PELATIHAN MENGENAI HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL DAN MANDAT UNHCR UNTUK KOMUNITAS MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSOS)) DI INDONESIA
Pelatihan mengenai Hukum Pengungsi Internasional dan Mandat UNHCR untuk Komunitas Masyarakat Sipil (CSOs) di Indonesia merupakan kerjasama antara UNHCR dan LBH Jakarta serta HRWG. Pelatihan ini diadakan pada tanggal 13 – 14 September 2013 di Hotel Cemara, Jl. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Pelatihan ini diadakan karena ketertarikan komunitas masyarakat sipil di Indonesia terhadap isu pengungsi.
Tujuan pelatihan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para pengacara pro-bono, aktivis hukum dan HAM, pekerja sosial, dan institusi HAM lainnya terkait dengan masalah-masalah yang menyangkut hukum pengungsi internasional, mandat UNHCR, prosedur penentuan status pengungsi yang dilakukan UNHCR atas nama pemerintah Indonesia. Peserta pelatihan ini sangat beragam karena terdapat 18 organisasi dengan jumlah peserta 28 orang. Nama organisasi yang mengikuti pelatihan yaitu LBH Jakarta, Komnas HAM, CWS, YLBHI, HRWG, JRS, CDS, LBH APIK, TURC, Komnas Perempuan, KPAI, PMI, PERADI, PBHI Jakarta, Rumah Zakat, Yayasan Dompet Dhuafa, dan PAHAM Indonesia. Agenda pelatihan selama 2 hari yaitu:
a. Melindungi orang yang membutuhkan perlindungan internasional
Dalam hal ini yang didiskusikan adalah peran pemerintah negara suaka yang harus memberikan perlindungan internasional apabila ada pencari suaka dan pengungsi di negara tersebut. Hak mencari suaka adalah hak asasi manusia.
b. Mandat UNHCR dan prinsip-prinsip internasional perlindungan pengungsi
UNHCR merupakan lembaga yang dapat memberikan status pengungsi apabila negara belum meratifikasi konvensi “Relating to The Status of Refugee” tahun 1951 dan Protokol Tambahan tahun 1967 dan tidak mempunyai mekanisme penentuan status Pengungsi. Prinsip utama terkait dengan isu pengungsi adalah adanya asas Non Refoulment yaitu pencari suaka atau pengungsi tidak dapat dikembalikan ke negara asalnya atau wilayah dimana hidup atau kebebasan mereka terancam. Tidak berlaku apabila, pencari suaka dapat membahayakan Negara atau telah diputus pengadilan melakukan tindak pidana berat. Penentuan status pengungsi harus memenuhi syarat-syarat yaitu keluar dari negara asal, mendapatkan persekusi di negara asal berdasarkan ras/etnis, agama, kebangsaan, pendapat politik, dan kelompok sosial tertentu, tidak mau atau negara tidak mampu memberikan perlindungan terhadap pencari suaka.
c. Isu perlindungan khusus di Indonesia
Orang yang dikategorikan sebagai vulnerable group yang diprioritaskan dalam suatu proses penentuan status pengungsi yaitu perempuan, anak-anak, manula, orang berkebutuhan khusus, orang yang mengalami kekerasan di negara asalnya. Mereka juga tidak boleh ditempatkan di rumah detensi imigrasi.
d. Pendetensian dan advokasi
Rumah detensi imigrasi tidak dirancang untuk pengungsi dan fasilitasnya tidak memenuhi standar kelayakan dan saat ini kapasitasnya sudah melebihi kuota. Detensi seharusnya adalah upaya terkahir dan tidak boleh dilakukan dalam waktu yang lama. Ada mekanisme yang dapat dilakukan bagi pencari suaka dan pengungsi yaitu mereka tidak ditempatkan dalam rumah detensi melainkan mereka dapat menempati community housing atau hidup secara mandiri/independen.
