Jakarta (29/11/2021), Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) yang tergabung dari berbagai elemen buruh, petani, mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil lainnya melakukan aksi demonstrasi untuk menyikapi kebijakan pemerintah yang menerbitkan beberapa regulasi terkait pengupahan yang berdampak luas terhadap nasib buruh dan masyarakat luas. Dalam aksi yang mengangkat tema “Indonesia Darurat Upah, Melawan atau Ditindas Selamanya”, tim Paralegal Jalanan yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAuD) turut mendampingi massa aksi dari awal persiapan hingga demonstrasi selesai.
Aksi diawali dengan orasi politik di depan Balai Kota Provinsi DKI Jakarta, massa menuntut Gubernur Anies Baswedan untuk mencabut Surat Keputusan tentang Penetapan UMP tahun 2022. Kemudian, aksi dilanjutkan dengan bergerak menuju arah Istana Negara yang bertujuan untuk menyampaikan tuntutan terhadap Presiden Joko Widodo. Namun, masa aksi tertahan oleh barikade aparat kepolisian di Patung Arjuna Wijaya, Jalan MH Thamrin. Adapun tuntutan yang dibawa oleh GEBRAK, yaitu : 1) Mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Keputusan Presiden tentang Upah Layak Nasional tahun 2022 dengan menaikkan 10-15% 2) Memberlakukan kembali upah sektoral bagi kaum buruh; 3) Memberlakukan kembali Peraturan Perundang-undangan yang telah dihapus dan atau diubah melalui Omnibus Law Cipta Kerja; 4) Mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis; 5) Mencabut Hak Guna Usaha perusahaan yang bermasalah; dan 6) Menyelesaikan konflik agraria struktural.
Massa aksi yang tertahan di Patung Arjuna Wijaya melakukan orasi politik disertai dengan pentas seni membacakan puisi dan menyanyikan lagu secara bersama. Aksi terus berlangsung damai hingga pukul 18.00 WIB. Selama aksi berjalan, pihak Istana Negara merespons dengan meminta enam perwakilan dari aliansi GEBRAK untuk melakukan audiensi dengan Kedeputian III dan IV Kantor Staf Presiden (KSP). Dalam audiensi tersebut, perwakilan massa aksi memberikan tawaran solusi agar Presiden Jokowi menandatangani draf atau rancangan Keputusan Presiden yang telah dibuat oleh aliansi GEBRAK. Setidaknya ada dua jawaban pemerintah dari hasil audiensi, Pertama, pihak pemerintah menyatakan bahwa mereka mengikuti Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan menafsirkan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya tetap berlaku selama dua tahun ke depan (selama dilakukan perbaikan). Kedua, pemerintah menyatakan akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai aspirasi dari kaum buruh tentang upah layak 2022, dan akan mengomunikasikan lebih lanjut kepada para buruh. Jawaban pemerintah tersebut, sangat mengecewakan karena tidak memberi kepastian atas tuntutan kaum buruh.
Tim Paralegal Jalanan yang mendampingi jalannya hak menyatakan pendapat di muka umum oleh kaum buruh, menyoroti adanya beberapa pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan aparat kepolisian antara lain :
Aparat kepolisian yang bertugas mengamankan massa aksi tidak memakai identitas seperti nama dan asal kesatuan, hal ini sangat berbahaya karena aksi-aksi protes di muka umum yang dilakukan masyarakat rentan sekali terjadi tindakan kekerasan, bagaimana nantinya aparat tidak dapat diidentifikasi dengan baik saat melakukan pelanggaran saat bertugas pada aksi protes masyarakat. Sehingga dapat menghambat proses advokasi (justice delayed) untuk mendapatkan pertanggungjawaban karena tidak diketahuinya pelaku pelanggaran. Hal ini terjadi karena adanya sistem tata kelola kepolisian yang belum berperspektif hak asasi manusia (minimnya peraturan polisi yang mengatur tugas kepolisian dengan menjaga profesionalisme dan standar hak asasi manusia), selain itu juga karena kultur saling melindungi dalam kesatuan (esprite de corps) dan pendidikan kepolisian yang sangat minim materi hak asasi manusia. Mengenai panduan standar HAM dan Praktik Kepolisian sudah dibuat oleh OHCHR memuat standar dan praktik hak asasi bagi aparat kepolisian.
