Siaran pers YLBHI dan 17 LBH Kantor dalam perayaan Hari Perempuan Internasional 2022
Hari perempuan Internasional atau yang lebih dikenal dengan akronim IWD (International Women’s Day) diperingati oleh seluruh perempuan di belahan dunia setiap tanggal 8 maret. Hari ini juga dimaknai sebagai sebuah momentum untuk menuntut adanya perubahan, kesamaan dan keadilan bagi perempuan. Dalam momen ini, YLBHI dan 17 Kantor LBH di 17 Provinsi mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangan terhadap ruang hidup perempuan.
YLBHI dan 17 LBH kantor selama ini selalu mencoba untuk konsisten dalam memberikan bantuan hukum bagi perempuan korban ketidakadilan, diskriminasi maupun pelanggaran HAM lainnya. Upaya ini adalah salah satu aksi nyata untuk membantu perempuan-perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama, baik dari kacamata hukum, sosial, budaya, ekonomi maupun politik.
Selama mengadvokasi banyak kasus yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia, kami melihat bahwa perempuan selalu menjadi aktor yang paling merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini juga terjadi, akibat adanya ketimpangan pengetahuan, derajat sosial, minimnya akses, budaya patriarki dan juga opresi Negara.
Pada banyak kasus, ketidakadilan yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi karena Negara lalai, tidak hadir, membiarkan bahkan menjadi pelaku utama dalam praktek kekerasan yang dialami perempuan. Terlebih lagi, Negara yang saat ini dikuasai para oligarki kemudian menjadi rekan pengusaha dan perusahaan yang banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan. Mereka berwujud dalam kebijakan yang timpang seperti UU Cipta Kerja dan UU tentang Penanggulangan Bencana, juga UU yang tidak kunjung disahkan seperti RUU TPKS dan RUU PPRT. Secara rinci, kondisi perempuan yang ditekan oleh Negara kami jelaskan dalam bagian dibawah ini:
- Perempuan dalam Konflik agraria
Kekerasan terhadap perempuan dalam konflik-konflik agraria dan lingkungan belum dilihat sebagai persoalan yang krusial. Suara perempuan masih tersubordinasi dalam setiap proses pembangunan, padahal perempuan -khususnya perempuan adat- memiliki potensi yang besar dalam menjaga serta melindungi keberlangsungan ekosistem alam. Perempuan juga mengalami dampak yang berlipat sebagai akibat terjadinya konflik dengan aparat saat mempertahankan hak atas tanah serta lingkungannya. Sebagaimana konflik yang terjadi di Desa Wadas pada 23 April 2021 dan 8 Februari yang menimbulkan trauma mendalam bagi perempuan Desa Wadas. Belum selesai dengan traumanya sendiri, perempuan harus tetap menjadi pihak yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Belum lagi dampak ekonomi yang terjadi akibat kerusakan lingkungan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan perempuan.
Perempuan di Desa Wadas dihadapkan pada situasi dimana mereka ditindas secara fisik, maupun psikis. Ruang geraknya dibatasi hanya karena mereka perempuan, seolah-olah mempertahankan alam dan lingkungannya bukanlah tugas mereka. Padahal ada keterkaitan antara perempuan dan alam, seperti mereka yg lebih membutuhkan air untuk kebutuhan pangan, merawat anak dan mengurus tanaman serta hewan. Perempuan wadas bekerja setiap harinya membuat anyaman besek yg bahan utamanya diambil dari bambu di hutan. Tentu saja jika terjadi konflik pengambilan lahan yang akan dilakukan pemerintah, perempuan wadas akan selalu berdiri paling depan menentang. Karena bagi mereka tanah yang ditinggalkan leluhur tersebut merupakan identitas mereka, yang harus dirawat dan dijaga hingga kelak akan diwariskan kembali ke anak cucu.
Apa yang terjadi di Wadas juga terjadi di beberapa daerah. Perempuan yang berada dalam pusaran konflik agraria merasakan dampak yang sangat besar. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, tindakan penggusuran yang dilakukan PTPN II di Desa Helvetia Kabupaten Deli Serdang kemudian mempunyai banyak korban perempuan yang kekurangan akses atas kesehatan dan tempat tinggal.
