(Jakarta, 14 Februari 2022) Warga Wadas yang tergabung dalam Paguyuban Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA) melawan Proyek Penambangan Andesit yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO). Dimana tambang andesit yang diperoleh dari Desa Wadas akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Terakhir kita mendengar bahwa jatuhnya korban meninggal dunia dari Warga Kecamatan Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulteng yang yang menolak adanya aktivitas pertambangan oleh PT. Trio Kencana.
Konflik-konflik agraria yang terjadi di atas dilatarbelakangi oleh struktur ekonomi-politik dengan dalih pembangunan dan peningkatan taraf ekonomi bagi masyarakat. Intensifnya pembangunan dengan melakukan zonasi seperti kawasan strategis nasional yang mengharuskan adanya konektivitas dan infrastruktur pendukung mengakibatkan masyarakat terdekat dengan proyek tereksklusi dengan sumber daya alam dan penghidupannya. Dalam dua pola zonasi wilayah strategis dan proyek strategis nasional terjadi dua proses penguasaan atau pencaplokan yang saling berkaitan. Pertama, terjadi konsolidasi penguasaan atau kepemilikan atas wilayah dan atas sumber daya yang terkandung di dalamnya oleh kelas pengusaha dan elit politik. Fenomena ini merupakan akumulasi melalui pencaplokan (accumulation by dispossession).
“Kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.” Mohammad Hatta dalam Penjabaran Pasal 33 UUD NRI 1945.
PSN sebagai kebijakan unggulan Joko Widodo sejak 2016 juga sangat minim ruang-ruang partisipatif warga dengan ditambah adanya UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba yang mengatur ancaman pidana bagi warga yang merintangi aktivitas pertambangan, padahal yang akan merasakan dampaknya langsung adalah masyarakat sekitar rencana proyek dan tambang. Dengan minimnya kanal masyarakat untuk menentukan dan bersuara semakin membuat masyarakat yang menolak menjadi korban dalam ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi pemerintah dan oligarch.
Dalam kasus Wadas kita juga dapat melihat bagaimana pembatasan aktivitas Warga Wadas termasuk internet. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta serta LBH Pers Yogyakarta menduga ada unsur kesengajaan dalam perlambatan jaringan internet di Wadas. AJI Semarang juga menyatakan bahwa ada sweeping telepon genggam warga Wadas. Ditemukan juga aparat yang meminta teman-teman jurnalis untuk menghapus konten yang merekam aksi represif aparat. Selain itu juga, akun media sosial LBH Yogyakarta, dan Wadas Melawan sempat tidak dapat diakses ketika terus menyebarkan informasi terkait Wadas dan mengalami suspend. Aparat kepolisian juga menjadi aktor pemroduksi disinformasi, hal ini berasal dari akun media sosial Humas Polri yang mengatakan bahwa terdapat pengukuran tanah di dekat Masjid Krajan. Ditambah lagi dengan adanya pergeseran aktor konflik menjadi warga dengan warga, bukan antara warga yang menolak dengan pemerintah.
Pelibatan Aparat dan Penggunaan Kekuatan yang Berlebih
Penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat kepolisian pada beberapa kesempatan seperti penanganan demonstrasi maupun pengamanan pembukaan aktivitas tambang dan proyek pembangunan, menunjukkan kepolisian sebagai institusi yang terdampak dari reformasi semakin jauh dari prinsip pemolisian sipil dan demokratik.
Dari segi regulasi, masih adanya UU Prp No. 51 Tahun 1960 yang melegitimasi Pemerintah untuk melakukan penggusuran paksa tanpa melakukan musyawarah dan tanpa melalui putusan pengadilan. UU tersebut juga mengilhami lahirnya peraturan di tingkat daerah untuk menciptakan peluang serupa dalam hal penggusuran paksa, tidak memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan pelibatan aparat dalam proses penggusuran. Jika, melihat di DKI Jakarta terdapat Pergub 207 Tahun 2016 yang berisikan muatan demikian.
Jatuhnya korban meninggal dunia, harus ada pengusutan dan tindakan yang tegas terhadap pelaku pembunuhan dari Polres Parigi Moutong yang melakukan pembubaran aksi warga.
Pembatasan Akses Bantuan Hukum dan Potensi Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
Tidak luput pula ditangkapnya pendamping hukum warga dari LBH Yogyakarta oleh aparat kepolisian saat mendampingi warga untuk menolak pengukuran tanah guna pembukaan tambang andesit di Desa Wadas. Tindakan penangkapan terhadap pendamping warga juga merupakan bentuk perampasan hak warga untuk mendapatkan akses bantuan hukum dan mencederai profesi advokat sebagai aparat penegak hukum.
Bahwa tindakan kepolisian yang merintangi para pendamping warga telah mengganggu hak untuk memperoleh bantuan hukum yang bebas sebagai sebuah dimensi sosial bagi hak untuk memperoleh peradilan yang jujur bagi warga. Hak atas bantuan hukum merupakan kewajiban yang harus dipenuhi negara dan telah dijamin dalam konstitusi dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Dalam menghadapi pejuang lingkungan dan gelombang penolakan masyarakat atas perampasan tanah, korporasi dan aparat seringkali mengandalkan pendekatan manipulatif yang disebut Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Dalam hal ini, korporasi dan aparat melakukan kriminalisasi dengan ancaman hukum yang kerap kali tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperjuangkan, seperti yang dialami oleh Budi Pego. Tujuannya adalah mengintimidasi masyarakat dengan memanfaatkan proses pengadilan yang panjang sekaligus mengalihkan perhatian publik dari advokasi yang sedang berjalan.
Berdasarkan uraian di atas, LBH Jakarta mendesak :
1. Presiden Republik Indonesia untuk menghentikan segala aktivitas perampasan tanah atas nama pembangunan yang memisahkan masyarakat dengan sumber daya alamnya;
2. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk :
- menindak tegas anggotanya yang melakukan kekerasan, intimidasi hingga pembunuhan terhadap masyarakat penolak perampasan tanah;
- tidak melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat penolak perampasan tanah dan pejuang lingkungan;
- tidak menjadi aktor dalam melakukan disinformasi sehingga merugikan masyarakat penolak perampasan tanah;
- memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas yang bersinggungan dengan perampasan tanah;
3. Menteri Hukum dan HAM untuk menegur Kapolri agar tidak mengganggu bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Kepolisian;
5. Pemerintah Daerah untuk mencabut peraturan daerah/peraturan kepala daerah yang melegitimasi perampasan tanah tanpa proses peradilan dan pelibatan aparat dalam prosesnya.