Pada minggu lalu (04/08), pemerintah melalui Presiden, dan tiga menterinya, yakni Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menteri Sekretaris Negara dan Menteri ESDM mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (“BBM”). Dari kenaikan harga yang diumumkan meliputi harga BBM jenis Pertalite naik dari Rp7.650,00/liter menjadi Rp10.000,00 per liter, solar subsidi dari Rp5.150,00/liter menjadi Rp6.800,00/liter dan Pertamax dari Rp12.500,00 menjadi Rp14.500,00/liter. Kenaikan ini merupakan yang kedua kalinya selama rezim Presiden Joko Widodo menjabat.
Sebelumnya, informasi mengenai kenaikan BBM ini diberi sinyal oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menolak dan menilai kenaikan BBM hanya akan menghadirkan penderitaan berlapis terhadap rakyat.
“Ini menimbulkan masalah, yes. Sementara memang dalam periode waktu tertentu akan timbul rasa sakit. Tapi setelah beberapa bulan tidak akan lagi sama” ungkap Luhut Binsar Panjaitan.
Pernyataan tersebut tentu mengabaikan permasalahan yang tada. Seolah-olah hari esok akan lebih baik, karena rakyat akan resisten terhadap kenaikan bahan-bahan pokok dan tidak mempertimbangkan penderitaan yang akan ditanggung rakyat. Keputusan menaikkan harga BBM ini dikarenakan subsidi BBM sebesar 70% tidak tepat sasaran.
Sementara itu, di kawasan ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga harga BBM tertinggi. Kenaikan ini dilakukan saat tren harga minyak dunia sedang turun atau harga keekonomian bensin yang mengalami penurunan, karena puncak tertinggi terjadi pada bulan Juni lalu.
Terhadap kebijakan tersebut, LBH Jakarta menilai:
Kesatu, keputusan untuk menaikkan harga BBM menciptakan penderitaan berlapis terhadap masyarakat hingga ke akar rumput. Sebelumnya, harga bahan-bahan pokok sudah mengalami kenaikan karena inflasi yang sudah menembus 5,2%. Dinaikannya harga BBM akan memperburuk keadaan masyarakat, dimana harga berbagai komoditas kebutuhan dasar di pasar akan meningkat signifikan, sedangkan di sisi lain pendapatan ekonomi warga tidak banyak meningkat selama 3 (tiga) tahun terakhir.
Artinya, masyarakat akan semakin sulit untuk menghidupi kebutuhan dasarnya sehari-hari, termasuk mengkonsumsi komoditas pangan, sandang, dan papan. Adanya UU Cipta Kerja juga turut bersumbangsih dalam membuat buruh dipaksa mengikuti politik upah murah, pasar tenaga kerja fleksibel, dan cuti tidak dibayar (unpaid leave) yang kian menjauhkan hak mendapatkan kepastian kerja dan pendapatan. Sehingga, buruh dimiskinkan akan tetapi harga kebutuhan semakin tinggi.
Tantangan lainnya adalah fenomena hubungan kerja non-standar seperti kemitraan ojek online (Ojol) dan kurir online (Kurol) yang rentan karena alat kerja mereka adalah kendaraan bermotor yang membutuhkan bahan bakar. Dampak dari fenomena kenaikan harga BBM juga mengingatkan kembali pada situasi yang berlangsung sejak dua tahun lalu, yaitu situasi saat krisis pandemi Covid-19 yang menyebabkan masyarakat menengah-bawah rentan terjatuh ke dalam kemiskinan akibat jaringan pengaman ekonominya yang tidak kuat.
Pada akhirnya, agenda “memulihkan ekonomi” hanya menjadi jargon belaka, karena dengan adanya kenaikan harga BBM justru menjadikan kondisi perekonomian Indonesia semakin sakit dan jurang kemiskinan struktural semakin lebar.
Kedua, pengalihan subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (“BLT”) adalah solusi palsu. Bahwa pemenuhan hak ekonomi rakyat tidak sama dengan bantuan sosial yang dianggap sebagai uluran tangan hadirnya negara (charity). Semestinya, negara dapat dikatakan hadir apabila hak asasi manusia dipenuhi dan dijamin.
Tentunya, juga berangkat dari pengalaman penyaluran bantuan sosial (“bansos”) beberapa waktu lalu, sangat besar ruang untuk dilakukannya korupsi, seperti halnya kasus korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh Juliari Batubara. Tindakan koruptif yang melanggar hak asasi manusia tersebut bahkan dilakukan pada masa-masa krisis pandemi. Kaitannya dengan fenomena kenaikan BBM saat ini yang dengan tidak berstatus kebencanaan dan kedaruratan, maka sangat besar kemungkinan adanya keberulangan tindakan koruptif terjadi.
Adapun, BLT yang ditawarkan juga tidak menjawab permasalahan atas dampak buruk ekonomi yang dialami oleh masyarakat miskin. Pasalnya, kenaikan BBM ini juga akan berdampak luas, sistemik serta akan berpengaruh secara signifikan pada kenaikan harga pokok lainnya, setelah sebelumnya terjadi kenaikan tarif listrik dan pajak penghasilan yang akan menambah beban kian berlipat ganda. Menjawab masalah kenaikan BBM dengan BLT yang memberi ruang atas tindakan koruptif, sama saja dengan memberi penanganan masalah yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan (plasebo).
- . Baca juga: “Pelanggaran Hak Perempuan di Marunda, LBH Jakarta Mendesak Komnas Perempuan Memberikan Rekomendasi”
Ketiga, angka realisasi subsidi sampai dengan 31 Januari 2022 naik sebesar 347,38% dari tahun sebelumnya dengan Subsidi Energi sebesar Rp10,18 triliun yang mencakup Subsidi BBM dan Liquefied petroleum gas (“LPG”) serta subsidi listrik. Sedangkan, realisasi anggaran infrastruktur pada tahun 2021 saja mencapai Rp 402,8 triliun, tumbuh 31,1% dari tahun 2020.
Watak pembangunan-isme pemerintah semakin diperlihatkan dan menjadi prioritas. Ketimbang menaikan harga BBM subsidi, seharusnya pemerintah dapat menghentikan beberapa proyek infrastruktur dan strategis nasional (PSN) yang cenderung memakan porsi besar dalam anggaran belanja negara. Pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis nan prestisius yang dilakukan pemerintah seolah mencirikan makna yang positif namun sebenarnya didalamnya ada tujuan politis yang hendak dicapai yang berkesan keberhasilan dalam memimpin negara. Adapun seharusnya pemerintah melakukan hal-hal berikut:
- menghentikan proyek-proyek infrastruktur strategis yang tidak menunjang pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di sektor industri manufaktur, pertanian, dan kelautan. Seperti IKN, Jalan Tol dan Kereta Cepat yang memakan waktu dan biaya mulai dari pengadaan tanah hingga pengerjaannya, terlebih lagi masyarakat harus membayar (tidak gratis) dan tergusur untuk infrastruktur tersebut rampung;
- melakukan pengetatan pengawasan konsumsi BBM agar tidak salah sasaran seperti yang diucapkan Presiden bahwa subsidi 70% dinikmati pemilik kendaraan pribadi, namun perlu memperhatikan peruntukan dan motif ekonomi atas kendaraan pribadi tersebut.
Keempat, menaikkan harga BBM tidak memberikan solusi atas ancaman krisis energi di kemudian hari, kondisi tersebut dapat dilihat berdasarkan hal-hal berikut ini:
- Tingkat ketergantungan pada bahan bakar fosil (fossil fuels) masih tinggi padahal cadangan energi fosil di Indonesia kian menipis. Sedangkan cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan kurang dari 10 tahun. Hal ini dapat mengantarkan Indonesia pada krisis energi di kemudian hari;
- Pemerintah belum serius dalam menyiapkan dan menyelesaikan infrastruktur transisi dari energi fosil ke energi bersih. Dapat dilihat dengan tidak adanya upaya maksimal produksi energi listrik yang bersumber pada energi bersih seperti angin, arus laut samudera, sinar matahari, air dan bioenergi yang masih berada di angka 15% dalam bauran energi Indonesia;
- Konsumsi bahan bakar fosil ini juga sudah menempatkan porsi yang besar untuk para pemilik kendaraan mobil pribadi sebanyak 4.111.231 unit. Kondisi tersebut juga didorong dengan adanya insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) oleh pemerintah pada tahun lalu. Sehingga tidak menciptakan iklim penggunaan kendaraan dan alat produksi bertenaga listrik yang sejati (green business);
- Pemerintah dalam menaikkan harga BBM, tidak diikuti dengan menurunkan atau menggratiskan transportasi publik dan massal, sehingga warga akan lebih memilih untuk melakukan mobilisasi menggunakan transportasi publik dan massal. Perlu diperhatikan juga infrastruktur penunjang kemudahan akses bagi pejalan kaki dan pesepeda, serta ramah disabilitas.
Beberapa hal di atas, menjelaskan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia masih jauh dari solusi paripurna untuk untuk mengantisipasi krisis energi dan iklim. Alih-alih menurunkan angka konsumsi energi fosil dengan naiknya harga BBM, pemerintah justru memberikan kemudahan bagi warga di luar kepentingan kegiatan usaha untuk memiliki kendaraan lebih dari satu, dan membuat kemacetan dan polusi udara kian parah.