Tidak hanya dalam konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan, kasus penggusuran paksa di Tamansari, Bandung juga memberikan dampak besar pada perempuan. Dalam catatan LBH Bandung penggusuran paksa yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun sendiri telah mengusir populasi miskin, mencerabut relasi sosial, merubah ruang hidup dan mendesak perempuan terserap dalam industri hiburan dan jasa. Singkat kata feminisasi kerja atau memproletarkan perempuan berasal dari praktik penggusuran paksa
- Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
LBH Palembang mencatat bahwa terjadinya alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan skala besar dalam bentuk HTI, perkebunan dan pertambangan kemudian menyebabkan munculnya berbagai dampak negatif dan mempengaruhi situasi sosial, ekonomi, budaya dan politik dan ini sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Perempuan seringkali menghadapi diskriminasi dalam birokrasi hukum formal maupun hukum adat karena budaya patriarki yang masih sangat kuat berkembang di Indonesia. Perkembangan globalisasi, degradasi lahan dan deforestasi juga akan berdampak buruk terhadap perempuan yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber kehidupan, contohnya dapat terlihat dengan kehadiran perkebunan skala besar yang telah menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lahan. Situasi ini mengakibatkan banyak perempuan mengalami ketidakadilan, ketergantungan ekonomi dan terpinggirkan.
Kondisi perempuan yang semakin marjinal kala perempuan tidak mendapatkan pengetahuan atau informasi terkait dengan situasi lahan yang terjadi di wilayahnya, mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap semua keputusan yang diambil oleh kelompok laki-laki maupun pemerintah desa. Karenanya perempuan seringkali tidak dapat menyampaikan persoalan mereka terkait hak atas tanah dan pengelolaannya. Karena konstruksi yang berkembang itu, perempuan seringkali dilupakan dan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah keluarga, masyarakat, negara (baik di tingkat komunitas, tingkat daerah/pusat) yang merupakan salah satu ruang untuk membahas perencanaan, pemanfaatan, monitoring dan evaluasi dalam pembangunan.
- Perempuan dalam Jerat Pinjaman Online
Sepanjang tahun 2021, LBH Jakarta menerima 252 pengaduan kasus pinjaman online dengan 278 pencari keadilan.[1] Sebagian dari pengguna jasa pinjaman online tersebut adalah perempuan. Tidak sedikit dari mereka mengalami kekerasan berbasis gender online ketika proses penagihan. Berbagai bentuk KBGO dihadapi oleh perempuan korban seperti penyebaran data pribadi termasuk foto dan/atau video milik korban, pengancaman, pelecehan verbal, dan sebagainya. Tindakan-tindakan tersebut mengakibatkan dampak sosial, ekonomi dan psikologis yang tinggi bagi korban. Korban mengalami trauma, kehilangan pekerjaan, mendapat stereotip buruk, perceraian hingga kehilangan nyawa (bunuh diri).
Persoalan ini sebenarnya berakar dari rentannya kedudukan perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang diposisikan subordinat, dibebankan untuk mengurus urusan domestik dan merawat anak. Jika salah satu tugas domestik tidak memenuhi standar kepala keluarga, perempuan kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pada saat kondisi ekonomi memburuk seperti pandemi, pada akhirnya perempuan mengambil risiko dengan terlibat pinjaman online demi pemenuhan kebutuhan domestik, perawatan dan pendidikan anak.
- Perempuan dalam Situasi Bencana
Saat ini, Perempuan-perempuan di pasaman, Sumatera Barat mengungsi menyelamatkan diri dari bencana alam yang merenggut banyak rumah dan pemukiman warga. Beberapa hari sebelum bencana terjadi, mereka yang sedang memperjuangkan tanah ulayat mereka dari perusahaan yang menanam sawit di atasnya mencoba mengambil alih tanah tersebut dengan cara menanaminya dengan pohon pisang. Namun perusahaan mencabut tanaman tersebut. Saat ini, banjir melanda Pasaman karena alam yang dirusak perusahaan.
