Koalisi Masyarakat Sipil menolak segala bentuk pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintah lewat berbagai metode. Upaya pembungkaman dengan berbagai cara selama ini telah berimplikasi pada iklim ketakutan berekspresi di tengah-tengah masyarakat. Di ranah publik, masyarakat yang menyampaikan pendapat justru direpresi oleh aparat keamanan. Di sisi lain, kebebasan di ranah digital kita juga semakin terenggut dengan adanya produk hukum seperti halnya UU ITE.
Salah satu kasus pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi tercermin pada kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) statusnya telah dekat pada proses sidang peradilan. Pada Senin, 3 April 2023, kasus dugaan pidana pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan akan melewati fase sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan. Dilanjutkannya kasus kedua Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) ini merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. Kasus ini juga hanya satu dari sekian banyak serangan yang ditujukan kepada aktivis, jurnalis, pembela HAM, perempuan pembela HAM, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil secara umum.
Menyikapi hal tersebut, kami berpendapat:
Pertama, kasus kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, situasi penikmatan kebebasan berekspresi di Indonesia tak kunjung mengalami kemajuan, ditandai dengan masifnya penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa terhadap demonstrasi secara berlebihan, kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis yang mengkritik pemerintah dan sejumlah pelanggaran lainnya. Secara umum, dilanjutkannya kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia. Fatia dan Haris juga merupakan korban judicial harassment dimana perangkat hukum digunakan untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat.
Kedua, UU ITE kembali menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di ruang digital. Berbagai pasal karet yang ada dalam UU ini terbukti telah memakan banyak korban. Belum lagi penggunaan instrumen hukum tersebut begitu diskriminatif, sebab hanya akan menjerat mereka yang dikategorisasikan sebagai bukan simpatisan pemerintah. Dengan UU ITE yang tak kunjung direvisi oleh pemerintah, masyarakat kian enggan berpendapat di platform media sosialnya masing-masing karena takut dikriminalisasi. Langkah pemerintah untuk mengeluarkan pedoman implementasi pun tak efektif berjalan. Produk hukum semacam ini bahkan diperparah dengan kemunculan pasal-pasal anti-demokrasi di KUHP baru yang baru disahkan akhir tahun 2022 lalu.
Ketiga, proteksi terhadap kerja-kerja Pembela HAM (human rights defender) di Indonesia masih sangat lemah. Walaupun sudah ada beberapa instrumen seperti halnya Standar Norma dan Pengaturan (SNP) terkait Pembela HAM yang diterbitkan oleh Komnas HAM, nyatanya kerja pembelaan HAM seringkali dalam ancaman. Pembungkaman pun terus menerus dilakukan dengan berbagai cara oleh perangkat negara. Di sisi lain, ketika Pembela HAM meminta keadilan atas peristiwa yang menimpanya, saluran-saluran tersebut dalam rangka akuntabilitas pun tertutup. Hal ini pada akhirnya membuat mereka yang bekerja membela kepentingan publik berada pada kerentanan.
Keempat, kritik publik merupakan bagian dari HAM dan unsur penting dalam negara demokrasi. Selain dilindungi oleh berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional, aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari masyarakat sipil dalam mengawasi kerja pemerintah agar tak terjadi absolutisme kekuasaan. Adanya check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan sangat penting dan kritik merupakan salah satu alat untuk memastikan hal tersebut berjalan dengan maksimal.
Kelima, Kritikan Fatia dan Haris tidak pernah dibuktikan sebaliknya, sehingga tak dapat diklasifikasikan sebagai berita bohong. Sampai sejauh ini, Luhut Binsar Panjaitan tidak pernah memaparkan data bantahan berkaitan dengan keterlibatannya pada praktik bisnis pertambangan yang ada di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Hasil riset yang dibuat oleh sembilan organisasi masyarakat sipil yang menjadi landasan kritikan Fatia dan Haris juga seharusnya dibiarkan menjadi diskursus publik terkait permasalahan tambang di Papua, bukan justru dijadikan dasar pelaporan tindak pidana.
Keenam, status Luhut sebagai pejabat publik menjadikan kasus ini memiliki muatan konflik kepentingan yang tinggi. Diteruskannya kasus kriminalisasi Fatia dan Haris sampai ke tahap persidangan di pengadilan tak lepas dari kuasa Luhut yang sangat besar di pemerintahan sehingga memiliki akses, tak terkecuali pada aparat penegak hukum. Sejak tahap di kepolisian pun Luhut terkesan memiliki kuasa untuk mengontrol jalannya penyidikan. Hal tersebut terlihat pada saat proses mediasi yang mana dinyatakan gagal karena diputus sepihak oleh pihak Luhut.
Ketujuh, Situasi Papua kian memburuk karena operasi militer ilegal. Skandal konflik kepentingan dan praktik bisnis pertambangan di Papua sebagaimana yang dibongkar oleh koalisi masyarakat sipil pun dampaknya mulai bermunculan. Eskalasi kekerasan di Papua khususnya di daerah-daerah pos konflik seperti Intan Jaya pun meningkat. Aparat keamanan/militer terus dikerahkan menuju daerah tersebut dan berimplikasi pada banyaknya kontak tembak. Tak jarang aktivitas tersebut pun mengorbankan warga sipil. Selain itu, pengungsi internal (Internally displaced person) pun terus bermunculan tanpa dipenuhi hak-haknya.
Atas dasar uraian di atas kami menyatakan:
1. Gerakan masyarakat sipil yang terdiri dari lembaga HAM, hukum, antikorupsi, lingkungan, civitas academica, buruh menyatakan bahwa semua ancaman-ancaman yang timbul karena kesewenangan negara tidak menghentikan langkah masyarakat untuk terus menagih akuntabilitas serta tanggung jawab negara dalam pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia;
2. Kami menyerukan solidaritas sebesar-besarnya kepada seluruh warga yang sampai hari ini menjadi korban kriminalisasi dan juga ancaman-ancaman akibat aktivitasnya membela lingkungan, kebebasan akademis, kebebasan pers dan ketidakadilan.
Jakarta, 2 April 2023,
Koalisi Masyarakat Sipil
Organisasi:
STHI Jentera, HiVOS, KontraS, Amnesty International Indonesia, SAFEnet, ICJR, KPA, PBHI, HRWG, AJI Pusat, LBH Apik, ICW, YLBHI, JSKK, LBH Jakarta, Trend Asia, PUSAKA, Solidaritas Perempuan, Greenpeace, BersihkanIndonesia, PSHK, ICEL, PPMAN, Asian Justice and Rights, PAKU ITE, KontraS Papua, KontraS Aceh, KontraS Sumatera Utara, Lokataru, AMAR Law Firm, WALHI Eknas, JATAM, Imparsial, Setara Institute, BEM UI, BEM UHAMKA, BEM STHI Jentera, LBH Masyarakat, LBH Pers, Aliansi mahasiswa Papua, Blok Politik Pelajar, Jala PRT, SUAKA, Purplecode, Arus Pelangi, Kurawal Foundation, KIKA, Fraksi Rakyat Indonesia, Bangsa Mahardika, Paralegal Jalanan Jakarta, ALDP, PAHAM PAPUA, IM57+ Institute, Public Virtue, Themis Indonesia
Individu:
Asfinawati, Siti Mazuma, Nining Elitos, Yati Andriyani, Damaria Pakpahan, Cholil Mahmud, Linda Christanty