“Seharusnya Jaksa menggunakan Pasal 98 KUHAP untuk meminta uang pengganti atas kerugian negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi yang terjadi, khususnya bidang lingkungan hidup. Meski memakan waktu yang relatif lebih lama, tapi penggabungan gugatan perdata akan lebih baik karena saat pembuktian mempunyai upaya paksa terhadap saksi.”
Itulah sekelumit pemaparan Chandra M. Hamzah ketika didaulat menjadi pemateri dalam acara Workshop Nasional tentang “Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” yang diselenggarakan di Hotel Atlet Century Park, Jakarta.
Workshop yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) tersebut menghadirkan tiga pemateri, yakni Bambang Hero Saharjo, Chandra M. Hamzah dan Yunus Husein. Materi workshop pun dibagi dalam tiga isu besar yakni penghitungan ganti rugi akibat pecemaran dan atau kerusakan lingkungan, uang pengganti dan pertangggungjawaban pidana korporasi terkait lingkungan hidup.
Penghitungan ganti rugi akibat pecemaran dan atau kerusakan lingkungan
Permasalahan ganti rugi kerusakan sumberdaya alam, hutan dan lingkungan merupakan hal krusial yang seringkali menimbulkan konflik karena tidak memiliki dasar dan data yang kuat. Untuk itu, dalam rangka menyelesaikan klaim ganti rugi harus dilengkapi dengan data pembuktian yang diklasifikasikan sebagai bukti (legal proof) terjadinya pencemaran dan atau perusakan hutan dan ligkungan. Data dan bukti harus berupa hasil penelitian, pengamatan lapangan, analisa laboratorium dan data lain berupa pendapat ahli yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam paparannya, Bambang Hero Saharjo mengemukakan apa saja yang mesti dibuktikan untuk menghitung kerugian akibat tindak pidana korupsi bidang lingkungan hidup. Poin penting yang harus dihitung adalah kerugian ekologis, kerugian ekonomis, biaya pemulihan, kerugian masyarakat dan biaya yang dikeluarkan selama proses menghitung ganti rugi.
Terkait cara menghitung kerugian ekologis, Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor tersebut memperkenalkan komponen-komponen yang harus dihitung. Komponen tersebut adalah biaya menghidupkan fungsi tata air, biaya pengaturan tata air, biaya pengendalian erosi dan limpahan, biaya pembentukan tanah, biaya unsur hara, biaya fungsi pengurai limbah, biaya pemulihan biodiversity, biaya pelapasan karbon dan biaya pemulihan genetik.
Sementara itu, untuk menghitung kerugian ekonomis yang diderita negara atau masyarakat, ahli yang sering berkolaborasi dengan aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana bidang lingkungan tersebut menekankan penghitungan komponen nilai kayu dengan menggunakan rumus CNK= VH x Rp. 3.300.000,-/m3 (dimana CNK: biaya nilai kayu dan VH: volume hutan yang rambah). Selain itu, komponen yang harus dihitung selanjutnya adalah hilangnya umur pakai lahan.
Kemudian, terkait penghitungan kerugian masyarakat akibat tindak pidana pertambangan terdiri 3 hal, yakni nilai obyek, nilai umur pakai lahan dan hilangnya nilai tanah.
Uang pengganti
Untuk meminta uang pengganti kerugain negara terhadap tindak pidana lingkungan hidup, ketentuan Pasal 98 KUHAP layak untuk dipakai. Meski memakan waktu yang lebih lama, penggabungan gugatan perdata dalam persidangan kasus pidana memiliki beberapa keuntungan, salah satunya adalah adanya upaya paksa terhadap saksi.
Problem terbesar diantaranya adalah belum adanya peraturan pelaksana yang lebih rinci. Andaikan peraturan tersebut sudah ada, maka itu akan lebih efektif dan menguntung bagi negara atau masyarakat.
Pertanggungjawaban korporasi
Pemateri terakhir, Yunus Husein, memaparkan bagaimana sistem pertanggungjawaban korporasi, yakni korporasi berbuat dan korporasi bertanggungjawab, korporasi berbuat dan pengurus bertanggungjawab, pengurus berbuat dan bertanggungjawab dan terakhir korporasi dan pengurus sebagai pelaku dan keduanya bertanggungjawab.
Yunus juga memaparkan bahwa tindak pidana korporasi sudah dirumuskan dalam beberapa perundang-undangan, diantaranya: UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutana, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang perkebunan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem, UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 28 Tahun 2001 tentang Perpajakan, UU Nomor 10 Jo. UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabean dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
Terakhir, Yunus memaparkan inisiatif yang sedang dilakukan dalam menjerat korporasi, yakni Kejaksaan Agung sedang menyusun draft “Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Penanganan Perkara terkait Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.” Poin penting dalam draft tersebut adalah kriteria pertanggungjawaban korporasi terhadap: a. Korporasi b. Pengurus korporasi/pemberi perintah/pimpinan dalam melakukan tindak pidana/personil pengendali korporasi.