e. Peran CSOs dalam advokasi pengungsi dan pencari suaka di Indonesia saat ini
CSOs dapat berperan dalam mendorong diterbitkannya regulasi yang melindungi pengungsi di Indonesia seperti pelarangan pencari suaka dan pengungsi ditempatkan di rumah detensi, melarang pencari suaka dan pengungsi ditahan tanpa adanya proses hukum yang adil, mendorong pemerintah meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Tambahan tahun 1967 atau setidaknya pemerintah memiliki mekanisme suaka.
f. Pengenalan terhadap prosedur penentuan status pengungsi (RSD)
Legal representative penting dalam proses RSD untuk membantu pencari suaka mengekspresikan dirinya dalam proses wawancara dan membantu untuk memberikan Country of Origin Information, membuat argumen hukum untuk memperkuat klaim, membantu mencari dan mengajukan penerjemah.
g. Studi kasus
Dalam sesi ini peserta diajak untuk mengamati cuplikan video wawancara penentuan status pengungsi. Selanjutnya peserta diminta untuk mengidentifikasi permasalahan yang timbul selama proses wawancara.
h. Pendampingan dalam proses penentuan status pengungsi
Dalam sesi ini dijelaskan tentang hak pencari suaka untuk didampingi penasehat hukum. Namun demikian diperlukan syarat-syarat khusus yang harus dimiliki untuk dapat mendampingi pencari suaka dalam proses interview, antara lain: memiliki pengetahuan tentang hukum pengungsi, disetujui oleh pencari suaka, memiliki pengalaman mendampingi pengungsi.
i. Advokasi bagi pengungsi dan pencari suaka
Dalam sesi ini dibahas tentang peran apa yang bisa dilakukan oleh CSOs. Kondisi pencari suaka dan pengungsi di Indonesia sangat tidak sesuai dengan HAM Internasional, terutama hak atas pengetahuan hukum.
j. Diskusi kelompok
– Identifikasi hak atau kebutuhan mendasar dari pencari suaka atau pengungsi.
– Peran apa yang bisa dilakukan oleh CSOs atau individu.
– Bagaimana strateginya?
- Kelompok I (Anwar Sadat, Yasirman Hassan, Waspada, Revan T. H. Tambunan, Johanes Gea)
- Kelompok II (M. A. Arifian Nugroho, Eny Rofi’atul N., Lino Marcelino Sanjoyo, Qoni Khoiriyah, Nurmala Sari Siregar, Dian Winarthi)
- Kelompok III (Andri Murddianto, Benita Nastami, M. Hafiz, Restri Rahmawati, Awsathun Ramdhaniati)
- Kelompok IV (Sasanti Amisani, Riyanto Ismail, Asma’ul Khusnaeny, Eci Ernawati, Yovita Octaviani)
- Kelompok V (Veronica Koman, Rambo Cronika, Arif Maulana, Nelson Nikodemus Simamora, Julius Ibrani, Nina Nuraini)
Kesimpulan:
- Layanan kebutuhan dasar.
- Peningkatan kesadaran masyarakat (kampanye dan media briefing).
- Pendampingan hukum.
- Advokasi hukum dan kebijakan (payung hukum, hak pekerjaan, reformasi detensi).
- Pemberdayaan pengungsi (hukum, contohnya buku saku, ekonomi).
- Penggalangan sumber daya (ekonomi, manusia yaitu jaringan).
- Melakukan riset dan pemantauan (rekomendasi dan report) dan melihat kebutuhan dasar pencari suaka dan pengungsi.
- Meningkatkan kapasitas pegiat hak-hak dan pendamping pengungsi.
Penutup
Peran legal representative dalam proses RSD bersisian dengan advokat dalam hukum positif. Pencari Suaka tidak hanya harus menaati kewajiban hukum tetapi ia juga harus beretika dan berbudaya di Indonesia, ada konsekuensi apabila ia melanggar. Kode etik memang ada dan dikeluarkan oleh UNHCR, tetapi tidak ada sanksi apabila pencari suaka atau pengungsi melanggarnya. Diharapkan akan ada kerjasama antar organisasi dalam advokasi isu pengungsi di Indonesia.