Momentum hari anak internasional yang jatuh pada 20 November 2023 merupakan kesempatan penting untuk menyuarakan refleksi terkait situasi faktual mengenai pemenuhan hak anak.
LBH Jakarta memandang bahwa selama setahun terakhir, situasi pemenuhan hak anak masih jauh dari ideal. Berdasarkan catatan yang berangkat dari hasil riset/kajian, pemantauan, serta pengalaman pendampingan masyarakat miskin, buta hukum, rentan, dan tertindas. Maka, berikut catatan kami:
Pertama, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) masih belum optimal dalam menjamin hak anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam kasus-kasus pidana yang menghadapkan anak sebagai pihak yang berkonflik dengan hukum, permasalahan sering terjadi mulai dari proses penahanan. Aparat penegak hukum masih menempatkan penahanan terhadap anak sebagai pilihan utama. Bahkan dalam praktiknya, batas mengenai jangka waktu penahanan yang berbeda dengan orang dewasa “diakali” dengan dalih rehabilitasi sosial. Selain itu, UU SPPA masih membatasi diversi secara kuantitatif dengan hanya melihat tinggi/rendahnya ancaman pidana, tanpa melihat derajat kesalahan/kejahatan.
Sebagai contoh, penahanan dengan jangka waktu yang melewati batasan dalam UU SPPA pernah dialami oleh Anak R. Ia didampingi oleh LBH Jakarta karena diproses hukum oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 pada saat menjadi bagian dari massa aksi penolakan wacana 3 periode Jokowi di depan DPR RI pada 11 April 2022. Ironisnya anak R dijatuhkan pidana selama 4 bulan penjara tanpa adanya proses diversi sebelumnya lantaran terbentur ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang membatasi diversi secara kuantitatif tanpa melihat derajat kesalahan/kejahatan.
Kedua, anak menjadi kelompok dengan kerentanan berganda dalam kasus-kasus penggusuran paksa.
Sebagai ekses dari kebijakan pembangunan yang eksploitatif, konflik agraria dan perampasan ruang hidup rakyat menjadi kondisi yang jamak terjadi di masyarakat. Hal tersebut diperparah dengan pelibatan aparat keamanan dengan jumlah besar dan pendekatan yang represif.
Kondisi demikian tentu menimbulkan suasana ketakutan khususnya kelompok rentan seperti anak yang seharusnya mendapatkan ruang yang kondusif bagi tumbuh kembangnya. Dalam ancaman penggusuran paksa yang mengancam ruang hidup warga Pancoran Buntu II misalnya, organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berpihak pada korporasi perampas lahan melakukan penyerangan dan perusakan terhadap fasilitas pendidikan anak, seperti PAUD. Selain itu, persoalan yang kurang lebih serupa dialami oleh anak di Kampung Bulak, Depok, Jawa Barat yang terancam penggusuran paksa pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sehari-hari mereka terpaksa berhadap-hadapan dengan eskavator dan aparat keamanan yang mencoba menggusur ruang hidupnya.
Dalam kasus penggusuran paksa, anak juga menjadi korban ketika mereka dan keluarganya dipaksa untuk pindah ke tempat yang jauh dari sekolah asalnya. Hal ini terjadi ketika Pemerintah tidak pernah mempertimbangkan perubahan pola hidup sehari-hari yang akan mengganggu tumbuh kembang anak. Pemindahan paksa yang dilakukan oleh pemerintah ke tempat yang jauh membuat anak-anak kesulitan mengakses sekolah. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap kualitas proses belajar mengajar bagi anak. Anak kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi di lingkungan sekitar tempat tinggal karena waktunya terambil akibat harus menempuh jarak sekolah yang jauh dengan tempat tinggal.Selain itu, anak juga tidak sedikit harus berpisah dengan temannya.
Hal ini dialami oleh anak korban penggusuran Kampung Bayam di wilayah Papanggo Jakarta Utara. Mereka digusur karena tanahnya digunakan untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Mereka pun tidak dapat menempati Kampung Susun Bayam sebagaimana sebelumnya dijanjikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Warga–termasuk anak mereka–bahkan dipaksa pindah ke Rusun Nagrak yang letaknya belasan kilometer dari lokasi sekolah. Anak-anak harus bangun lebih pagi untuk bersiap sekolah dan pulang menjelang malam untuk sampai ke rumah.
Ketiga, anak korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan keadilan dan kerap mengalami viktimisasi berganda.
Walaupun telah ada beberapa instrumen hukum yang memberikan jaminan keadilan bagi anak korban kekerasan seksual. Namun nyatanya, problem di lapangan bukan hanya pada tataran normatif atau instrumen hukumnya. LBH Jakarta menemukan, masalah pertama yang paling sulit dihadapi dalam proses penegakan hukum untuk perkara anak korban kekerasan seksual ada pada aparat penegak hukum itu sendiri, yaitu terbatasnya pengetahuan akan peraturan hukum yang berlaku dan kurangnya keberpihakan aparat penegak hukum kepada anak korban kekerasan seksual. Masalah kedua adalah tidak adanya koordinasi yang jelas antara aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah lainnya dalam rangka pengawasan, perlindungan, pemulihan serta penjaminan hak anak korban kekerasan seksual
Alih-alih memberikan perlindungan, anak justru dihadapkan pada proses hukum yang bertele-tele, aparat penegak hukum yang secara serampangan membebankan pembuktian kepada korban, serta stigma sosial yang menyertainya.
Keempat, minimnya perlindungan bagi pekerja magang.
Dengan dalih untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, praktik magang kerapkali digunakan sebagai metode pembelajaran. Harapannya agar siswa atau mahasiswa dapat menerapkan ilmunya dengan terjun langsung ke dunia kerja. Namun dalam praktiknya, magang tidak disertai dengan payung perlindungan hukum yang jelas dan memadai.
Ketiadaan perlindungan hukum di satu sisi dan kewajiban magang di sisi lain justru menempatkan pekerja magang–yang di antaranya berusia anak–berada pada relasi kerja yang bersifat eksploitatif. Hal tersebut karena Instrumen hukum yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi pekerja magang. Kondisi demikian jelas menunjukkan absennya peran negara dalam memberikan perlindungan. Ironisnya, perlindungan bagi pekerja magang justru bergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing yang sangat mungkin menjadi pelaku eksploitasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam memperingati Hari Anak Internasional 2023, LBH Jakarta mendesak:
- Perlu adanya revisi progresif terhadap UU SPPA yang kembali menekankan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penahanan harus dijadikan alternatif terakhir dengan batasan yang tegas, serta kewajiban upaya diversi harus dipandang secara kualitatif dengan melihat derajat kesalahan/kejahatan, bukan sekadar tinggi/rendahnya ancaman pidana;
- Pemerintah dan DPR RI melakukan evaluasi total terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang selama ini membawa dampak bagi perampasan ruang hidup rakyat, serta dampaknya terhadap kehidupan dan tumbuh kembang anak;
- Pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai acuan dasar dalam menerbitkan serangkaian peraturan turunan UU TPKS maupun UU lain yang menjamin hak keadilan dan pemulihan hak anak korban kekerasan seksual;
- Pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi terhadap berbagai regulasi mengenai ketenagakerjaan yang substansinya memuat perlindungan pekerja magang.
Jakarta, 20 November 2023Hormat kami.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta