Pernyataan Mahfud MD
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD yang pada 18 Agustus 2022 lalu menyatakan bahwa, “Polisi Langgar Disiplin di Kasus Brigadir J Dimaafkan Saja” (Tirto.id: https://tirto.id/gvhH). Pernyataan tersebut bukan saja keliru, menyesatkan, dan membohongi publik. Lebih dari itu, pernyataan Menkopolhukam tersebut tidak berpihak pada korban.
Parahnya, hal tersebut keluar dari mulut seorang Menteri yang juga merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya paham bahwa rekayasa kasus adalah pelanggaran hukum yang telah menghancurkan integritas Polri. Sehingga perbuatan ini wajib diungkap seterang-terangnya dan seluruh pihak yang terlibat wajib diproses hukum, demi keadilan dan mencegah keberulangan. Sehingga pemberian maaf terhadap mereka yang terlibat tanpa proses hukum lebih lanjut akan menjerumuskan kasus ini pada impunitas.
Pandangan LBH Jakarta tentang Pernyataan Mahfud MD
Terhadap pernyataan tersebut, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, Mahfud MD menyampaikan pernyataan tersebut dalam kapasitasnya sebagai seorang Menteri yang memiliki fungsi koordinasi terhadap seluruh perangkat negara di bidang politik, hukum, dan keamanan. Sehingga pernyataan Menkopolhukam di tengah proses pemeriksaan kasus ini secara implisit merupakan bentuk intervensi terhadap proses. Sangat mungkin pernyataan tersebut ditafsirkan sebagai arahan atau bahkan perintah secara langsung maupun tidak langsung pada institusi yang masuk dalam lingkup koordinasinya, dalam hal ini Polri yang tengah melakukan proses pemeriksaan terhadap kasus ini. Dalam kapasitas tersebut, segala pernyataan publik tidak boleh disampaikan seenaknya saja, melainkan wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik dan konsekuensi publik yang ditimbulkan.
Kedua, pemberian maaf terhadap anggota Polri yang terlibat dalam pembunuhan dan rekayasa kasus dengan alasan mendapatkan perintah atasan merupakan pernyataan yang keliru dan tidak berlandaskan hukum. Padahal, Pasal 7 ayat (3) huruf c Perkap No. 14/2011 pada pokoknya menyatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Bahkan lebih dari itu, perintah untuk merekayasa kasus bukan saja pelanggaran disiplin dan etik, melainkan juga merupakan tindak pidana.Sehingga tidak terdapat alasan apapun untuk memberikan maaf terhadap anggota Polri yang terlibat dalam pembunuhan dan rekayasa kasus tersebut. Pemberian maaf tanpa proses hukum lebih lanjut justru merupakan impunitas yang ironisnya didorong oleh seorang Menkopolhukam cum Guru Besar Hukum Tata Negara.
Desakan untuk menghilangkan impunitas di tubuh Kepolisian menjadi begitu penting sebab cukup banyak kasus tidak tuntasnya penegakan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan anggota Kepolisian, sebut saja dalam kasus penyiksaan 6 pengamen Cipulir dan penyiksaan M. Fikhry dkk di Tambelang, hingga kasus penyerangan Novel Baswedan.
Ketiga, sejak keterlibatan puluhan anggota Polri dalam rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Josua, reformasi kepolisian semakin menunjukan kegagalannya. Hal tersebut justru diperparah dengan sikap permisif Menkopolhukam terhadap praktik rekayasa kasus tersebut melalui pernyataannya. Alih-alih mendorong pengungkapan kasus dan menunjukan sikap tegas terhadap anggota Polri yang terlibat rekayasa kasus, ia justru mengeluarkan pernyataan problematik yang berpotensi mempengaruhi proses dan melukai hati keluarga korban. Seharusnya Mahfud MD selaku Menkopolhukam dapat berperan aktif bersama pemangku kebijakan lainnya dalam mendorong perubahan mendasar bagi tubuh Polri melalui reformasi kepolisian berkelanjutan.
LBH Jakarta Mendesak Menkopolhukam
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak agar:
-
Menkopolhukam mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada publik dan keluarga Brigadir Josua;
-
Menkopolhukam berhenti mengeluarkan pernyataan yang tidak berpihak pada korban dan cenderung mendorong impunitas, termasuk namun tidak hanya terbatas dalam kasus kematian Brigadir Josua;
-
Presiden segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil dengan keterwakilan yang memadai. Hal tersebut karena dari pernyataan Menkopolhukam terdapat dugaan mempengaruhi proses. Sehingga dikhawatirkan terjadi impunitas;
-
Sementara sebelum TGPF dibentuk, Kapolri tidak terpengaruh dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Menkopolhukam dengan dengan memerintahkan jajarannya agar melakukan pemeriksaan terhadap seluruh anggota Polri yang terlibat tidak hanya pada ranah disiplin dan etik, namun wajib memprosesnya secara pidana; dan
-
Kapolri mengumumkan hasil pemeriksaan secara etik dan disiplin yang telah dilakukan selama ini kepada publik.
Jakarta 21 Agustus 2022
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta)
Narahubung:
-
Fadhil Alfathan ([email protected])
-
M. Charlie Meidino Albajili ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.