Berdasarkan data dari Pos Pengaduan Banjir dan CMS (Case Management System) LBH Jakarta tahun 2020-2021, tercatat 37 pengaduan terkait banjir di wilayah Jabodetabek. Dari pengaduan tersebut, sebagian korban adalah kelompok perempuan. Peran-peran domestik menuntut perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Ketika banjir tiba, perempuan menjadi kelompok pertama yang harus menghadapinya. Sementara di ruang publik, kelompok perempuan dipinggirkan, sulit mendapat akses informasi dan terlibat dalam advokasi kebencanaan. Belum lagi beban ganda yang diemban perempuan, hal ini menambah deret ketidakadilan. Kemudian potensi kekerasan yang dihadapi selama masa darurat bencana, terutama di pengungsian. Selain itu, perempuan juga menghadapi dampak khusus seperti menurunnya kesehatan seksual dan reproduksi akibat minimnya air bersih.[2]
LBH Jakarta mencatat berbagai kelemahan dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dari sisi perspektif gender. Pertama, prinsip keadilan dan kesetaraan gender tidak masuk sebagai asas dan prinsip penanggulangan bencana (lihat Pasal 3 ayat (1)). Kedua, tidak ada ketentuan yang mewajibkan perincian jumlah korban berdasarkan identitas gender dan usia untuk menjamin pemenuhan kebutuhan perempuan dan kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual (lihat Pasal 7 ayat (2)). Ketiga, tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi kelompok perempuan dan LGBTI+. Keempat, perempuan tidak masuk sebagai kelompok prioritas dalam upaya penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan dan psikososial.[3] Persoalan tersebut juga tidak jauh berbeda dengan PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Selain itu, LBH Jakarta juga mengkritisi belasan isu dalam RUU Penanggulangan Bencana yang masih perlu pembahasan lanjutan oleh Pemerintah dan DPR. Khusus untuk kelompok perempuan, negara harus menjamin: 1) memasukkan asas keadilan gender dalam asas-asas penanggulangan bencana sebagai suatu landasan; 2) pelibatan kelompok perempuan dalam tiap tahap penanggulangan bencana. Pelibatan dimaksud juga harus mendorong dan memperkuat posisi perempuan berdasarkan perspektif dan pengalamannya; 3) kesediaan dan aksesibilitas kebutuhan khusus perempuan terdampak bencana; 4) menjamin keamanan perempuan dari kekerasan selama bencana sekaligus memastikan skema penanganan hingga pemulihannya; dan 5) akses pelayanan kesehatan fisik dan mental yang memadai.[4]
- Perempuan dan Kekerasan Seksual
Setidaknya, LBH Jakarta menerima 35 pengaduan kasus kekerasan seksual pada tahun 2021. Adapun bentuk-bentuknya seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender online, eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.[5] Kasus-kasus tersebut masih menemui hambatan yang serupa dari tahun-tahun sebelumnya, yakni proses hukum yang berlarut-larut (undue delay), pembuktian, tidak adanya pasal yang mengatur kejahatan seksual tertentu, intimidasi dari pelaku, kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat korban, bahkan perspektif aparat penegak hukum yang cenderung menyalahkan korban dan tidak adanya perlindungan yang komprehensif bagi korban.
Tidak hanya LBH Jakarta, beberapa daerah juga mendapatkan pengaduan terkait kasus kekerasan seksual. LBH Medan menangani 4 kasus yang salah satunya adalah kasus pemerkosaan seorang anak berusia 14 tahun yang dilakukan oleh ayah kandungnya. LBH Yogyakarta menangani 11 kasus dengan kasus KBGO sebagai kasus mayoritas dan juga menghadapi adanya pelaporan terhadap 2 orang Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) LBH Yogyakarta yang mendampingi 30 korban kekerasan seksual dan telah mendapatkan kuasa penuh dari para korban. LBH Semarang mendapatkan 19 pengaduan dengan dominasi kasus kekerasan seksual di dunia maya dan di institusi pendidikan
LBH Makassar juga menangani kasus KS yang salah satunya adalah kasus yang ramai diperbincangkan melalui tagar #percumalaporpolisi di media sosial. 3 anak di Luwu Timur jadi sorotan karena penyelidikannya dihentikan pada 2019. Berbagai upaya yang dilakukan untuk membuka kasus tersebut kandas hingga kasusnya ramai di pemberitaan lalu penyelidikan baru dibuka kembali oleh polisi. Kasus ini menggambarkan selama ini masih minim keseriusan polisi untuk melakukan penegakan hukum kasus kekerasan seksual, sebab upaya yang dilakukan sebelumnya untuk membuka kasus telah ditempuh sejak level Polda hingga Mabes Polri. Selain itu, ada juga kasus dimana Polrestabes Makassar memfasilitasi pencabutan laporan polisi di 2 (dua) kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas—yang diklaim sebagai penerapan Restorative Justice. Dalam aturan polisi sendiri praktik ini tidak dapat dibenarkan. Misalnya pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, salah satu syarat disebutkan untuk menerapkan RJ adalah perbuatan pelaku tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat. Apalagi jika merujuk ketentuan UU Perlindungan Anak dan KUHAP. Selain 2 kasus ini, LBH Makassar juga mencatat beberapa kasus yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap perempuan disabilitas dan anak
Berbagai persoalan di atas terjadi akibat belum adanya pengaturan dan perlindungan yang komprehensif bagi korban dalam tataran undang-undang. Hampir 1 (satu) dasawarsa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual parkir di DPR RI. Tampaknya, negara belum benar-benar menganggap serius isu ini. Padahal jumlah kasus yang naik ke permukaan bukanlah jumlah sebenarnya, mengingat kasus-kasus ini merupakan fenomena gunung es. Masih banyak sekali kasus-kasus yang tidak dilaporkan lantaran tidak adanya jaminan perlindungan bagi korban dan tidak adanya akses bantuan hukum dan psikososial yang memadai. Tahun 2021, nomenklatur RUU diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Terhadap draf 30 Agustus 2021, LBH Jakarta telah menyampaikan 16 catatan penting terkait draf tersebut.[6]
- Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Sejak Pandemi COVID-19, kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) meningkat pesat. Saat ini, LBH Jakarta menangani 6 (enam) kasus. Para korban adalah istri dan anak, sedangkan pelaku adalah suami dan ayah kandung. Beberapa kasus KDRT yang terjadi beririsan dengan kasus kekerasan seksual seperti pelecehan, pemerkosaan dan pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).[7] Kasus-kasus KDRT ini membuktikan bahwa kultur dalam masyarakat masih belum menempatkan perempuan dalam kedudukan yang setara. Perempuan masih diposisikan subordinatif, seolah pantas mengalami kekerasan. Padahal seharusnya, tidak ada satupun manusia di muka bumi yang boleh mengalami kekerasan. Merujuk pada prinsip Hak Asasi Manusia yakni non diskriminasi dan universal.
Meski sebenarnya tugas pembuktian adalah tanggung jawab aparat penegak hukum, namun di lapangan LBH Jakarta kerap menemui pembebanan pembuktian justru diserahkan kepada korban. Sementara korban memiliki keterbatasan untuk menghadirkan saksi dan alat bukti lainnya. Kesulitan tersebut kian berlipat ketika status perkawinan korban dianggap tidak sah secara hukum (perkawinan agama atau adat). Aparat enggan menggunakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan malah menggunakan pasal penganiayaan dalam KUHP. Ketidaktepatan dasar hukum ini berdampak pada terlanggarnya hak-hak korban, mengingat hak-hak khusus tersebut hanya diatur dalam UU PKDRT.
- Perempuan dan Lingkungan
LBH Makassar melihat adanya dampak pada perempuan dalam isu lingkungan, salah satunya kasus tambang pasir di Pulau Kodingareng. Perempuan Nelayan dan Anak juga sebagai pihak yang paling terdampak dalam hal perekonomian, psikologis, pendidikan anak, seksualitas dan kesehatan reproduksi, hingga rentan menjadi korban KDRT. Laut merupakan sumber kehidupan Nelayan bisa dikatakan Laut merupakan piring makan mereka. Semenjak masuknya tambang pasir PT. Boskalis, para Nelayan sulit mencari ikan bahkan Nelayan harus mencari ikan sampai ke tengah laut dan menghadapi ombak yang kencang sampai beberapa perahu nelayan tenggelam hingga rusak.
