Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI Tahun 2021 Polisi secara konsisten menjadi Institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM, Yakni 661 aduan, jika kita lihat Tahun 2020 terdapat 785 kasus Pengaduan yang masuk ke Komnas HAM terkait Kepolisian, hal tersebut menggambarkan terjadi peningkatan aduan setelah tahun 2019, dimana Komnas HAM menerima aduan terkait polisi hanya 60 kasus.
Selain itu, Ombudsman RI juga merilis dalam catatan akhir Tahun 2021 terdapat 676 laporan terkait dengan Kepolisian dan pada Tahun 2020-nya Ombudsman dalam Laporannya menyebutkan bahwa Kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman, dengan jumlah pengaduan sebanyak 699 Laporan.
Baca juga: “Sidang Etik dan Disiplin di Kepolisian Menjadi Sarana Impunitas”
Aduan terhadap Kepolisian kepada Lembaga Negara tersebut selaras dengan hasil Pemantauan dan Penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Jakarta terkait dengan Pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota Kepolisian yang menandakan bahwa Kepolisian telah gagal mereformasi dirinya pasca keluar dari ABRI. Adapun hasil pemantauan dan penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Jakarta yang berhubungan dengan isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, tertuang sebagaimana berikut ini:
- 2011-2020 ditemukan 22 orang menjadi korban Pembunuhan diluar hukum (extra judicial killing);
- 2013-2022 ditemukan 80 orang menjadi korban penyiksaan (torturre), 25 diantarannya adalah korban salah tangkap dan 6 orang merupakan Anak;
- 2019-2022 ditemukan 153 orang menjadi korban kekerasan dan brutalitas aparat pada saat melakukan aksi demonstrasi, 9 diantaranya meninggal dunia:
- 2019-2022 ditemukan 7.632 orang menjadi korban Penangkapan sewenang-wenang, 394 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dan 179 harus ditahan: dan
- 2019-2022 ditemukan 37 orang aktivis yang menjadi korban kriminalisasi.
Kondisi tersebut diatas dilanggengkan karena lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan berikut:
LBH Jakarta menilai 7 permasalahan yang berangkat dari hasil pemantauan dan penanganan kasus di atas merupakan ekses dari besarnya kewenangan Polri tanpa dibarengi dengan pengawasan internal maupun eksternal yang memadai.
Pertama, “Jeruk Makan Jeruk” Penanganan Kasus Oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri
LBH Jakarta bersama jaringan berkali-kali mendampingi Klien korban penyalahgunaan wewenang oleh Polri yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia untuk melaporkannya kepada Divpropam Polri maupun jajaran di bawahnya. Namun ironisnya, laporan tersebut kerap tidak berbuah hasil yang berpihak pada korban. Adapun beberapa kasus yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:
- Kasus salah tangkap dan penyiksaan Pengamen Cipulir;
- Kasus Pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) jelas perhelatan Asian Games 2018;
- Kasus penyiksaan oleh anggota Polres Metro Tangerang dan Polda Metro Jaya dalam kasus kriminalisasi mural Tangerang.
Di sisi lain, Divpropam beserta jajarannya justru hanya menjadi sarana impunitas dengan tidak memberi sanksi tegas terhadap anggota Polri yang menjadi pelaku tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan. adapun beberapa kasusnya adalah sebagai berikut:
- Divpropam tidak memberikan sanksi tegas kepada pelaku penyiram air keras terhadap Novel Baswedan;
- Tidak transparan dan tidak jelasnya proses pemeriksaan terhadap Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo polisi pelaku kasus suap “red notice” Djoko Tjandra;
- Ringannya sanksi bagi Brotoseno berupa demosi, Polisi pelaku kasus suap cetak sawah
Berdasarkan beberapa contoh penanganan kasus oleh Divpropam Polri beserta jajaran di bawahnya di atas, LBH Jakarta menilai, Divpropam belum bisa menjadi harapan bagi para korban penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi.
