Selasa, 21 Maret 2023, DPR RI menggelar rapat paripurna yang menghasilkan kesepakatan untuk menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu CIpta Kerja) menjadi Undang-Undang. Dalam rapat tersebut, hanya 2 (dua) fraksi yang menolak untuk menyetujui yakni Fraksi Demokrat dan PKS, selebihnya bersepakat untuk menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Terhadap keputusan DPR RI tersebut, LBH Jakarta berpandangan DPR RI telah mengkonfirmasi ketidakberpihakannya terhadap suara-suara rakyat terkhusus kelas pekerja/buruh dan tidak mempertimbangkan pemenuhan syarat penetapan Perppu secara objektif dan berbasis keilmuan (scientific). Adapun terhadap keputusan yang diambil oleh DPR RI, LBH Jakarta memberikan catatan sebagai berikut:
Pertama, Presiden memilih jalan pintas untuk memberlakukan kembali Omnibus Law Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja yang muatan materinya identik (10 klaster) jika kita melihat dalam penjelasan umum dan Pasal 184 pada Perppu Cipta Kerja yang juga tetap memberlakukan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Selain itu, tindakan Presiden tersebut juga telah melanggar Konstitusi karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yaitu perbaikan terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.
Hal lain yang paling serius adalah Presiden RI dan DPR RI secara bermufakat mengulang masalah pembentukan undang-undang yang cacat formil dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat, bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dan tidak dilaksanakan dengan partisipatif publik yang bermakna pada tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Kewajiban konstitusional tersebut, ditegaskan dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Kedua, gagalnya DPR RI untuk menguji pemenuhan syarat dalam hal Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja. Presiden dan DPR RI bermain-main dengan penafsiran dan pemenuhan syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yakni, (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”.
Jika mengukur kemendesakan, Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan jangka waktu yang cukup selama dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan sejak putusan diucapkan yang akan jatuh pada 23 November 2023. Alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi karena masih terdapat UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang dianggap berlaku pasca dinyatakan inkonstitusional oleh pemerintah, berbeda dengan apa yang diyakini masyarakat. Begitu pula tahap pembentukan undang-undang masih dapat dilakukan secara prosedur biasa, bahkan pemerintah sudah melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk mengakomodir metode omnibus law.
Sehingga tidak ada hal yang mampu dijelaskan Pemerintah secara ilmiah akan kegentingan yang memaksa yang berdampak pada tidak berjalannya kehidupan bernegara serta kondisi perekonomian, politik dan sosial di masyarakat yang menuntut pemerintah mengeluarkan Perppu.
Ketiga, atas adanya persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tentunya berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat luas di lintas sektor ketenagakerjaan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Praktik-praktik yang melanggar hak rakyat seperti pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sentralistik, perluasan sistem outsourcing, ancaman lingkungan hidup dan perampasan wilayah adat akan berlanjut dan dilegitimasi melalui tindakan persetujuan Perppu Cipta Kerja oleh DPR RI.
Keempat, keputusan DPR RI yang menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang merupakan preseden buruk dalam menormalisasi status keadaan oleh Presiden di kemudian hari tanpa adanya pertanggungjawaban. Agamben dalam State of Exception menjelaskan bahwa kebiasaan ini merupakan cara-cara dimana keadaan darurat, krisis, dan bencana digunakan oleh pemerintah untuk menangguhkan proses hukum yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi ini apabila tidak diuji dengan serius sebagai sebuah bentuk pelaksanaan check and balances oleh DPR RI karena terletak dalam garis batas yang ambigu, tidak pasti, dan di persimpangan antara hukum dan politik.[1]
Berangkat dari beberapa catatan tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Presiden RI dan DPR RI untuk berhenti melakukan praktik buruk legislasi yang tidak melaksanakan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation);
- Presiden RI dan DPR RI untuk tidak bertindak melanggengkan dan menormalisasi keadaan genting atau darurat secara serampangan, serta memberikan ruang yang seluas-luas untuk mendengar masukan dan pendapat masyarakat luas atas adanya pengambilan keputusan oleh DPR RI untuk menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang;
- Presiden RI untuk segera mencabut Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang telah disetujui DPR RI karena merupakan tindakan inkonstitusional yang telah menghilangkan objek dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, tidak memenuhi syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa” serta menghilangkan kembali partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation);
- Masyarakat sipil untuk bersama-sama memberikan suaranya melalui berbagai bentuk kebebasan berekspresi dan medium kepada para pembentuk undang-undang, serta menempuh upaya hukum pengujian undang-undang sebagai suatu hak yang dijamin dalam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan konstitusi;
Hormat kami,
LBH Jakarta
[1] Giorgio Agamben, “State of Exception,” Phainomena 21, No. 82-83 (2012).