Pola Omnibus Law
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (“Kemendikbud Ristek”) berencana untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (“RUU Sisdiknas”) ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2022. RUU Sisdiknas menggabungkan tiga undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Penggabungan tersebut menunjukkan potensi untuk menjadikan RUU Sisdiknas sebagai “omnibus law di sektor pendidikan”.
- Baca juga: “Pos Pengaduan #SaveDigitalFreedom Ditutup, LBH Jakarta Siapkan Gugatan Kepada Menkominfo”
Mulai terlihat pola tertutup yang serupa dengan omnibus law UU Cipta Kerja sebelumnya di dalam RUU Sisdiknas ini. Seperti draf yang hingga saat ini tidak dipublikasikan kepada publik dan minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU. Hal ini semakin diperkuat dengan proses RUU Sisdiknas yang mulai dibahas setelah pengesahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU P3”) yang merupakan legitimasi metode omnibus law sejak tanggal 24 Mei 2022 lalu. Beberapa organisasi pendidikan pun menyampaikan ditolaknya permohonan keterbukaan informasi mengenai draf RUU Sisdiknas yang digadang tengah disusun oleh Kemendikbud Ristek.
3 Masalah RUU Sisdiknas
LBH Jakarta menilai terdapat beberapa masalah yang dihadirkan dari rencana RUU Sisdiknas sejak Januari 2022 lalu telah keluar draf pertamanya:
Pertama, sikap pemerintah menolak membuka draf RUU Sisdiknas melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12 Tahun 2011 (“UU P3”). Dalih bahwa RUU masih dalam tahap perencanaan dan penyusunan oleh pemerintah mereplikasi dalil pemerintah ketika menyusun UU Cipta Kerja pada 202 lalu yang cacat formil. Hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 88 UU P3 dan Pasal 171 Perpres 87/2014 yang mewajibkan pemerintah mempublikasikan draf RUU sejak tahap perencanaan dan penyusunan. Tanpa ada keterbukaan, publik akan kesulitan berpartisipasi dalam prosesnya yang merupakan asas paling penting dalam pembentukan perundang-undangan;
Kedua, dampak dari tertutupnya informasi, perencanaan dan penyusunan RUU Sisdiknas menjadi tidak partisipatif. Pola serupa UU Cipta Kerja kembali berulang ketika draf yang dianggap tidak resmi beredar kepada publik, ditambah draf tersebut tidak mencantumkan daftar penyusun dan naskah akademik. Hal ini akan mempersulit masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam menyikapi RUU. Fakta bahwa beberapa pemangku kepentingan mengeluhkan terbatasnya ruang yang diberikan pemerintah dalam beberapa uji publik yang dilakukan menunjukan bahwa pelaksanaannya berpotensi manipulatif alih-alih kolaboratif jika merujuk pada teori partisipasi Arnstein. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 UU P3;
Pemerintah melalui Kemendikbud Ristek seharusnya membuka ruang pembahasan seluas-luasnya untuk masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif agar pembentukan RUU Sisdiknas dapat menjawab masalah pendidikan di Indonesia tanpa terkecuali. Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005 mengatur bahwa “setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan untuk ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. “
Ketiga, minimnya partisipasi dan tidak dapat diaksesnya draf RUU Sisdiknas ini merupakan pola keberulangan yang buruk bagi Pemerintah dan DPR dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Seperti halnya Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dalam proses rancangannya mengalami perubahan halaman serta substansi secara terus-menerus tanpa adanya transparansi dan keterlibatan publik hingga RKUHP yang saat ini menuai banyak penolakan dari masyarakat. Pola keberulangan buruk ini menjadi catatan yang sangat buruk bagi demokrasi di Indonesia dan melanggar hak-hak masyarakat atas keterbukaan informasi dan partisipasi. Pada akhirnya, warga negara dirugikan oleh negara yang terus mengeluarkan peraturan bermasalah dengan minim partisipasi.
3 Desakan LBH Jakarta
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk segera membuka draf dan Naskah Akademik RUU Sisdiknas untuk memastikan proses yang transparan dan partisipatif sebagaimana diwajibkan dalam UU P3;
- Presiden RI dan DPR RI untuk tidak melanjutkan proses ke tahap pembahasan RUU Sisdiknas tanpa adanya proses yang transparan dan partisipatif sebagaimana diwajibkan UU P3;
- Presiden RI dan DPR RI berhenti melakukan praktik buruk pembentukan perundang-undangan yang tertutup, tidak partisipatif, dan tidak berpihak pada perlindungan dan pemenuhan HAM warga yang merupakan bentuk pembangkangan terhadap kedaulatan rakyat.
Narahubung:
- Jihan Fauziah Hamdi ([email protected])
- M. Charlie Meidino Albajili ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.