Kedua, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI Hanya Bertindak Sebagai “Pengantar Surat” Untuk Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Inspektorat Pengawasan Umum Polri:
Berdasarkan pemantauan dan penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Jakarta, Kompolnas tak ubahnya dengan lembaga pengawas internal Polri. Dalam beberapa kasus, pengaduan/laporan yang kami ajukan ke Kompolnas tidak mendapatkan tanggapan serius. Sering kali kasus yang diajukan hanya direspons dengan klarifikasi yang diteruskan oleh Kompolnas kepada satuan wilayah (satwil) atau satuan kerja (satker) kepolisian yang diadukan/dilaporkan.
Kondisi di atas sebenarnya sudah menjadi temuan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada 2011 dengan judul penelitian “Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Format Kepolisian RI Di Masa Depan (Perbandingan Dengan Beberapa Negara)” Kompolnas belum menjadi lembaga pengawas yang efektif karena belum memiliki fungsi pengawasan yang lebih luas. Kompolnas hanya mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja Kepolisian dan menyampaikan ke presiden.
Selain itu, secara kelembagaan, Kompolnas diketuai oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta berdasarkan PP 11/2017, segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan kerja-kerja Kompolnas dibebankan kepada anggaran Kemenko Polhukam. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sulit untuk dapat diandalkan dalam proses pengawasan ke depan sebelumnya.
Kami menilai masalah-masalah tersebut dapat muncul dan kerap kali berulang disebabkan adanya pengabaian terhadap masalah struktural, yang penyelesaiannya tidak cukup dengan pendekatan kasuistik. Melainkan dengan pendekatan integral, perubahan secara menyeluruh terhadap institusi kepolisian, caranya melalui agenda reformasi kepolisian dengan merevisi Undang-Undang Kepolisian. Beberapa substansi perubahan diantaranya seperti memperkuat mekanisme pengawasan eksternal yang dapat melakukan penindakan terhadap anggota kepolisian yang melakukan Pelanggaran Hukum dan HAM, Bahwa agenda tersebut tidak hanya terbatas pada reformasi instrumental, tetapi juga struktural dan kultural, untuk itu kami mendesak:
- Presiden dan DPR RI untuk segera melakukan percepatan agenda reformasi kepolisian dengan melakukan revisi berbagai undang-undang yang berhubungan dengan aspek baik kultural, struktural, hingga instrumental. Revisi ini dapat dimulai dari revisi UU Kepolisian, KUHAP, dan berbagai aturan yang bersinggungan lainnya;
- Presiden dan DPR RI untuk segera merevisi undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan besar dari Kepolisian dengan tujuan memberikan pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap kewenangan besar Kepolisian tersebut, dengan setidaknya segera mendorong pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) dan undang-undang lain yang berhubungan;
- Presiden segera membentuk sebuah Tim Independen Percepatan Reformasi di kepolisian yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan perubahan terjadi di semua lini kepolisian;
- Presiden dan DPR memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia. Petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) melakukan evaluasi terhadap aturan internal. Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai aturan pengamanan demonstrasi perlu direvisi dengan memasukan aturan sanksi yang tegas dan kewajiban untuk memproses pidana bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran protap dan pidana. Selain itu, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Tugas Kepolisian perlu direvisi dengan menyertakan lampiran SOP terkait tugas-tugas pemolisian yang demokratis;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang selama ini masih kuat di kepolisian. Anggota kepolisian sudah harus meninggalkan cara pandang lama yang melihat dirinya sebagai “penghukum”. Anggota Polri harus menyadari bahwa tugasnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Karenanya, anggota kepolisian tidak dibenarkan memberikan penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada masyarakat;
- Presiden dan DPR membentuk lembaga independen pengawas Polri yang bebas dari kepentingan dan campur tangan kekuasaan kekuasaan. Lembaga pengawas eksternal Polri yang ada saat ini, yakni Kompolnas tidak efektif dan sangat rentan terkooptasi kekuasaan. Sebagai contoh, Kompolnas diketuai oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta berdasarkan PP 11/2017, segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan kerja-kerja Kompolnas dibebankan kepada anggaran Kemenko Polhukam.
Selengkapnya Rapor Merah Kepolisian RI, Kewenangan Tanpa Pengawasan: Polisi Konsisten jadi aktor Pelanggar HAM Unduh
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui donasi.bantuanhukum.or.id, setiap donasi sangat berarti.