Prinsip ini juga ditemukan dalam panduan dalam pelaksanaan tugas kepolisian dalam unjuk rasa sebagaimana terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pada bagian prinsip tentang akuntabilitas dan legalitas. Meskipun belum dirumuskan secara rinci.
Prinsip ke 5 dalam 10 Principles for the proper management of assemblies yang dikeluarkan Special Rapporteur on the rights to freedom of peaceful assembly and of association & Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions tahun 2016 disebutkan, “Force shall not be used unless strictly unavoidable, and if applied it must be done in accordance with int’l human rights law” salah satu implementasinya adalah ketiga mengamankan demonstrasi aparat penegak hukum harus memenuhi kriteria, “A clear and transparent command structure must be established to minimize the risk of violence or the use of force, and to ensure responsibility for unlawful acts or omissions by officers. Law enforcement officials must be clearly and individually identifiable, for example by displaying a nameplate or number.” Pada intinya seharusnya aparat kepolisian yang terlibat dalam pengamanan demonstrasi haruslah dapat diidentifikasi misalnya dengan adanya papan nama atau nomor induk anggota.
Pengambilan foto wajah massa aksi oleh aparat kepolisian tanpa izin, hal ini melanggar melanggar hak asasi manusia yaitu hak atas privasi yang dijamin dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI 1945, Artikel 12 Universal Declaration on Human Rights (UDHR) dan Arikel 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Muatan pasal-pasal tersebut secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi.
Sifat dari hak asasi manusia yang tidak terbagi, saling berkaitan dan bergantung satu sama lain (indivisible, interrelated and interdependent), hak atas privasi memiliki kaitan erat dengan hak atas kebebasan berbicara. Hak atas privasi dan hak atas kebebasan berbicara merupakan dua hal yang saling mendukung. Memberikan perlindungan terhadap hak atas privasi, berarti memberikan perlindungan pula terhadap hak atas kebebasan berbicara. Dalam masyarakat yang demokratis, penting untuk menjaga privasi dalam komunikasi di antara masyarakat, kekhawatiran akan adanya pantauan terhadap anggota masyarakat dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan ketidakbebasan dalam berpendapat. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan ide-ide konstruktif dalam kehidupan demokrasi tidak dapat disuarakan. Artinya, hak atas privasi menjamin perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi yang bersifat universal dan fundamental.
Perspektif aparat bahwa mahasiswa dan pelajar tidak boleh terlibat dalam aksi-aksi buruh atau sebaliknya (melihat pada beberapa aksi ke belakang), aparat kepolisian melakukan pemotretan terhadap wajah massa aksi dari mahasiswa dan pelajar. Melihat dari beberapa demonstrasi sebelumnya, hal ini dirasa berkaitan erat dengan kriminalisasi yang pernah terjadi oleh peserta aksi mahasiswa, pelajar dan buruh pada aksi May Day dan Hardiknas 2021 di mana sekitar 300 orang ditangkap dan 10 orang menjadi tersangka. Alasan aparat menyekat dan menangkap sewenang-wenang adalah tidak adanya kepentingan mahasiswa dan pelajar dalam mengikuti demonstrasi saat May Day begitu pun sebaliknya saat Hardiknas. Padahal isu perburuhan maupun pendidikan merupakan isu yang harus diperjuangkan secara kolektif.
*Tulisan ini adalah salah satu dari seri laporan pemantauan dan pendampingan Paralegal Jalanan Tim Advokasi untuk Demokrasi, disunting oleh LBH Jakarta.