Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Peringatan yang berlangsung hingga tanggal 10 Desember ini dilakukan dalam
rangka untuk memberi dedikasi terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Perempuan seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan gender lainnya.
Namun realita yang masih terjadi hingga hari ini, masih banyak kesenjangan yang dialami
perempuan dan berdampak pada pelanggaran hak-haknya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari
budaya patriarki yang sudah tertanam dan mengakar di lingkungan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, bentuk kekerasan ranah KDRT
berjumlah 6.480, terdiri dari 3.221 kasus kekerasan terhadap istri, 1.309 kasus kekerasan
dalam pacaran, 401 kasus kekerasan mantan pacar, 127 kasus kekerasan mantan suami, 457
kasus kekerasan lain, selain itu kasus terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus. LBH
Jakarta sendiri hampir setiap harinya menerima pengaduan kekerasan terhadap perempuan.
Tahun ini, terdapat 55 kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan seperti, kekerasan
terhadap pacar, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelabelan, kekerasan berbasis
gender online (KBGO) dan masih banyak lagi. Selain itu, kriminalisasi terhadap perempuan
dan perempuan pembela HAM pun tak dapat dihindari, seperti yang dialami oleh Fatia
Maulidiyanti. LBH Jakarta menyoroti berbagai penyebab kerentanan terhadap perempuan
sebagai berikut:
Pertama, Subordinasi Perempuan. Dalam lingkungan patriarki, perempuan kerap
dikonstruksikan dalam posisi subordinasi sehingga tidak memiliki relasi yang setara dengan
laki-laki. Kedudukan, fungsi, dan peran perempuan sering ditempatkan lebih rendah dari
laki-laki. Kesenjangan ini menyebabkan dominasi oleh laki-laki dan diskriminasi terhadap
perempuan dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Perempuan tidak memiliki kesempatan
yang adil untuk mengambil peran yang sama dengan dengan laki-laki. Diskriminasi terhadap
perempuan telah melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan martabat perempuan.
Dalam hal pendidikan, perempuan dianggap tidak perlu memiliki pendidikan tinggi karena
pada akhirnya harus mengambil peran domestik. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021
mencatat perempuan melek huruf berumur 15 tahun ke atas lebih rendah dari laki-laki
sebanyak 94,65 persen sedangkan laki-laki sebanyak 97,43 persen. Selain itu, dalam ranah
politik, keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak mencapai 30%.
Kedua, Pelabelan Negatif atau stereotyping terhadap perempuan. Pelabelan berbasis
gender seakan sudah menjadi hal lumrah di tengah masyarakat. Dalam konstruksi sosial,
masyarakat kerap mendikotomi peran antara perempuan dan laki-laki berdasarkan
biologisnya. Laki-laki dianggap sebagai manusia kuat, rasional, perkasa sehingga layak
dijadikan sebagai pemimpin. Lain halnya perempuan yang dianggap harus lemah lembut dan
emosional sehingga sering dinomorduakan dalam belenggu kerja-kerja domestik. Konstruksi
sosial tersebut telah mereduksi makna gender yang sesungguhnya, hingga menimbulkan
subordinasi terhadap perempuan dan menghambat perempuan dalam mengambil perannya
dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Bahkan pelabelan ini didukung oleh Pasal 31 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang mebgatur bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah
tangga. Selain itu di Pasal 34 ayat (2) dikatakan isteri wajib mengatur rumah tangga
sebaik-baiknya. Hal ini merupakan pembatasan terhadap ruang gerak perempuan dan
laki-laki jadi merasa mendominasi dan berhak atas hidup perempuan, sehingga perempuan
hanya dijadikan objek.
Ketiga, Marginalisasi. Masyarakat cenderung berupaya mengontrol peran dan perilaku
perempuan. Praktik ini hidup dalam segala aspek kehidupan masyarakat, baik ekonomi,
politik, pendidikan, dan lain-lain. Adanya pembatasan terhadap ruang gerak perempuan ini
menjadi fakta bahwa ketimpangan gender dalam setiap ruang menjadi kultur yang hidup dan
mengakar, berdampak luas pada peran perempuan dan laki-laki dalam setiap aspek
kehidupan. Salah satu yang terjadi adalah peminggiran dalam sektor ekonomi, perempuan
diwajibkan bekerja memenuhi target pasar namun mengabaikan faktor reproduksi
perempuan. Dalam pandangan konservatif, perempuan diidentikkan dengan kerja-kerja
domestik sementara laki-laki bertugas mencari nafkah. Pun terdapat perempuan yang mencari
nafkah dianggap tetap harus bertanggungjawab dalam urusan rumah tangga. Hal ini
menyebabkan perempuan memiliki beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan pencari
nafkah.
Keempat, Kekerasan. Budaya patriarki dan superioritas laki-laki menyebabkan perempuan
sebagai pihak yang dianggap lemah sehingga kerap dijadikan sebagai objek kekerasan.
Dalam ranah privat, banyak perempuan dan anak mengalami kekerasan fisik, psikologis,
seksual(marital rape) maupun penelantaran ekonomi. Anak dalam rumah juga tidak luput
mengalami kekerasan yang sama, salah satunya adalah kekerasan seksual sedarah atau inses.
Dalam ranah publik, pekerja perempuan masih rentan dari kekerasan seksual di lingkungan
kerja, terutama penyandang disabilitas dan perempuan. Realita yang ditemui, korban
seringkali mengalami kekerasan berulang dan Pelaku lebih sering dibela. Tidak jarang pihak
kepolisian akan meminta untuk berdamai saja atau menyalahkan perempuan.
Sederet penyebab kekerasan terhadap perempuan ini tidak dapat dilepaskan dari tanggung
jawab negara sebagai pihak yang bertanggung jawab (duty bearer) dalam menjamin
perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak asasi perempuan. Sederet kebijakan negara
justru mendiskriminasi dan mengecilkan peran perempuan di Indonesia dalam berbagai
sektor. Dalam UU Cipta Kerja, kebijakan skema pengupahan merujuk pada kepentingan
pelaku usaha, padahal harusnya berdasarkan kondisi objektif dan riil pekerja. UU
Penanggulangan Bencana tidak mengakomodir kebutuhan khusus perempuan korban
bencana, seperti dalam hal kebutuhan reproduksi. Di lain sisi, belum memiliki payung hukum
yang mengakomodir perlindungan pekerja rumah tangga yakni, RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (PPRT) yang masih diperjuangkan selama 19 tahun. Hal ini menyebabkan
keberulangan kekerasan terhadap pekerja perempuan dan pelaku sulit tersentuh hukum.
Dari sisi penegakan hukum, penegak hukum kerap kali menolak laporan tindak pidana yang
diajukan oleh perempuan korban kekerasan. Dalam kasus yang diterima kepolisian, mirisnya
kepolisian tidak menggunakan bahkan mengetahui UU TPKS yang telah diberlakukan sejak
tahun 2022. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan perspektif penegak hukum atas
pengaturan yang menjadi payung hukum bagi perempuan sebagai korban maupun penyintas.
Dalam prosesnya, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak kunjung
diusut sampai tuntas, sehingga korban tidak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan atas
peristiwa yang dialaminya. Selain itu juga minimnya perspektif korban menyebabkan
penegak hukum memberi perlakuan yang diskriminasif dan memberikan pertanyaan dan/atau
komentar yang cenderung menyudutkan korban, sehingga dalam prosesnya sering
mereviktimisasi perempuan sebagai korban kekerasan.
Dalam pemberitaan media, narasi yang berkaitan dengan perempuan cenderung
mendiskreditkan perempuan demi kepentingan pasar. Tidak jarang perempuan dijadikan
sebagai objek dengan framing yang negatif. Tindakan tersebut sangat disayangkan
mengingat peran media yang akan berpengaruh membangun opini publik. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perempuan semakin rentan di tengah budaya patriarki.
Berdasarkan hal di atas, melalui peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2023
ini, LBH Jakarta mendesak Negara untuk:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk menjamin perlindungan, penghormatan, pemenuhan,
dan promosi keadilan dan kesetaraan gender, serta hak-hak perempuan dalam seluruh
proses pembentukan peraturan perundang-undangan;
2. Pemerintah Pusat agar segera membentuk dan mengesahkan peraturan pelaksana UU
TPKS dengan memperhatikan jaminan perlindungan bagi korban dan/atau pelapor
dari tuntutan pidana atau gugatan perdata;
3. Pemerintah Pusat agar segera mengesahkan RUU PPRT memberikan perlindungan
bagi pekerja rumah tangga;
4. Pemerintah Pusat agar menjamin akses layanan kesehatan (baik fisik dan psikis)
maupun pemulihan sosial.
5. Komnas Perempuan untuk mengedukasi masyarakat luas demi pencegahan kekerasan
terhadap perempuan;
6. Penegak Hukum mulai dari Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Institusi Peradilan
Mahkamah Agung untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan gender, hak asasi
manusia sesuai tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan UU TPKS dan turunannya
demi memastikan terselenggaranya proses penegakan hukum dan peradilan yang
berkeadilan, berperspektif korban dan keadilan gender;
7. Mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah Pemprov DKI Jakarta, serta memastikan
ketersediaan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dan Advokat yang merata di seluruh
wilayah Indonesia demi menjamin ketersediaan akses layanan bantuan hukum bagi
perempuan korban kekerasan;
8. Pemerintah Pusat agar segera meratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan
dan Pelecehan di dunia kerja demi menjamin ruang aman dan inklusif di lingkungan
kerja;
9. Pers untuk menciptakan pemberitaan yang inklusif bagi setiap pihak, terutama korban
kekerasan terhadap perempuan.