Pasca pelantikan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrahman, sejumlah kebijakan dan/atau wacana kebijakan yang kontradiktif dengan agenda reformasi TNI mulai mengemuka ke publik. Persoalan ini menjadi ironi, sebab ketimbang melakukan sejumlah perbaikan internal dan program-program yang berkaitan dengan pertahanan negara, yang terjadi justru agenda-agenda yang memicu jalan mundur reformasi TNI.
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan, mencatat dua kebijakan dan/atau wacana kebijakan yang kontradiktif dengan agenda reformasi TNI di awal kepemimpinan Panglima dan KSAD baru ini.
Pertama, munculnya Surat Telegram (ST) Nomor ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021 yang ditandatangani oleh Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal Eko Margiyono atas nama Panglima TNI. Muatan dalam ST ini adalah mengenai proses hukum terhadap anggota TNI. Salah satunya disebutkan bahwa pemanggilan terhadap prajurit TNI dalam proses hukum harus melalui persetujuan dari komandan atau kepala satuan.
Kedua, pernyataan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang menyatakan,”Saya bilang, kalau ada informasi-informasi, saya akan berlakukan seperti zaman Pak Soeharto dulu. Para Babinsa itu harus tahu, jarum jatuh pun dia harus tahu” dan “Jadi kalau ada organisasi yang coba menganggu persatuan dan kesatuan, jangan banyak diskusi, jangan terlalu banyak berpikir tetapi lakukan”. Pernyataan tersebut berkaitan dengan perintah KSAD yang meminta seluruh prajurit peka terhadap informasi yang menyangkut perkembangan kelompok ekstrem kanan dan kiri yang menjurus melakukan tindakan radikalisme.
Terhadap dua persoalan di atas kami memandang:
1) Diterbitkannya ST Panglima tidak hanya bermasalah tetapi semakin menunjukkan adanya dominasi militer terhadap negara. Berbagai catatan menunjukkan keterlibatan/perluasan peran TNI di ranah sipil, misalnya; dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung yang dipimpin militer aktif, penempatan TNI aktif sebagai staf khusus di Kemenparekraf, perluasan peran TNI dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme di dalam negeri dan diterapkannya sistem peradilan militer bagi sipil dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Pada titik ini, ST Panglima yang mengatur proses pemanggilan anggota TNI harus melalui persetujuan atasan sejatinya tidak hanya mengatur internal anggota TNI, tetapi hal tersebut juga menuntut institusi penegak hukum di luar TNI untuk tunduk dan patuh terhadap ST Panglima tersebut.
2) Diterbitkannya ST tersebut semakin menjauhkan kita dari harapan/agenda revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. ST ini justru semakin menguatkan bahwa penegakan hukum terhadap prajurit militer berada pada domain yang berbeda dengan sipil, serta masih menyisakan persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas dan transparansinya dalam setiap proses penegakan hukum. Padahal, TAP MPR Nmor. VII Tahun 2000 telah memerintahkan anggota TNI tunduk pada sistem peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum.
3) ST Panglima juga semakin menunjukkan ketertutupan dan upaya perlindungan bagi anggota TNI yang melakukan tindak kejahatan (impunitas). Di tengah mandegnya reformasi peradilan militer, institusi TNI justeru melanjutkan ketertutupan tersebut dengan memberikan sejumlah “hambatan”. Sebab, ST ini menambah mekanisme pemeriksaan/pemanggilan terhadap seseorang, dalam hal ini prajurit TNI, untuk terlebih dahulu meminta izin dan melalui persetujuan dari komandan atau kepala satuan.
4) Pemanggilan Prajurit yang harus meminta Izin Komandan merupakan bentuk Pembangkangan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam KUHAP diatur secara eksplisit bahwa Pemanggilan hanya ditujukan kepada pihak yang bersangkutan dengan Perkara Dugaan Tindak Pidana dan Bukan Atasan dari subyek hukum yang dipanggil, sehinga jika surat pemanggilan tersebut dikirimkan atau harus mendapatkan izin dari Komandan maka Pemanggilan tersebut menjadi cacat formil atau tidak sah. Hal Ini justru mencerminkan ketiadaan komitmen dalam upaya mengatasi/mencegah terjadinya impunitas bagi prajurit TNI dan dapat menghalangi proses hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, serta manifestasi pelanggaran asas persamaan dimuka hukum (equality before the law);
5) Pelibatan TNI AD dalam mengatasi radikalisme menjadi tanda tanya terkait landasan hukumnya. Sebab, ihwal radikalisme secara eksplisit tidak termasuk dalam 14 kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 7 ayat (2) huruf b. Pelibatan ini pun juga berpotensi melahirkan pendekatan yang keliru, sebab pelibatan TNI dengan model pendekatannya justru berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Pendekatan keamanan membuka ruang represifitas aparat, karena akan lebih mengutamakan stabilitas dibandingkan upaya-upaya dialogis. Upaya mengatasi radikalisme, termasuk didalamnya intoleransi, harusnya tetap menjadi domain kerja dari lembaga-lembaga seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), serta aparat Kepolisian jika sudah berkaitan dengan tindak pidana.
Jakarta, 24 November 2021
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Imparsial, PBHI Nasional, Setara Institute, Centra Initiative, ELSAM, LBH Pers, ICW, LBHM, LBH Jakarta, KontraS, ICJR, PILNET Indonesia, HRWG, Walhi Eknas, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue