KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), AJAR (Asia Justice and Rights) dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta memberikan perhatian serius terhadap rencana pemerintah dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). RUU ini memang telah menjadi suatu diskursus di lingkungan pemerintahan, misalnya sejak tahun 2020 pemerintah telah memasukan RUU KKR ke dalam Prolegnas 2020 melalui jalur kumulatif dan kini tengah diadakan sejumlah pembahasan bersama dengan stakeholder. Lebih lanjut, Presiden RI Joko Widodo terakhir dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 16 Agustus 2022 juga mengatakan “Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) sedang dalam proses pembahasan.” Gencarnya diskursus mengenai KKR juga turut mendorong lembaga pemerintah seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kemenkumham yang secara aktif membahas mengenai RUU KKR dengan melakukan pengumpulan fakta lapangan, riset hingga mengadakan Forum Group Discussion. Tepatnya, pada hari Senin, 5 Agustus 2022, Tim dari Puslitbang Hak Asasi Manusia, Kemenkumham RI telah mengadakan FGD bertajuk Analisis Isu Kebijakan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Puslitbang mengundang KontraS, AJAR, LBH Jakarta termasuk lembaga negara seperti Kemenkopolhukam, BPHN, Dirjen HAM Kemenkumham, dan Sekretariat Kabinet.
Sejak dibatalkannya UU 27/2004 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006, terdapat salah satu kaidah hukum yang memberikan kewajiban bagi negara untuk membentuk kembali UU KKR yang sesuai dengan UUD 1945 serta instrumen HAM internasional. Berangkat dari hal tersebut, KontraS, AJAR maupun LBH Jakarta merasa perlu untuk menghadiri kegiatan FGD tersebut karena setiap sikap ataupun perilaku yang dilakukan oleh Pemerintah dalam agenda penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat tentu perlu diawasi, agar kebijakan serta langkah yang dilakukan Pemerintah tidak kontraproduktif terhadap semangat keadilan maupun mengulangi kesalahan yang sama seperti pengalaman pengaturan UU KKR terdahulu yang tidak memberikan ruang partisipasi aktif bagi korban yang justru menempatkan korban pada posisi yang semakin lemah, bahkan hak atas pemulihannya harus digantungkan dari pemberian amnesti oleh negara terhadap pelaku.
Berdasarkan hal tersebut, kami menyoroti dan secara tegas menyampaikan beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU KKR diantaranya:
Pertama, penyusunan perundangan haruslah bersifat partisipatif, terbuka, transparan dan akuntabel. Selain itu sebagai pemangku kepentingan, Negara harus berhenti menempatkan korban hanya sebagai objek sosialisasi.
Berkaca pada pengalaman dibatalkannya UU 27/2004 sebelum masuk ke tahapan pembahasan substansi kebijakan KKR bagian terpenting untuk ditekankan sejak awal ialah partisipasi aktif korban selaku pemangku kepentingan. Oleh karena itu, seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan haruslah bersifat transparan dan terbuka yakni dengan memberikan akses bagi korban untuk mengetahui atau memberi masukan atas kebijakan tersebut harus terbuka lebar. Tanpa hal-hal tersebut, maka negara hanya akan mengulang kesalahan yang sama seperti pengalaman dibatalkannya UU 27/2004.
Selain itu, paradigma yang menempatkan korban sebagai objek sosialisasi adalah paradigma yang keliru. Kerap kali, pemerintah hanya menjadikan korban sebagai objek sosialisasi pasca kebijakan selesai, atau sekedar mengundang korban untuk berbagi pendapat secara aktif, apalagi manipulasi penggunaan nama korban tanpa korban diberi pemahaman betul mengenai tindakan yang diambil pemerintah. Partisipasi publik –khususnya korban, yang dimaksud dalam konteks ini adalah partisipasi yang dilakukan secara bermakna (meaningful participation), sebagai bentuk pelibatan masyarakat yang sungguh-sungguh dalam proses legislasi dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393), yang merujuk pada: (a) hak masyarakat untuk didengar pendapatnya (right to be heard); (b) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Kedua, Komisi Kebenaran bukanlah substitusi Pengadilan HAM.
Terbentuknya KKR tentu tidak boleh menggugurkan kewajiban Negara untuk tetap menghukum pelaku pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM (ad hoc) harus tetap diselenggarakan sebagaimana diatur dalam UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karenanya Komisi Kebenaran tidak boleh ditempatkan sebagai substitusi (pengganti) pengadilan, melainkan harus bersifat komplementer dengan Pengadilan HAM.
