Jakarta, 24 Mei 2023 – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan gugatan yang dilayangkan LBH Jakarta tidak diterima atas Tindakan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilakukan Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI yang dituangkan ke dalam 2 objek gugatan:
- Tindakan Pemerintahan berupa Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) oleh Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10) dan (11) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016;
- Tindakan Pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI berupa melakukan penerbitan surat keputusan pengangkatan penjabat kepala daerah pada 88 (Delapan Puluh Delapan) daerah kota/kabupaten dan provinsi selama kurun waktu sejak 12 Mei 2022 sampai dengan 25 November 2022 yang dilakukan tanpa terlebih dahulu menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10) dan (11) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016.
Putusan pada perkara nomor 422/G/TF/2022/PTUN.JKT diputus dan diumumkan secara elektronik (e-court) pada Rabu (24/05) pukul 11.00 WIB, yang pada pokoknya menerima eksepsi Tergugat I dalam hal ini Presiden RI yang menyatakan Para Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum (Persona Standi in Judicio) dan dalam pokok perkara menyatakan gugatan Para Penggugat tidak diterima.
“Saya tidak mengerti putusan Majelis Hakim yang mengatakan bahwa Penggugat tidak memiliki legal standing yang jelas. Sebagai warga Jakarta, kami tidak pernah dilibatkan dalam proses penunjukan Pj Kepala daerah. Hal ini jelas melanggar konstitusi yang mengatakan bahwa “kepala daerah dipilih secara demokratis”. Penunjukan Pj Gubernur Jakarta jelas tidak demokratis. Kalo sekarang penggugat dinyatakan tidak memiliki legal standing lalu siapa yang berhak menggugat pemerintah?” Adhito Harinugroho, Penggugat.
HAKIM PTUN JAKARTA SECARA SERAMPANGAN MEMUTUS GUGATAN
LBH Jakarta mencatat bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta secara serampangan memutus dan menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kepentingan hukum (Persona Standi in Judicio), padahal sudah jelas kami jabarkan bahwa Para Penggugat jelas memiliki kepentingan hukum (Legal Standing) ditunjukkan dengan kedudukan hukum Para Penggugat yang mempunyai hubungan kausalitas (sebab-akibat) atas tindakan penunjukkan tersebut.
Perlu dipahami bahwa secara prinsip, tindakan Presiden dan Mendagri yang menunjuk Penjabat (Pj) Kepala Daerah tanpa didahului adanya aturan pelaksana, tentu akan berdampak langsung pada warga masyarakat. Akibatnya, proses tersebut akan menentukan kebijakan-kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup warga masyarakat termasuk Para Penggugat, apalagi jika kebijakan tersebut pada akhirnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Seperti misalnya tiga orang Penggugat yang berasal dari Warga DKI Jakarta tidak pernah dilibatkan dalam proses penunjukkan Pj Gubernur DKI Jakarta, sehingga berdampak pada beberapa kebijakan yang dilakukan secara non-partisipatif. Situasi ini juga diperparah dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pj Gubernur tidak sama dengan Gubernur terpilih akibat tidak adanya aturan pelaksana dalam proses penunjukkan.
Putusan ini tentu akan berdampak ke depan dan LBH Jakarta mencatat sekiranya terdapat 4 masalah dalam proses penunjukkan Pj Kepala Daerah:
PERTAMA, PRESIDEN DAN MENDAGRI “UGAL-UGALAN” DALAM PROSES PENUNJUKAN PJ KEPALA DAERAH
“Pemerintah dalam bernegara berlaku secara ugal-ugalan karena telah mengangkangi konstitusi. Pemerintah menganggap apabila selesai secara prosedural maka dianggap rakyat harus menerima apapun hasilnya. Ukuran ugal-ugalan atau tidaknya dalam bernegara adalah konstitusi yang mana adalah buah dari gerakan reformasi 25 tahun yang lalu.” Bivitri Susanti, Akademisi sekaligus Ahli Hukum Tata Negara pada Perkara a quo¹
Tidak bertindaknya Presiden dan Mendagri untuk menerbitkan peraturan pelaksana penunjukan dan pelantikan penjabat sementara kepala daerah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Penerbitan peraturan pelaksana itu seharusnya merupakan tindak lanjut atas Pasal 201 UU 10/2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022.
KEDUA, PRAKTIK PENUNJUKKAN PJ KEPALA DAERAH TELAH MELANGGAR AUPB
Bahwa tidak hanya peraturan perundang-undangan dan putusan MK saja yang dilangkahi oleh Pemerintah. Pemerintah pun secara terang-terangan telah melewati koridor administrasi pemerintahan dengan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur secara tegas di dalam UU Administrasi Pemerintahan. Ketidakteraturan (irregularities) dalam proses penunjukan dan pengangkatan Pj Kepala Daerah tentu telah melanggar asas kepastian hukum dan asas kecermatan. Alih-alih memberikan kepastian hukum dan menjalankan pemerintahan demi kepentingan umum (warga negara), tindakan Pemerintah justru tidak aspiratif, tidak akomodatif, dan tidak selektif dalam proses penunjukkan dan/atau pengangkatan Pj Kepala Daerah.
KETIGA, PJ KEPALA DAERAH YANG RANGKAP JABATAN TELAH MENUAI MASALAH KONFLIK KEPENTINGAN
Bahwa ICW telah menghimpun data-data penjabat kepala daerah yang merangkap jabatan, di mana terdapat ratusan Pj Kepala Daerah yang merangkap jabatan di instansi negara. Praktik rangkap jabatan yang terjadi akan menuai konflik kepentingan, padahal dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengatur secara jelas bahwa praktik rangkap jabatan itu dilarang.
Tidak hanya itu, penunjukkan Penjabat Kepala Daerah juga telah melanggengkan praktik Dwifungsi ABRI. Hal ini secara terang terjadi di Aceh yang merupakan daerah dengan sejarah panjang konflik dengan TNI. Adapun Putusan MK 15/PUU-XX/2022 telah menegaskan bahwa hanya TNI-Polri yang sudah tidak aktif yang bisa menjadi Pj Kepala Daerah. Hal ini tentu telah mencederai cita-cita demokrasi dan kedaulatan sipil.
KEEMPAT, PENUNJUKKAN PENJABAT KEPALA DAERAH JELAS TELAH MEMBATASI PARTISIPASI POLITIK WARGA
Bahwa setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih, serta untuk berpartisipasi dalam politik yang dilakukan tidak hanya pada saat pemilu saja, melainkan soal penunjukan Pj Kepala Daerah pun perlu mendapatkan perhatian masyarakat. Hal ini secara kuat ditegaskan amanat konstitusi Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 yang mana pemerintah dipilih secara demokratis, sehingga apabila terdapat kebijakan lanjutan yang menyatakan perlu dibentuknya suatu aturan pelaksana dalam menunjuk dan melantik penjabat kepala daerah, pemilihan Penjabat tersebut harus demokratis, akuntabel, transparan dan dengan memperhatikan aspirasi daerah. Namun pada implementasinya pemerintah memutuskan sepihak untuk menunjuk Penjabat sementara kepala daerah.
TREN “PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD” OLEH PTUN JAKARTA
Celakanya, belakangan ini terdapat tren serupa (Putusan NO² ) untuk kasus-kasus publik, seperti halnya terjadi pada Putusan Nomor 424/G/TF/2022/PTUN.JKT melawan Menkominfo atas Tindakan Pemutusan Akses terhadap 8 Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, serta Putusan Nomor 394/6/TF/2022/PTUN.JKT. melawan Presiden dan Mendagri atas penunjukkan Pj Gubernur Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat gap pertimbangan serta inkonsistensi PTUN Jakarta dengan putusan-putusan terdahulu yang memenangkan kasus-kasus publik, seperti halnya Putusan PTUN Jakarta 230/G/TF/2019/PTUN.JKT yang mengabulkan gugatan dan menyatakan tindakan pemblokiran internet di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan oleh Kemenkominfo merupakan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan. Atau pada Putusan Nomor: 97/G/2020/PTUN.JKT pada 19 Oktober 2020 terkait Surpres Omnibus setelah UU Cipta Kerja disahkan. Kedua putusan tersebut setidaknya menerima hak gugat organisasi dan individu (legal standing).
Jangan sampai, kemunduran atas dijatuhinya putusan ini menjadi preseden ke depan untuk menghambat akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan terhadap suatu tindakan/keputusan yang dilakukan oleh Penguasa. Dengan demikian, untuk langkah hukum selanjutnya, LBH Jakarta akan melakukan proses hukum lanjutan, yaitu banding. LBH Jakarta masih melihat adanya kejanggalan dalam putusan yang telah dikeluarkan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta yang menangani perkara ini.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
- Adhito Harinugroho (0812 2266 1176)
- Jihan Fauziah Hamdi (0812 8467 6829)
- Aprillia Lisa Tengker (0812 9698 8357)
¹ dikutip langsung melalui pernyataannya pada Talkshow dengan tajuk Penunjukan Penjabat Kepala Daerah dan Dampaknya Terhadap Demokrasi, Minggu, 21 Mei 2023 lalu.
² putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.