Rabu, 7 Juni 2023, Tim Advokasi Kebebasan Akademik mendaftarkan gugatan terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (“MenLHK”) pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta). Gugatan diajukan atas dasar keputusan dan/atau perbuatan melawan hukum penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilakukan MenLHK dalam menerbitkan Surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2 /9/2022 tertanggal 14 September 2022 yang merespons artikel opini Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends” di the Jakarta Post pada tanggal 15 September 2022. Surat ini menyatakan bahwa temuan Erik Meijaard dkk mengenai penurunan populasi orangutan sebagai temuan dengan “indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK” dan atas dasar itu memerintahkan Kepala Balai Besar/Balai Taman Nasional dan Kepala Balai Besar/Balai KSDA untuk tidak memberikan pelayanan kepada mereka dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bertindak selaku Penggugat adalah SAFENET dan YLBHI yang menyatakan bahwa surat tersebut adalah bentuk kebijakan anti-sains yang telah melanggar kebebasan akademik, mencederai independensi sains serta bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Secara umum, terdapat 4 alasan mengapa gugatan diajukan:
Pertama, MenLHK telah melanggar hukum secara prosedural, kewenangan dan substansial. Sebagai contoh, pernyataan dalam surat KLHK bahwa temuan Erik Meijaard dkk adalah temuan dengan “indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK” telah melampaui wewenang sebagaimana diatur pada Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kedua, surat KLHK tersebut telah bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu asas kemanfaatan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, serta kepentingan umum. Surat tersebut tidak memiliki ratio legis yang harmonis dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Selain itu, tindakan mengeluarkan SK tersebut adalah bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, membatasi ruang kebebasan akademik yang melanggar prinsip kelima Surabaya Principle of Academic Freedom, yaitu melakukan pembatasan dan penggunaan otoritas di luar lingkup kewenangan yang mana merugikan kepentingan umum dan menghambat ruang partisipasi. Mengingat bahwa ilmu bersifat relatif, perbedaan dalam kerangka keilmuan adalah usaha untuk menemukan kebenaran yang baru lewat diskursus ataupun dialektika. Maka, perbedaan pemikiran seharusnya ditanggapi dengan diskusi, perdebatan dan upaya saling mengkritik dalam kerangka keilmuan, bukan menyerang pribadi-pribadi karena tidak suka. Argumentum ad hominem dalam SK tersebut, menghambat proses perkembangan keilmuan dan perlindungan terhadap orangutan secara optimal.
Ketiga, tindakan penerbitan surat tersebut telah menimbulkan dampak luas, kerugian dan masalah struktural lainnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Komentar Umum the Committee on Economic, Social, and Cultural Rights Nomor 13 tentang Hak atas Pendidikan. Adapun terbitnya surat tersebut telah bertentangan dengan prinsip independensi sains yang merupakan fondasi pencarian kebenaran ilmiah yang objektif. Lebih lanjut, penerbitan tersebut juga telah menghalangi dan berpotensi menghalangi produksi pengetahuan yang bermanfaat bagi publik, terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan konservasi satwa terancam punah yang penting bagi keseimbangan ekologi.
Keempat, surat KLHK tersebut mengakibatkan efek ketakutan dan kekhawatiran yang meluas bagi kalangan peneliti, diantaranya telah menghasilkan tindakan self censorship yang dapat merugikan kepentingan sains. Beberapa peneliti lokal dan lembaga penelitian di Indonesia, misalnya, yang sebelumnya bekerja sama dengan Erik Meijaard dkk dalam melakukan penelitian telah membatalkan kerja sama penelitian karena kekhawatiran akan terjadinya dampak yang sama dengan yang telah dialami oleh Erik Meijaard dkk.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, Tim Advokasi Kebebasan Akademik bersama Para Penggugat berpandangan bahwa gugatan ini menjadi penting sebagai sarana koreksi bagi kekuasaan pemerintah yang membatasi kebebasan akademik warga negaranya. Gugatan ini meminta pengadilan untuk dapat menyatakan bahwa tindakan penerbitan surat KLHK yang telah melanggar kebebasan akademik, mencederai independensi dan melanggar AUPB sebagai tindakan melawan hukum. Tidak hanya itu, gugatan ini juga meminta PTUN untuk memerintahkan MenLHK untuk mencabut surat KLHK tersebut dan mewajibkan MenLHK untuk tidak melakukan Tindakan Pemerintahan berupa penghalang-halangan maupun pembatasan hak publik dalam bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik yang melanggar hukum serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Jakarta, 7 Juni 2023
Hormat Kami,
Tim Advokasi Kebebasan Akademik
Narahubung:
1. Muhammad Isnur (081510014395)
2. Natalia Naibaho (082386042989)
3. Aprillia Lisa Tengker (081296988357)
4. Abdil Mughis Mudhoffir (+61 414 920 304)
Tim Advokasi Kebebasan Akademik
1. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet);
2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia;
3. Constitutional and Administrative Law Society;
4. Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam;
5. Greenpeace Indonesia;
6. IndoPROGRESS Institute for Social Research and Education;
7. Jaringan Advokasi Tambang;
8. Kantor Hukum AMARTA;
9. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA);
10. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta;
11. Lembaga Bantuan Hukum Pers;
12. Amnesty International Indonesia;
13. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM);
14. PUSAD UMSurabaya;
15. SAKSI Universitas Mulawarman;
16. Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera;
17. WALHI Jawa Timur;
18. Change.org (melalui petisi change.org/StopCekalPeneliti).