Dampak lainnya pada pendidikan anak, karena sulitnya mendapatkan ikan, Nelayan tidak punya pendapatan untuk menyekolahkan anaknya, bahkan untuk membeli paket data, perempuan nelayan harus meminjam kepada juragan di pulau kodingareng. Sama halnya dengan sandang dan pangan Nelayan, mereka harus meminjam ke Juragan atau meminjam ke warung-warung tetangga. Adapun dampak lainnya terhadap perempuan nelayan, mereka rentan mengalami KDRT karena faktor perekonomian yang menyebabkan terjadinya penelantaran ekonomi hingga kekerasan psikis.
- Perempuan Buruh, Perempuan Buruh Migran, dan Pekerja Rumah Tangga
Dua puluh satu tahun pasca disahkannya Undang-undang kebebasan berserikat, Pemberangusan serikat buruh masih menjadi masalah yang ditemukan dalam hubungan industrial di Jawa Barat. Pemberangusan serikat buruh yang tercatat oleh LBH Bandung adalah serangan CV sandang sari terhadap serikat buruh militan sebumi.
Di Jawa Barat, setidaknya terdapat 1.646 perusahaan yang memiliki modal asing, 363 diantaranya ditanam di industri textile, pakaian jadi dan pengelolaan alas kaki. Tiga Industri mempekerjakan 788.464 atau 44% Dari 1.790.285 total tenaga produksi di jawa barat. Dari 788.464 orang bekerja di 3 industri tersebut 521.479 atau 66% diantaranya adalah perempuan.
Serikat buruh bagi buruh perempuan bukan hanya dimaknai sebagai tempat mengeluh manakala praktek hubungan industrial yang tidak adil menimpa mereka. Melampaui itu serikat buruh dimaksudkan untuk menjadi ruang aman bagi buruh perempuan dan juga memiliki fungsi sosial, ekonomi dan pendidikan yang membebaskan buruh perempuan dari dominasi, subordinasi dan kekerasan baik ditempat kerja maupun di dalam rumah. Sehingga serangan terhadap serikat buruh tidak boleh dikategorikan sebagai praktik hubungan industrial yang tidak adil saja. Serangan terhadap serikat buruh melalui berbagai metode adalah upaya opresi terhadap ruang hidup buruh perempuan.
LBH Semarang juga menyoroti terkait adanya kekerasan seksual di lingkungan perusahaan dan pabrik yang banyak terjadi tetapi minim pengaduan dan pemberitaan, Buruh perempuan banyak yang memilih diam karena banyak pertimbangan khususnya kebutuhan ekonomi.
- Perempuan Buruh Migran
Jawa Barat masih menjadi penyuplai pekerja migran terbanyak keluar negeri, termasuk ke Negara di Timur Tengah. Pasalnya Indonesia masih melakukan moratorium terhadap seluruh negara di timur tengah artinya Indonesia tidak mengizinkan pekerja migran , baik perempuan maupun laki-laki untuk berangkat kesana.Karena hal ini, kami kemudian menemukan adanya penyelundupan perempuan buruh migran yang dilakukan oleh perekrut lapangan dengan modus penggunaan visa kunjungan. Kondisi yang dihadapi masih sama dengan jalur migrasi menuju timur tengah dibuka untuk pertama kalinya. Overstay, dokumen ditahan majikan, hak-hak normatif perburuhan tidak dibayar, penyekapan, kekerasan seksual dan selalu disalahkan, diceramahi dan ditelantarkan oleh petugas KBRI ketika meminta pertolongan untuk dievakuasi ataupun di repatriasi ke daerah asal.