Sumbangan emisi CO2 sehingga mempengaruhi kualitas udara dan kemacetan akibat naiknya volume kendaraan di kota-kota padat seperti Jakarta, dapat menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental masyarakat.
Sebuah studi oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health and the World Economic Forum (WEF) memperkirakan penyakit pernapasan di Indonesia dapat merugikan negara hingga USD 805 miliar (Rp11.250 triliun) antara tahun 2012 dan 2030. Beberapa Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), asma atau hipertensi adalah kondisi kronis yang mempengaruhi orang dalam jangka waktu yang lama dan membutuhkan perawatan seumur hidup. layanan kesehatan, dan dapat membebani keluarga dengan sebagian besar pendapatan mereka. Bagi keluarga pra-sejahtera atau miskin akan menjadi kelompok yang paling parah mengalami dampak krisis ini.
Kelima, kenaikan harga BBM juga akan menimbulkan respon massif dari masyarakat, baik itu gerakan mahasiswa, buruh, petani, nelayan, dan lainnya. Hal ini karena seluruh kelompok masyarakat, pasti mengalami dampak langsung dari kenaikan BBM. Respon masif ini merupakan bentuk dari “kemarahan” masyarakat atas sikap Pemerintah yang “pekak telinga” kepada penderitaan masyarakat. Namun , selama masa Pemerintahan Joko Widodo, respon pemerintah terhadap aksi demonstrasi sebagai bagian dari respon masif masyarakat cenderung sangat represif. Dengan pola represif tersebut, tentu akan berimbas pada penyempitan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan penderitaannya yang sudah seharusnya di dengar oleh Pemerintah
Hal ini dapat dilihat juga pada respon yang ditunjukkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) terkait prediksi gelombang aksi-aksi massa sehubungan isu kenaikan harga BBM. Padahal yang jelas aksi protes masyarakat melalui demonstrasi di jalanan adalah hak yang dijamin dan tidak dapat dipidana karena kegagalan dalam menyampaikan pemberitahuan kepada Kepolisian sebagaimana Pasal 15 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 14 dan 25 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD.
Artinya dalam penanganan aksi demonstrasi, aparat Kepolisian alat keamanan negara harus bertindak patuh pada batasan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tidak boleh bertindak brutal meskipun dengan dalih “menjaga ketertiban dan keamanan”. Justru sebaliknya, aparat Kepolisian harus dapat memfasilitasi dan memberikan perlindungan bagi para partisipan aksi demonstrasi.
Selain itu, pelibatan personel-personel TNI dalam aksi demonstrasi sebenarnya tidaklah tepat, mengingat TNI memiliki fungsi pertahanan negara untuk mencegah serangan dari luar Negara. Artinya, penanganan aksi demonstrasi cukup ditangani oleh aparat Negara yang berwenang dalam urusan keamanan dalam negeri, dalam hal ini adalah Kepolisian, dan pelibatan TNI tak dapat dibenarkan karena justru akan berdampak pada praktik pengerahan aparat secara berlebihan dan bertentangan dengan asas proporsionalitas hukum.
Untuk itu berdasarkan beberapa catatan di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Presiden RI dan DPR RI untuk membatalkan kebijakan kenaikan BBM. Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia semestinya mengeluarkan kebijakan alternatif guna menaikkan tingkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat luas;
- Presiden RI, Menteri Keuangan dan Menteri Sosial untuk menghentikan sejumlah Proyek Strategis Nasional yang memboroskan keuangan negara seperti proyek pembangunan IKN, pembangunan Kereta Cepat, pembangunan sejumlah Jalan Tol, pembangunan waduk, dan proyek lainnya seperti yang termaktub pada Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
- Pemerintah RI memprioritaskan alokasi anggaran keuangan negara untuk memberikan stimulus perekonomian kepada masyarakat bawah, seperti para buruh, petani, dan nelayan, dimana stimulus ini dapat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dan ekonomi masyarakat bawah;
- Presiden RI, DPR RI, dan Menteri ESDM untuk bersungguh-sungguh dalam mewujudkan solusi paripurna yaitu melakukan transisi energi fosil ke energi bersih;;
- Masyarakat buruh, petani, nelayan, pelajar, dan mahasiswa dapat mendesak secara bersama-sama kepada pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan harga BBM, dan menghadirkan kebijakan alternatif untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat luas;
- Kepolisian RI untuk tidak bertindak represif terhadap masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi terkait isu kenaikan BBM, dan memfasilitasi perlindungan bagi warga negara yang menggunakan hak berpendapat dan berekspresinya untuk menyuarakan aspirasi;
Hormat kami,
Jakarta, 5 September 2022
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu