Pemerintah Dan DPR Mengulang Kesalahan Yang Sama
Penyusunan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi babak baru pembentukan peraturan perundang-undangan yang cacat formil. Pasalnya, pola ini serupa dengan pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terakhir kali pun, RUU Sisdiknas menuai banyak penolakan secara prosedural maupun substansial karena pembentukannya yang tertutup dan minim partisipasi. Alih-alih memperbaiki sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang serupa, Pemerintah dan DPR justru terus mengulang kesalahan yang sama dalam membentuk suatu peraturan.
Tertanggal 28 November 2022 lalu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI menyampaikan bahwa proses legislasi Omnibus Law RUU Kesehatan sedang dalam tahap penyusunan Naskah Akademik di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Padahal, sejak munculnya kabar akan adanya perencanaan, RUU ini telah mendapat penolakan dari para tenaga medis beserta organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dikarenakan prosesnya yang tidak partisipatif dan tertutup. Artinya, sejumlah organisasi profesi yang seharusnya menjadi bagian penting dalam pembentukan RUU tersebut tidak dilibatkan.
Pandangan LBH Jakarta Terhadap Omnibus Law Kesehatan
Maka, melihat babak baru pembentukan Omnibus Law pada sektor kesehatan, tersebut LBH Jakarta menilai beberapa permasalahan pada rancangan tersebut:
Pertama, Proses Pendekatan Omnibus Law Berpotensi Melanggengkan Praktik Pembentukan Perundang-Undangan Buruk yang tidak transparan dan tidak partisipatif.
Draf RUU Kesehatan yang sudah diposting pada website DPR RI ternyata belum melibatkan organisasi profesi (OP) secara menyeluruh diantaranya IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI. Artinya, proses legislasi dalam pembentukan RUU Kesehatan minim partisipasi bahkan dari kelompok profesi di bidang Kesehatan itu sendiri. Pola ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada UU Cipta Kerja dan RUU Sisdiknas.
JIka melihat dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) diatur bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi mengapa publik tidak dapat mengetahui perihal informasi sudah berapa banyak publik yang diundang dan memberikan masukan, penyusunan Naskah Akademik yang harus berbasis analisis dampak regulasi (Regulatory Impact Analysis), bahkan RUU yang beredar di masyarakat simpang siur kebenarannya. Sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) dan Putusan MK mengenai partisipasi publik yang bermakna yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Tanpa ada keterbukaan, publik akan kesulitan berpartisipasi dalam prosesnya yang merupakan asas paling penting dalam pembentukan perundang-undangan.
Hal ini tentu akan mempersulit masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam menyikapi RUU Kesehatan sebagai perwujudan upaya seorang warga negara baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya melalui penegakan nilai-nilai konstitusionalisme dan demokrasi. Seharusnya DPR RI membuka ruang pembahasan seluas-luasnya untuk masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif agar pembentukan RUU Kesehatan dapat menjawab masalah kesehatan di Indonesia tanpa terkecuali.
Pemerintah dalam hal ini Presiden dan DPR RI juga perlu memperhatikan “asas keterbukaan” yaitu bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring dan/atau luring sebagaimana dijamin dalam Pasal 5 huruf g UU P3.
Kedua, Draf Beredar Memuat substansi yang bermasalah yang memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (Super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan;
Dari perbincangan publik yang berkembang, salah satunya menyoal diambilnya beberapa kewenangan OP dan dialihkan ke Menteri Kesehatan sehingga memarjinalkan peranan OP. Mulai dari Pasal 235 yang memberikan kewenangan Menteri Kesehatan dalam penyusunan standar pendidikan kesehatan, kewajiban Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan yang sebelumnya otonom, pengesahan Surat Tanda Registrasi (STR) hingga penentuan OP yang diakui bagi tiap tenaga kesehatan. Hal itu dapat melemahkan posisi tawar (bargaining position) OP terhadap Pemerintah dalam hal penentuan kebijakan terkait kesehatan. Perbincangan di atas juga muncul sebagai akibat tidak terbukanya proses pembentukan RUU Kesehatan.
Ketiga, tidak adanya urgensi yang jelas dalam rencana pembentukan Omnibus Law Kesehatan dalam upaya menjawab permasalahan kesehatan. Alih-alih menyelesaikan sengkarut masalah kesehatan di Indonesia, mulai dari pemenuhan hak atas kesehatan bagi setiap orang, perbaikan sistem layanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang aksesibel bagi semua orang hingga penanganan Covid-19 yang perlu untuk dievaluasi selama ini, Pemerintah justru membentuk suatu aturan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Rasanya, setiap permasalahan yang sudah ada hanya akan ditumpuk dengan masalah lain melalui solusi palsu yang ditawarkan oleh Pemerintah. Pasalnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan yang profesional dan tidak diskriminatif. Namun, realitanya masih cukup banyak kasus-kasus terkait buruknya pelayanan kesehatan yang diadukan ke LBH Jakarta, seperti tertutupnya akses informasi terhadap Pasien/keluarga Pasien atas Standar Prosedur Operasional Rumah Sakit maupun rekam medis, masalah informed consent, hingga proses yang berlarut-larut dalam penanganan kasus Malpraktik di Indonesia akibat belum adanya hukum acara MKDKI yang mampu memberikan kepastian hukum bagi pasien/korban.
Lebih lanjut, hadirnya RUU ini menjadi pola keberulangan akan buruknya legislasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal sebagaimana yang terjadi pada Omnibus Law UU Cipta Kerja, MK telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Namun, yang diperbaiki atau direvisi justru Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), seolah-olah memberikan “karpet merah” bagi Omnibus Law UU Cipta Kerja dan peraturan lainnya di waktu mendatang.
3 Desakan LBH Jakarta
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Presiden RI dan DPR RI berhenti melakukan praktik buruk pembentukan perundang-undangan yang tertutup, tidak partisipatif, dan tidak berpihak (otokratik) pada perlindungan dan pemenuhan HAM warga yang merupakan bentuk pembangkangan terhadap kedaulatan rakyat dalam melaksanakan kehidupan berdemokrasi;
- Presiden RI dan DPR RI untuk tidak melanjutkan proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan tanpa adanya proses yang transparan dan partisipatif sejak tahap perencanaan dan pembuatan naskah akademik sebagaimana diwajibkan Putusan MK dan UU P3;
- Komisi IX DPR RI untuk memastikan proses perencanaan dan penyusunan RUU Kesehatan yang transparan dan partisipatif sebagaimana diwajibkan dalam Putusan MK dan UU P3.
Hormat Kami,
LBH Jakarta
Narahubung:
- Jihan Fauziah Hamdi (0812 8467 6829)
- Alif Fauzi Nurwidiastomo (0813 8762 4544)
- M. Charlie Meidino Albajili (0878 1995 9487)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.
Kredit
Foto oleh Jaka/Man