Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik keras penangkapan terhadap AH, pemilik akun @rakyatjelata_98 pada 28 Juli 2022 lalu. Penangkapan tersebut dilakukan karena AH diduga menyebarkan hoax/berita bohong melalui konten yang diunggah dalam aplikasi Snack Video.
LBH Jakarta menilai bahwa penangkapan terhadap AH sarat akan dugaan konflik kepentingan karena menyangkut atasan penyidik, dalam hal ini Kapolda Metro Jaya. Selain itu, proses hukum ini memiliki kecenderungan sebagai pemidanaan yang dipaksakan dengan menggunakan pasal-pasal karet dan pasal haatzaai yang berwatak otoriter.
Terhadap peristiwa tersebut, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan pasal-pasal karet (multitafsir) terhadap AH kembali menguatkan dugaan bahwa penegakan hukum pada kasus ini merupakan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan. Dalam kasus ini, terdapat beberapa pasal yang digunakan, yaitu:
- Penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam kasus ini sangat absurd dan tidak masuk akal. Pasal tersebut berbicara mengenai “perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap kelompok atau individu berdasar SARA”. Sedangkan Kapolres, Kapolda, maupun Kadiv Propam merupakan jabatan, bukan merupakan bagian dari Suku, Agama, Ras, atau Antar Golongan (SARA);
- Penggunaan Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU 1/1946 sangat multitafsir dan dapat menjerat ekspresi yang sah dan dilindungi konstitusi dengan memuat unsur-unsur tindak pidana yang karet. beberapa unsur dalam Pasal ini berkenaan dengan “berita atau pemberitahuan bohong” atau “keonaran”. Kesemuanya tentu tidak memiliki pengukuran yang jelas, cenderung subjektif, dan berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang. Terlebih, situasi “kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya” sebagaimana penjelasan Pasal 14 UU 1/1946 belum terjadi akibat penyebaran informasi AH sehingga unsur “menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” belum terpenuhi.
- Penggunaan Pasal 207 KUHP memperlihatkan dengan jelas bahwa penyidik melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013- 022/PUU/IV/2006. Dalam putusan tersebut, terdapat tafsir konstitusional yang menyatakan bahwa proses hukum yang menggunakan Pasal 207 KUHP hanya dapat dilakukan dengan dasar pengaduan (delik aduan). Sedangkan dalam kasus ini, yang melakukan pelaporan adalah masyarakat, tidak jelas apakah Kapolres Bandara Soekarno-Hatta, Kapolda Metro Jaya, atau Kadiv Propam (nonaktif) melakukan pengaduan secara langsung atau tidak.
Kedua, Proses penyidikan dalam kasus ini sarat akan dugaan konflik kepentingan karena menyangkut atasan secara langsung maupun tidak langsung penyidik, yakni Kapolda Metro Jaya dan Kadiv Propam (nonaktif). Terlebih, proses penyidikan disertai upaya paksa penangkapan dilakukan secara kilat tanpa didahului dengan mediasi sesuai ketentuan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam Surat Edaran tersebut, penyidik wajib menempatkan hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum “ultimum remedium” dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Ketiga, proses hukum terhadap AH kembali menguatkan dugaan bahwa tindakan pemolisian dalam kaitannya dengan wewenang penegakan hukum sangat rentan memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat. Terlebih, penggunaan Pasal 207 KUHP sebagai bagian dari Haatzaai Artikelen membangkitkan ingatan kolektif mengenai sejarah kelam bagaimana pemerintah kolonial membungkam daerah jajahan yang kritis terhadap penguasa.
Keempat, di satu sisi anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya justru menghalangi kerja jurnalis yang sedang mencari keterangan dan informasi untuk produk jurnalistik terkait dengan Kasus Brigadir J di sekitar kediaman Rumah Mantan Kadiv Propam. Tindakan penghalang-halangan tersebut merupakan tindak pidana pers dan tidak pernah dilakukan penegakan hukum. Selain itu, tindakan tersebut justru mempersulit peran penting jurnalis dalam mengkonfirmasi informasi yang simpang siur.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, bukan tidak mungkin kejadian serupa kembali terulang dan semakin bertambah buruk seiring dengan disahkannya R-KUHP draft terakhir yang kembali menghidupkan beberapa delik penghinaan terhadap kekuasaan umum.
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak agar:
- Kapolri memerintahkan kepada Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan proses penyidikan terhadap AH;
- Kapolri memastikan jajarannya agar menyelesaikan proses hukum yang berkaitan dengan informasi elektronik berpedoman pada Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif ;
- Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU ITE secara transparan, akuntabel, dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil secara luas dengan berlandaskan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia;
- Presiden dan DPR segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Serta mencabut ketentuan pidana tersebut dengan berlandaskan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Jakarta, 29 Juli 2022
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
- Fadhil Alfathan ([email protected])
- Teo Reffelsen ([email protected])
- Charlie Albajili ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.