Jakarta, 29 Oktober 2023. Rusun Marunda yang biasanya sepi, Minggu pagi cukup ramai terlihat warga
berkegiatan. Komunitas masyarakat di Rusun Marunda bersama dengan beberapa elemen masyarakat sekitar
mengadakan kegiatan yang bertajuk PESTAPERA: Pesta Perlawanan Batubara, sejak Jumat 27 Oktober 2023
s/d Minggu 29 Oktober 2023, di selasar Rusun Marunda Blok D, Jakarta Utara. PESTAPERA tidak hanya
dihadiri oleh warga RUSUNAWA, namun juga dihadiri oleh warga dari Marunda Pulo, Marunda Kepu,
Marunda Bidara, Nelayan Cilincing, Aliansi Buruh dan Koalisi Perjuangan Warga Jakarta
Kegiatan yang didukung oleh Greenpeace, Trend Asia, WALHI Jakarta, LBH Jakarta, SEBUMI dan sejumlah
lembaga lain seperti PDPI dan KOPAJA ini, bertujuan bertujuan untuk mendiskusikan permasalahan kota
(urban) yang dialami oleh warga Marunda dan sekitarnya. Selain itu, terdapat juga pemeriksaan kesehatan
warga, konsultasi hukum gratis, serta pameran budaya.
“Kami warga Marunda telah berjuang bertahun-tahun melawan Batubara. Hal ini tergambar dari hasil cukil
anak-anak yang menggambarkan cerita perjuangan warga atas perlawanan terhadap batubara yang selama ini
mencemari lingkungan di Marunda. Hal ini juga dapat dilihat dari antusiasme warga memeriksakan kesehatan
paru-parunya pada kegiatan PESTAPERA. Kami berharap kegiatan ini menjadi daya dukung desakan kepada
Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah nyata, menertibkan pelanggaran hak atas kota yang ada di
wilayah Marunda dan pencemaran dapat dihentikan.” Ungkap Cecep Supriyadi, salah satu warga di Marunda.
“Komunitas Marunda Raya adalah warga Jakarta juga, yang seharusnya tidak dilepaskan dari perhatian
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal yang perlu ditekankan, masalah yang mereka hadapi bukan hanya
persoalan debu batubara, namun juga mencakup akses kesehatan, pendidikan, pekerjaan layak, hak atas air
bersih, hingga moda transportasi yang belum maksimal mendukung mobilitas warga. Kesemuanya ini,
merupakan mimpi penghidupan yang layak dari warga Marunda yang belum terwujud hingga saat ini.” ungkap
Jeanny Sirait, Pengkampanye Urban Justice Greenpeace Indonesia.
“Membicarakan Marunda tidak bisa kita lepas dari kejadian di tahun 2021 dan 2022 ketika warga Rusun
Marunda menghadapi pencemaran udara akibat debu batubara yang mengakibatkan lingkungan menjadi
tercemar debu dan beberapa warga mengalami sakit. Saat itu, warga melakukan pengecekan sumber polusi yang
salah satunya berasal dari timbunan batubara yang ada di sekitar Rusun Marunda. Saat itu, warga bergerak
secara mandiri untuk mengurangi dampak debu dan melakukan pengaduan ke instansi pemerintahan terkait.
Hasil dari pergerakan warga mendapat perhatian pemerintah dan beberapa usaha pengurangan dampak debu
dilakukan. Kondisi saat ini, warga masih terus mengawasi kondisi udara di sekitar Rusun Marunda karena
aktivitas penggunaan batubara masih ada walau berkurang. Namun, harapan atas udara yang bersih masih tetap
diperjuangkan oleh warga.” ungkap Aprillia L Tengker, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Krisis lingkungan hidup yang terjadi di Marunda membuktikan tidak terpenuhinya hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat bagi masyarakat Jakarta. Hak atas lingkungan yang dijamin oleh konstitusi tersebut, di
lapangan justru diabaikan oleh pemerintah dengan mengesampingkan hak-hak masyarakat dan perlindungan
lingkungan hidup. Sebagai contoh, berlarut-larutnya penanganan polusi udara di Marunda yang telah
berdampak pada kesehatan masyarakat. Masyarakat telah memiliki bukti empiris yang menyatakan adanya
pencemaran udara di Marunda. Meski begitu, pemerintah masih saja lamban dalam mencari sumber penyebab
pencemaran udara. Sehingga meskipun PT KCN, salah satu penyebab polusi udara berhenti beroperasi,
pencemaran masih terjadi di Marunda. Lebih lanjut, Marunda sejatinya merupakan hanya satu contoh
pengabaian lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemerintah. Di Jakarta Utara saja, wilayah seperti Muara
Angke, Clincing, Muara Baru, dan wilayah lainnya masih memiliki persoalan serupa, yaitu pencemaran
lingkungan dan pengabaian oleh pemerintah.” Jelas M. Amminulah, staf kampanye WALHI Jakarta.
Melihat Marunda, secara terang kita melihat potret ketimpangan sosial di Jakarta. Kota besar, ibu kota negara,
yang di mata awam menjanjikan kesejahteraan dengan berbagai fasilitas yang membuat orang nyaman. Juru
Kampanye Energi dari Trend Asia, Meike Inda Erlina menegaskan bahwa pernyataan tersebut terbantahkan
ketika melihat Jakarta secara menyeluruh. ‘Marunda adalah contoh. Ruang hidup mereka dikepung Industri di
Jakarta Utara bahkan lintas dari Banten hingga Jawa Barat. Di sini saja terdapat kurang lebih 300 perusahaan
mulai dari industri manufaktur, garmen, minyak goreng, metal, baja, dll. Mereka diperhadapkan dengan polusi
seperti asap-asap pabrik yang listriknya ditenagai PLTU Batubara, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap,
stockpile batubara serta tongkang yang hilir mudik. Yang mana ini dikuasai hanya oleh segelintir orang. Industri
ini adalah bahan baku untuk memenuhi keinginan kita menggunakan pakaian mewah, tinggal di gedung bagus,
listrik menyala 24 jam, serta dapat berkendara dengan mobil atau motor. Jelas Meike’
Sementara warga Marunda setiap hari menghirup debu dan udara beracun, mengkonsumsi air dan sumber
pangan yang tercemar. Ruang bagi anak untuk belajar dan bermain tidak lagi aman, gizi mereka tak terjamin,
kesehatan warga terganggu, apalagi kesehatan paru-paru dan kulit, dan ini merentankan kesehatan reproduksi
perempuan. Akhirnya cost yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapat dari
hasil berdagang dan melaut. Bagaimana mungkin orang bisa sejahtera jika hidup di lingkungan yang rusak
seperti itu? Pemerintah harus berhenti dari batubara, transisi serius ke energi terbarukan. Pastikan pula
terwujudnya perbaikan ruang hidup yang aman dan layak dengan melibatkan partisipasi penuh warga, sehingga
berkeadilan dalam mengelola dan menjaga sumber daya milik bersama seperti air, udara, kota, pesisir dan masih
banyak lagi. Tutup Meike’
Pembangunan masif di perkotaan telah mendorong kota menjadi tempat yang rentan terhadap krisis iklim.
Permasalahan sosial dan lingkungan di kota tak lepas dari dampak krisis iklim hingga mengancam kehidupan
masyarakat perkotaan. Kekuatan kolektif tidak bisa diabaikan begitu saja. “Harapan dan keinginan warga
Marunda untuk mengakses layanan publik dasar dengan mudah, juga menjadi harapan banyak orang di kota
metropolitan ini,” tambah Jeanny. Selain itu, tak jarang solusi-solusi kecil untuk persoalan di kota justru datang
dari inisiatif komunitas, dan pelibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Bertepatan dengan Hari Kota Sedunia, Greenpeace International meluncurkan Peta Gerakan Warga Kota
global, sebuah platform interaktif dan crowdsourced yang menawarkan informasi tentang kelompok, organisasi,
dan gerakan akar rumput yang bekerja pada topik keadilan iklim di kota-kota di seluruh dunia. Platform ini
merupakan kerjasama dengan Clima e Mobilidade dan Urban Movement Innovation Fund,
Gabriela Vuolo, Pemimpin Kampanye Global Keadilan Perkotaan di Greenpeace International, mengatakan:
“Masyarakat tahu bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis iklim adalah melalui tindakan kolektif. Kota
menjadi nyata ketika masyarakat bersatu untuk melawan, bermimpi, dan mengubah ruang menjadi wilayah
keadilan sosial dan iklim, namun hal ini tidak berarti membiarkan pemerintah lepas kendali. Sebaliknya,
pengorganisasian komunitas dan penguatan gerakan perkotaan merupakan cara penting untuk membuat suara
kelompok yang paling terpinggirkan didengar dan memastikan para pengambil keputusan bertanggung jawab.”