- Perempuan dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
Pekerja Rumah Tangga (PRT) kerap mendapatkan kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga perdagangan manusia. Sementara, mengenai pemenuhan hak-hak normatifnya sebagai pekerja juga tidak dijamin oleh negara seperti upah yang layak, jaminan sosial, jam kerja yang layak, dll. Persoalan ini berakar pada tidak adanya substansi hukum yang mengatur dan melindungi hak-hak PRT. Sementara RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) sampai saat ini belum juga masuk Prolegnas Prioritas DPR RI padahal sudah diajukan sejak 18 tahun silam. Berdasarkan Survei ILO di tahun 2015, mayoritas Pekerja Rumah Tangga adalah perempuan. Jumlahnya sebanyak 4,2 juta atau 84% dari jumlah keseluruhan PRT.[8] Lalu diperkirakan pada tahun 2021, jumlah Pekerja Rumah Tangga meningkat sekitar 5 Juta. PRT perempuan memiliki kerentanan yang berkali lipat, mengingat secara kultural, pekerjaan-pekerjaan domestik kerap dilekatkan sebagai urusan perempuan. Alasan tersebutlah yang mengakibatkan perempuan PRT kerap menghadapi ketidakadilan seperti kekerasan dan ketimpangan upah.
- Perempuan Masyarakat Adat
Masyarakat adat yang memiliki tata kelola sumber daya alam yang sudah diperoleh dari leluhurnya dan tinggal pada tanah leluhurnya secara turun-temurun kerap kali menghadapi konflik kepentingan atas lahan mereka. Sayangnya, Negara lebih berpihak kepada pemilik modal untuk melebarkan bisnisnya di tanah hak ulayat masyarakat adat dan bahkan merebut lahan yang sudah ditanami dan dikuasai masyarakat adat. Seperti yang terjadi pada perempuan masyarakat adat Sakai pada tahun 2021 lalu, mereka harus mengalami penganiayaan oleh security dari perusahaan PT Arara Abadi. Masyarakat pada saat itu sedang mempertahankan tanah leluhurnya yang tersebar di lahan seluas 205 Ha. Masyarakat adat tidak ingin perusahaan melakukan kegiatan lagi di 205 Ha ini karena rusaknya makam leluhur mereka akibat kegiatan penanaman dan pemanenan eucalyptus yang dilakukan perusahaan, rusaknya sungai dan mata air akibat penggunaan pestisida dan ranting-ranting eucalyptus yang mencemari dan membuat hitamnya air sungai yang digunakan masyarakat sakai sebagai air konsumsi, mandi dan mata pencaharian mereka. dan lahan mereka yang sudah ditanami dengan tanaman ubi, cabai, jagung dan tanaman pangan lainnya. Penganiayaan itu terjadi ketika masyarakat adat sakai menghalangi orang PT Arara Abadi untuk melakukan perubahan pondok dan mencabuti tanaman yang sudah ditanami masyarakat adat sakai, dusun Suluk Bongkal.
Selain di Pekanbaru, LBH Palangkaraya juga melihat bahwa kekerasan Negara terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan haknya juga kemudian berpengaruh terhadap istri-istri dari pejuang tersebut. Seperti yang terjadi terhadap kepala desa kinipan atas perjuangannya pengakuan wilayah adat harus terpisah dengan keluarganya karena harus menjalani persidangan sebagai terdakwa, tidak hanya kepala desa kinipan yang harus berjuang untuk mencari keadilan, namun istri dari kepala desa kinipan juga harus berjuang untuk memenuhi tanggung jawab terhadap 3 orang anaknya yang mana 2 orang anaknya sedang menempuh pendidikan tingkat SMP dan 1 orang lagi masih balita, istri kades kinipan harus melaksanakan perannya sebagai ibu dan ayah untuk anak-anak nya dan juga harus berjuang juga terhadap suaminya
- Kelompok minoritas (Lesbian, Transgender, +)
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas LGBT masih menjadi isu yang belum terselesaikan hingga hari ini. Minimnya akses terhadap berbagai layanan publik salah satunya disebabkan belum terpenuhinya hak dasar berupa hak atas identitas. Hak atas identitas merupakan landasan penting bagi pemenuhan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, serta hak untuk bekerja dan memperoleh kehidupan yang layak. Bahkan semasa pandemi, mereka dihadapkan pada persoalan kesulitan mendapatkan vaksinasi dan bantuan sosial COVID-19 dikarenakan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Pada tahun 2021, 15 transpuan di Provinsi DI Yogyakarta berhasil mendapatkan KTP yang telah mereka perjuangkan sejak tahun 2014. Hal ini merupakan satu capaian penting untuk membuka akses dan peluang bagi kelompok minoritas yang belum mendapatkan tempat yang setara di masyarakat. Namun demikian, persoalan diskriminasi terhadap kelompok LGBT tidak hanya dihadapi semasa hidup saja. Selama pandemi, beberapa transpuan lansia yang meninggal bahkan mengalami kendala dalam proses pemakaman dikarenakan tidak ada keluarga yang mau menerima, sementara masyarakat sekitar juga tidak menerima jasadnya untuk dikuburkan di pemakaman setempat.
Peraturan Daerah Prov. DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan Pengemis juga masih menjadi hambatan bagi kelompok minoritas. Perda tersebut memandang gelandangan dan pengemis sebagai tindakan pidana, sementara kondisi yang mereka alami merupakan dampak dari kemiskinan yang terjadi akibat adanya ketimpangan struktural. Padahal sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 34 dinyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” serta Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
- Perempuan Disabilitas Rentan Pelecehan Seksual
Pada tahun 2019, LBH Manado menerima pengaduan dari masyarakat terkait kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dengan kondisi keterbelakangan mental (disabilitas), hal tersebut menunjukan bahwa masih kurangnya jaminan dan perlindungan dari Negara dan Pemerintah kepada perempuan belum lagi korban dengan kondisi disabilitas.
Selain LBH Manado, beberapa tahun terakhir Aceh juga terus dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan dan anak, tidak terkecuali perempuan disabilitas, dari beberapa kasus yang terjadi di Aceh, beberapa diantaranya yang menjadi korban adalah perempuan disabilitas.
Setidaknya sepanjang tahun 2019-2021 LBH Banda Aceh mendampingi 18 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan dan anak, itu belum termasuk kasus kekerasan jenis lain yang juga dialami oleh perempuan dan anak. Di tahun 2022 ini, LBH Banda Aceh juga sedang mendampingi kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan disabilitas. awalnya kasus ini sempat bertele-tele dan tidak ada kejelasan, karena tidak adanya keseriusan polisi dalam menangani perkara ini, sehingga menyebabkan keluarga korban sempat berputus asa dan diambang rasa takut bersebab polisi belum menangkap pelaku.
Tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, tidak terlepas dari kelemahan hukum serta tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus yang memberikan peluang pelaku untuk bebas dari jeratan hukum. Sebagaimana diketahui, kebanyakan kasus kekerasan seksual di Aceh proses hukumnya menggunakan Qanun Jinayat. Sementara dalam aspek penegakan hukum sistem pembuktian dalam qanun jinayat sangatlah sempit, untuk mencukupi dua alat bukti, korban harus menghadirkan saksi yang melihat langsung kejadian kekerasan seksual itu dilakukan, polisi sering kali dalam pembuktian dibebankan kepada korban. Di sisi lain, jenis hukuman dalam hukum Jinayat bersifat pilihan yang memungkinkan pelaku hanya dihukum cambuk. Oleh karena demikian, penerapan Qanun Jinayat dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan hanya memberikan keuntungan bagi pelaku. Jika negara terus membiarkan praktik ini, maka setiap perempuan dan anak di Aceh terancam menjadi korban kekerasan seksual, tidak terkecuali perempuan disabilitas.
Dua puluh delapan tahun pasca Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW, dan hari ini di era digital (revolusi industri 4.0) jumlah kasus pelanggaran hak, dan kejahatan terhadap perempuan semakin meningkat, juga kian berkembang melalui teknologi (online), dan masih saja tidak tertangani dengan baik oleh negara. Seluruh data dan kasus yang dipaparkan oleh 17 LBH Kantor di atas hanya merupakan puncak gunung es.
