Selasa, 20 Desember 2022, Mahkamah Konstitusi memutus permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Revisi Kedua UU PPP), yaitu Perkara Nomor 82/PUU-XX/2022. Dalam putusan yang dibacakan Selasa (20/12) tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk seluruhnya karena permohonan pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.
7 Pernyataan Koalisi Advokasi untuk Reformasi Hukum
Atas dinamika dan putusan Mahkamah Konstitusi di atas, kami menyatakan sebagai berikut:
- Mahkamah Konstitusi formalistik dan tidak kontekstual dalam memeriksa dan memutus perkara. Revisi Kedua UU PPP jelas ditujukan semata-mata untuk melegitimasi keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Hal ini nampak benderang dalam kata pengantar Naskah Akademik Revisi Kedua UU PPP, yang menyatakan dengan gamblang bahwa Revisi Kedua UU PPP merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020—yang merupakan putusan terkait dengan UU Cipta Kerja. Namun, Mahkamah Konstitusi tidak mampu menangkap korelasi dan kongkalikong yang dilakukan oleh para elit politik.
- Mahkamah Konstitusi gagal memahami adanya praktik buruk pembentukan peraturan perundang-undangan, yang lagi-lagi diulangi dalam proses pembentukan Revisi Kedua UU PPP. Revisi Kedua UU PPP telah jelas melanggar asas kejelasan tujuan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
- Putusan ini memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi turut melegitimasi adanya praktik ugal-ugalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah berlangsung lama. Mahkamah Konstitusi tidak menyadari bahwa Revisi Kedua UU PPP yang dilakukan secara inkonstitusional akan menjadi pintu gerbang lahirnya peraturan perundang-undangan buruk pada masa yang akan datang.
- Mahkamah Konstitusi membiarkan adanya praktik “perusakan pakem tupoksi kementerian”. Hal ini nampak bahwa Mahkamah Konstitusi menormalisasi keberadaan Kementerian Perekonomian sebagai leading actor dalam pembahasan Revisi Kedua UU PPP. Padahal hal ini jelas tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
- Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dalil pemohon terkait dengan “partisipasi bermakna (meaningful participation)” tidak beralasan menurut hukum adalah wujud pengkerdilan dan legitimasi penyempitan partisipasi publik. Revisi Kedua UU PPP telah nyata dilakukan secara tergesa-gesa sepanjang 7 April 2022 hingga 24 Mei 2022, dengan tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna. DPR RI dan Pemerintah hanya mengandalkan kanal YouTube DPR RI dan TV Parlemen, tanpa melangsungkan adanya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
- Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam memaknai partisipasi bermakna (meaningful participation) yang seharusnya mengakomodir hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Ketiga hak tersebut senyata-nyatanya tidak diselami dengan baik pelanggaran-pelanggarannya dalam pembentukan Revisi Kedua UU PPP.
- Mahkamah Konstitusi kembali mempertontonkan kejumudan praktik ketatanegaraan yang tidak lagi produktif. Judicial Review atas UU Minerba, UU MK, UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga Revisi Kedua UU PPP semakin mengamini paradigma pembentuk DPR dan Pemerintah yang seolah menempatkan MK sebagai keranjang sampah bagi tiap produk legislasi yang buruk. Alih-alih memperhatikan perdebatan substantif yang terjadi, pembentuk undang-undang justru menyarankan kepada masyarakat untuk memilih Judicial Review sebagai alternatif atas penolakan terhadap undang-undang yang dibuatnya. Kondisi demikian lah yang menjadi rutinitas baru di era disrupsi legislasi saat ini. Undang-undang dibuat sewenang-wenang untuk selanjutnya pembentuk undang-undang menyerahkan kepada MK sebagai alternatif pemulihan hak-hak konstitusional yang dilanggar.
Rabu, 21 Desember 2022
Koalisi Advokasi untuk Reformasi Hukum: YLBHI, LBH Jakarta, SETARA Institute, WALHI, PSHK, AMAN, Greenpeace, HuMa, ELSAM.
Narahubung:
Sayyidatul Insiyah, SETARA Institute; 0895366915954
Shevierra Danmadiyah, Koalisi Advokasi untuk Reformasi Hukum; 081236325338.
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.