Mengingat sifatnya yang komplementer, maka Komisi Kebenaran sendiri tidak dapat menyelesaikan pelanggaran HAM di luar Pengadilan, karena penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di era konflik atau otoriter memerlukan pengadilan bagi pelaku, pengungkapan kebenaran, pemulihan menyeluruh dan reformasi institusi. Hal ini penting kami utarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman apalagi pendangkalan makna dari Komisi Kebenaran yang tentunya kita semua tidak inginkan, mengingat sifat substitusi demikian terus muncul pada setiap bagian dari draf RUU yang ada mulai dari bagian Menimbang hingga Ketentuan Penutup.
Ketiga, tujuan dasar pembentukan KKR tidak hanya berbicara soal pemulihan
Tujuan dasar Komisi Kebenaran ialah untuk (i) menyusun dan menjelaskan fakta; (ii) melindungi, mengakui dan mengembalikan hak korban; serta (iii) memberi masukan bagi kebijakan administratif, hukum, politik dan sosial untuk mencegah agar pelanggaran-pelanggaran HAM yang serupa tidak terulang lagi di masa depan (non-recurrence principle). Komisi Kebenaran tidak sekedar berbicara soal pemulihan. Kata “menyelesaikan” dan “rekonsiliasi” pada praktiknya selalu dijadikan alasan menggunakan KKR sebagai satu-satunya upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan melemahkan akuntabilitas, merujuk pada pelaku elite dan aparat keamanan tidak harus dimintai pertanggungjawaban dan bahwa amnesti harus diberikan kepada mereka atas nama rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini hanya menguntungkan satu pihak (yakni pelaku) dan tidak bagi para korban kejahatan. Rekonsiliasi, sebagaimana definisinya yaitu pemulihan hubungan ke keadaan semula. Oleh karena itu, terwujudnya rekonsiliasi dapat menjadi efek samping dari suatu kebijakan, namun tidak tepat dijadikan sebagai sebuah tujuan karena berkaitan dengan pemulihan sikap batin “kepercayaan” yang tentu saja tidak dapat dipaksakan. Rekonsiliasi memerlukan proses sosial jangka panjang yang tidak bisa dicapai hanya oleh Komisi Kebenaran sendiri.
Kembali kami mengingatkan fungsi utama dari semua komisi kebenaran adalah pencarian kebenaran dan penuturan kebenaran. Oleh karena itu kenyataannya setiap Komisi Kebenaran terlibat dalam kerja penjernihan sejarah. Jika sebuah Komisi Kebenaran gagal dalam misi penjernihan sejarah, sudah pasti ia juga gagal dalam misi-misi subsider dan paralel seperti mendorong akuntabilitas, reformasi, atau rekonsiliasi.
Keempat, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Kebenaran harus dilindungi dan dijamin pelaksanaannya oleh Undang-Undang. Oleh karena itu RUU perlu menjamin adanya sanksi bagi tindakan menghalangi Komisi untuk menjalankan kewajibannya, tidak hadir ketika dipanggil, membongkar informasi rahasia yang dikuasai oleh Komisi, menghancurkan dokumen/bukti. Indonesia tentu sudah tidak asing dengan pengalaman berpuluhtahun lembaga-lembaga ekstra yudisial yang tidak memiliki taring hukum untuk memaksa orang yang dipanggil hadir atau memberikan dokumen yang diminta sehingga kerja pengungkapan kebenaran menjadi tidak efektif. Selain itu, diperlukan pula perlindungan hukum bagi korban yang mendapat intimidasi, serangan bahkan mendapat ancaman kriminalisasi pencemaran nama baik dalam menyampaikan kesaksiannya, sehingga korban tidak dapat menyampaikan kesaksiannya secara bebas.
Kelima, laporan akhir. Sayangnya draf yang ada tidak memberi tugas atau wewenang kepada Komisi untuk mempublikasikan sendiri laporan akhirnya. Komisi harus memastikan laporan akhir dipublikasikan seluas mungkin kepada otoritas tinggi negara, kepada lembaga negara lain, juga kepada publik. Menyerahkan laporan akhir hanya kepada Presiden atau lembaga tertentu, termasuk menyerahkan tugas mempublikasi laporan kepada pihak lain tersebut melemahkan fungsi Komisi Kebenaran sendiri. Tentu rakyat Indonesia telah belajar dari laporan TPF Munir yang hanya diserahkan kepada Presiden dan kemudian menghilang seiring berjalannya waktu tanpa pernah dipublikasikan oleh Presiden. Tanpa memiliki tugas mempublikasikan laporan akhirnya sendiri, laporan Komisi Kebenaran dapat berakhir di bawah tangan pihak-pihak tertentu yang kemudian kembali menggantungkan publikasi laporan pada political will dari pihak tersebut yang tentu saja sangat tidak efektif. Oleh karena itu mempublikasi laporan akhir harus menjadi tugas dari Komisi Kebenaran.
Jakarta, 6 September 2022
Lebih lanjut, paparan yang disampaikan AJAR, KontraS dan LBH Jakarta pada FGD tersebut dapat diakses di:
-
- Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu