Telah berlangsung sidang perkara anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terkait aksi 11 April 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persidangan yang beragendakan pembacaan dakwaan ini dilangsungkan dengan dihadiri oleh ABH secara daring.
Proses hukum ini bermula dari partisipasi seorang anak (MR, 15 tahun) dalam aksi demonstrasi pada 11 April 2022 di depan Gedung DPR RI. Namun, sebelum dapat mengikuti aksi tersebut, ia justru dihadang oleh petugas kepolisian di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Oleh petugas kepolisian, dilakukan penggeledahan terhadap badan MR dan kemudian ditemukan pisau lipat berbahan stainless steel yang ia beli secara daring. Atas hal tersebut, MR ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Adapun pasal pidana yang didakwakan terhadap ABH tersebut adalah Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 1/1951 dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara. Sedangkan perbuatan yang dimaksud adalah membawa pisau lipat saat akan mengikuti aksi 11 April 2022 tersebut.
Baca juga: “Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Abaikan Hak Diversi Anak”
Dalam persidangan Tim Penasihat Hukum ABH dari LBH Jakarta mempertanyakan tentang pelanggaran prosedur penahanan yang dilakukan terhadap MR, yakni mengenai lama waktu penangkapan dan penahanan yang dilakukan terhadap MR. selama 83 hari yang jelas melebihi jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Namun, baik Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum menyatakan hal tersebut seharusnya ditanyakan kepada Penyidik, karena dalam tingkat penyidikan, penyidik tidak melakukan penahanan, melainkan menitipkan MR ke Balai Handayani, padahal faktanya dalam Surat Pemberitahuan Penangkapan terhadap MR, dijelaskan juga ia ditahan sejak 12 April 2022 sampai dengan 18 April 2022 di Rutan Polda Metro Jaya, namun surat Pemberitahuan Penahanan tidak ditembuskan kepada Keluarga.
SPPA tidak mengenal “Penitipan”, Penitipan hanya istilah teknis dalam Penahanan jika di Kantor Kepolisian tidak ada ruang tahanan khusus anak, sehingga seharusnya lamanya anak ditahan harus dihitung sejak 12 April 2022 sampai dengan sekarang yang mana itu sudah melampaui ketentuan SPPA dan anak harus dikeluarkan demi hukum.
Tim Penasihat Hukum juga meminta agar Hakim dapat mengupayakan diversi dalam perkara ini agar ditemukan solusi di luar hukum pidana. Namun, hal tersebut ditolak oleh Hakim dengan alasan ancaman pidana yang didakwakan di atas 7 tahun penjara, tidak ada korban, dan tidak pernah dilakukan diversi pada tahap penyidikan maupun penuntutan, padahal faktanya banyak Preseden baik yang bisa dijadikan acuan mengenai diversi ABH yang diancam pidana diatas 7 Tahun, contohnya dalam Penetapan Nomor : 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.PTK.; Penetapan Nomor : 3/Pid.Sus-Anak/2014/PN.PTK.; dan Penetapan Nomor: 4/Pen.Pid.Sus-anak/2016/PN.MNP
Pengacara Publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen, menyatakan bahwa penggunaan instrumen hukum pidana dalam kasus ini berlebihan dan bertentangan dengan asas fundamental dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak), yakni asas kepentingan terbaik anak. Hal tersebut karena ABH masih berumur 15 tahun dan masih berada dalam usia sekolah. Sehingga proses hukum ini sangat menghambat kegiatan persekolahan yang tentunya mengganggu tumbuh kembang anak di kemudian hari.
Ia juga menilai bahwa absennya diversi tersebut menunjukkan kelemahan UU SPPA pada tataran implementasi yang hanya melihat proses diversi dari besarnya ancaman pidana. Namun tidak secara kualitatif melihat jenis pidananya. Hal ini diperparah dengan penolakan diversi yang dilakukan oleh Hakim dalam perkara ini yang kemudian menunjukkan keragu-raguan hakim dalam melakukan terobosan hukum demi kepentingan terbaik anak.
Teo juga menilai bahwa masa penangkapan dan penahanan yang baru hitung sejak perkara dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai bentuk pelanggaran prosedur yang nyata dan berdampak pada pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum dan Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
Selain itu, Fadhil Alfathan, Pengacara Publik LBH Jakarta menyoroti penggunaan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 1/1951. Ia menilai ketentuan pidana tersebut “usang” dan tidak lagi sesuai zaman. Sehingga sangat kejam apabila ketentuan pidana dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara tersebut diterapkan kepada seorang anak yang kebetulan membawa pisau lipat. Terlebih, pisau lipat tersebut merupakan barang yang bebas dijual di internet dan biasa digunakan untuk perkakas maupun alat perlengkapan kegiatan outdoor.
Sidang akhirnya ditutup dan dilanjutkan kembali pada Rabu, 6 Juli 2022, dengan agenda pembacaan eksepsi dari Tim Penasihat Hukum.
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui donasi.bantuanhukum.or.id, setiap donasi sangat berarti.