Gelombang PHK Massal
Kondisi perekonomian yang carut marut akibat dampak pandemi COVID-19 dan juga resesi global telah berdampak pada terjadinya gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara massal terhadap warga pekerja di Indonesia. Namun sayangnya hingga kini Pemerintah Indonesia belum mengambil langkah kebijakan konkret untuk mengatasi permasalahan dan dampak yang ditimbulkan akibat dari gelombang PHK tersebut.
Sejumlah perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK massal tersebut antara lain: GoTo, Shopee Indonesia, LinkAja, Tokocrypto, Ruangguru, TaniHub, SiCepat, Mamikos, JD.ID, Zenius, Xendit, Lummo, Pahamify, Mobile Premier League, Indosat Ooredoo Hutchison, dan lainnya. Perusahaan-perusahaan tersebut rata-rata adalah perusahaan startup yang berbisnis via platform digital. Tidak hanya itu, fenomena ini juga terjadi pada sektor industri Tekstil dan Produk tekstil (TPT). Berdasarkan data APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) sudah ada 79.316 orang yang terkena PHK per-November 2022. Gelombang ini berpotensi meluas seiring ancaman resesi ekonomi global yang diprediksi melanda pada 2023.
3 Kejanggalan Proses PHK
LBH Jakarta melihat terdapat kejanggalan dalam proses PHK massal ini:
Pertama, hingga saat ini tidak ada dialog ataupun musyawarah terbuka antara warga publik, kelompok pekerja, pengusaha/perusahaan, dan pemerintah untuk membincangkan masalah gelombang PHK massal dan mitigasi resikonya. Pasal 151 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memandatkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Gelombang PHK terus berlangsung dan terjadi, tanpa ada musyawarah publik terbuka serta tawaran solusi alternatif di luar PHK.
Kedua, PHK massal yang dilakukan karena kondisi perekonomian perusahaan yang sudah menurun semestinya diiringi dengan diseminasi bukti laporan keuangan perusahaan dalam jangka waktu minimal 2 (dua) tahun. UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa PHK baru menjadi opsi apabila perusahaan yang bersangkutan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 tahun yang dibuktikan dengan keuangan perusahaan selama 2 tahun berturut-turut. Praktik yang terjadi mengindikasikan bahwa PHK massal yang terjadi berpotensi melanggar ketentuan yang berlaku dan dilakukan secara sepihak/sewenang-wenang. Pemerintah, Kelompok Pekerja maupun masyarakat publik memiliki kepentingan untuk mengetahui Laporan Keuangan tersebut agar dapat menilai apakah kondisi perekonomian perusahaan memang benar sedang menurun dan layak melakukan PHK atau tidak.
Ketiga, tidak ada upaya serius dan tepat sasaran dari Pemerintah RI untuk mencegah terjadinya gelombang PHK massal. Hingga kini belum ada strategi konkrit pemerintah untuk menghindari dan mengatasi dampak PHK massal di beberapa sektor industri. Termasuk upaya menjamin perlindungan pekerja dan jaring pengaman sosial yang tepat bagi pekerja terdampak PHK. Wapres RI Ma’ruf Amin misalnya, justru menawarkan program padat karya dan pelatihan vokasi yang diarahkan pada pelatihan kewirausahaan. Dalam situasi resesi, daya beli masyarakat cenderung lesu, dan orang-orang lebih memilih untuk menyimpan uang ketimbang membelanjakannya. Artinya, intervensi Pemerintah yang menawarkan program padat karya dan pelatihan vokasi kewirausahaan tidaklah tepat untuk mengatasi problem PHK di masa-masa resesi, mengingat dalam situasi resesi, banyak warga pekerja yang kondisi perekonomian sehari-harinya terancam dan memilih untuk menyimpan uang untuk berjaga-jaga pada situasi darurat.
Terjadinya gelombang PHK massal pekerja ini berdampak pada banyak hal, antara lain: hilangnya mata pencaharian ekonomi warga, meningkatkan angka kemiskinan, dan bila krisis terus maka kemungkinan yang terjadi adalah krisis multidimensi sebagaimana yang terjadi di tahun 1997-1998.
3 Desakan LBH Jakarta Kepada Pemerintah Indonesia
Terkait hal ini, Negara dan Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab yang sentral untuk mengatasi permasalahan gelombang PHK massal dan dampak-dampak yang diakibatkannya. Secara normatif, tanggung jawab ini tertera di sejumlah ketentuan hukum seperti UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan aturan hukum lainnya.
Untuk itu LBH Jakarta mendorong dan mendesak agar:
- Pemerintah RI mengupayakan musyawarah terbuka dan membuat kebijakan mitigasi untuk mencari alternatif penanganan masalah krisis ekonomi di dunia ketenagakerjaan di luar cara PHK massal;
- Pemerintah RI juga perlu mengontrol dan mengendalikan perusahaan-perusahaan yang memberlakukan kebijakan PHK massal serta mendesak perusahaan tersebut agar transparan dan membuka data Laporan Keuangan masing-masing perusahaan selama minimal 2 (dua) tahun terakhir.
- Pemerintah RI perlu mengambil tindakan mitigasi pekerja yang mengalami PHK massal dan merumuskan kebijakan perlindungan kepada pekerja yang beresiko terkena PHK massal.
Hormat Kami
LBH JAKARTA
Narahubung:
Charlie Albajili (0878 1995 9487)
Rasyid Ridha (0858 9486 0460)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.