Kondisi para puan di Indonesia, perempuan adat, perempuan disabilitas, perempuan minoritas agama/keyakinan, ibu rumah tangga, secara khusus pekerja rumah tangga, buruh perempuan, buruh tani perempuan, buruh nelayan perempuan, buruh seni perempuan, buruh informal perempuan, baik di ruang publik, domestik, maupun dalam kondisi khusus kebencanaan (pandemi) masih jauh dari kata adil, setara, dan sejahtera.
Seluruh bentuk subordinasi, kekerasan, stereotyping, penindasan, perbudakan, marjinalisasi dan ketidakadilan yang dialami perempuan adalah bentuk bias negara terhadap perempuan. Oleh karenanya pada peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2022 ini, kami menyerukan: “Hentikan Kesewenang-wenangan Negara terhadap Ruang Hidup Perempuan, Hentikan BIAS NEGARA yang Menjadikan Perempuan Warga Negara Kelas 2! Hormati Hak-hak Perempuan melalui:
Tuntutan:
- Pemerintah dan DPR RI:
- Menghentikan segala bentuk subordinasi, kekerasan, kekerasan seksual, diskriminasi, marginalisasi, stereotyping, penindasan, perbudakan, maupun segala bentuk ketidakadilan lainnya yang dialami perempuan di ruang domestik, ruang publik, serta dalam kondisi kebencanaan (pandemi).
- Menjamin perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan promosi keadilan dan kesetaraan gender, serta hak-hak perempuan dalam seluruh proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Kami juga mendesak Pemerintah dan DPR RI melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Penanggulangan Bencana dengan terbuka, serta melibatkan penuh kelompok korban, penyintas, perempuan, pendamping, organisasi bantuan hukum, akademisi dan jaringan masyarakat sipil lainnya.
- Pemerintah dan Pemerintah Daerah menghentikan segala bentuk perampasan tanah, air, sumber daya alam, dan menghentikan segala bentuk perampasan ruang serta sumber hidup Perempuan dan Warga negara dengan dalih apapun termasuk Pembangunan dan Investasi.
- Aparat Penegak Hukum, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung; Institusi Peradilan Mahkamah Agung:
- menghentikan seluruh kasus kriminalisasi terhadap perempuan, dan Perempuan Pembela HAM;
- memastikan terselenggaranya proses penegakan hukum, dan peradilan yang berkeadilan, berperspektif korban, serta adil gender.
Jakarta, 8 Maret 2022 YLBHI – LBH Papua – LBH Manado – LBH Makassar – LBH Palangkaraya – LBH Samarinda – LBH Bali – LBH Surabaya – LBH Yogyakarta- LBH Semarang – LBH Bandung – LBH Jakarta – LBH Lampung – LBH Padang – LBH Palembang – LBH Pekanbaru – LBH Medan – LBH Banda Aceh
[1] LBH Jakarta, Catatan Akhir Tahun 2021, Walau Dibungkam: Perjalanan Melawan Oligarki di Tengah Pandemi, (Jakarta: LBH Jakarta, 2021), hlm. 57.
[2] Citra Referandum dan Rahmi Amelia, Sengkarut Penanganan Banjir: Catatan Kritis terhadap RUU Penanggulangan Bencana, dapat diakses dari https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2021/12/catatankritisruupenanggulanganbencana_untukdesainlay.pdf
[3] Citra Referandum, dkk, Tak Pupus Mengharap Pelangi: Pengalaman Perempuan Menghadapi Penggusuran Paksa dan Banjir, (Jakarta: LBH Jakarta, 2020), hlm. 36-37.
[4] Citra Referandum dan Rahmi Amelia, Op. Cit.
[5] Citra Referandum, dkk, Tak Pupus Mengharap Pelangi, Op. Cit., hlm. 64.
[6] LBH Jakarta, 16 Catatan Penting LBH Jakarta tentang RUU PKS Versi Baleg DPR RI, dapat diakses dari https://bantuanhukum.or.id/16-catatan-penting-lbh-jakarta-tentang-ruu-pks-versi-baleg-dpr-ri/
[7] LBH Jakarta, Catatan Akhir Tahun 2021, Op. Cit. hlm. 65.
[8] https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/miris-5-juta-prt-indonesia-tidak-dapat-pengakuan-negara/1