di Palestina dan eksploitasi tubuh, tenaga kerja, tanah serta lautan, saat ini kita membutuhkan perubahan sistem tersebut.
Dalam konteks Indonesia, situasi 16 HAKTP berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena saat ini kita tengah berada dalam masa menjelang Pemilu. Namun begitu, menurut Luviana dari Konde.co isu perempuan dan kelompok marjinal justru minim mendapatkan perhatian di media ditengah kontestasi calon pemimpin saat ini. Pemilik perusahaan media yang juga berpartai justru menggunakan media untuk melakukan gimmick tanpa kendali.
Oleh karena itu, melalui siaran pers, kami menyoroti beberapa isu yang penting untuk terus menjadi perhatian guna perbaikan kualitas hidup dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan :
Kekerasan ekonomi pada perempuan dapat dilihat dari pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 51/2023 yang menjadi dasar penetapan formula upah minimum. Menurut Dian Septi dari Marsinah.id, formula kebijakan pengupahan yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak sesuai dengan kebutuhan riil pekerja dan juga keluarganya. Kebutuhan perempuan tidak pernah dilihat sebagai penentu utama kebutuhan upah. Konsep ekonomi pasar tidak pernah menghitung ongkos reproduksi sosial.
Meski Indonesia telah memiliki Undang-undang secara khusus tentang kekerasan seksual yaitu UU TPKS 22/2022 namun implementasi kebijakan tersebut masih menemui banyak ganjalan. Menurut Citra Referendum – LBH Jakarta yang telah menghimpun pengaduan korban kekerasan seksual melihat bahwa aturan-aturan turunan dari UU TPKS belum juga diterbitkan dan proses penyusunannya kurang melibatkan partisipasi penyintas serta para pendamping. Hal tersebut berpengaruh pada ketidakpahaman APH sehingga pelaporan korban justru berujung dengan reviktimasi oleh kepolisian.
Hal serupa juga disampaikan oleh Echa dari Arus Pelangi yang menyampaikan bahwa kekerasan berulang yang dialami transpuan juga terjadi ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual dan melapor ke polisi. Pertanyaan polisi justru mengarah pada identitas gender bukan kasusnya.
Lebih jauh, Kanza Vina dari Sanggar Swara juga menuturkan bahwa eskalasi kekerasan yang dihadapi oleh trangender perempuan terus meningkat di Indonesia. Transgender perempuan berada dalam situasti yang sulit dan banyak yang harus kehilangan nyawa karena kekerasan yang mereka alami. Eskalasi kekerasan ini juga dipengaruhi karena belum adanya payung hukum yang secara spesifik melindungi transgender di Indonesia.
Terakhir, kita tidak boleh lupa dengan upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus menemui jalan buntu dalam beberapa kali periode pemerintahan setelah reformasi. Menurut Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika, komitmen terhadap penegakan HAM baik yang terjadi di masa lalu maupun masa kini merupakan indikator untuk menilai kualitas proses Pemilu di Indonesia saat ini.
Mirisnya lagi, dalam rentang 16 HAKTP yang salah satunya adalah pengakuan aktivisme perempuan dalam membela Hak Asasi Manusia di seluruh dunia yang jatuh pada tanggal 29 November, di Indonesia kita justru dihadapkan dengan kriminalisasi aktivis perempuan pembela HAM, Fatia Maulidiyanti. Jaksa menuntut penahanan Haris Azhar dan Fatia dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan.