Rabu, 13 Oktober 2021, beredar video dengan durasi kurang lebih 45 detik, yang lagi-lagi menunjukkan aksi brutalitas seorang aparat kepolisian. Di video tersebut terlihat aparat kepolisian membanting seorang peserta aksi ke lantai trotoar hingga yang bersangkutan tergeletak dan mengalami kejang-kejang serta tidak sadarkan diri. Kejadian ini berlangsung di saat mahasiswa sedang melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Tangerang untuk menyampaikan aspirasi, salah satunya menuntut Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk segera menyelesaikan persoalan terkait dengan Peraturan Bupati Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pembatasan Jam Operasional Angkutan Tambang.
Koalisi mencatat setidaknya ada lima pelanggaran dan kejanggalan yang dilakukan polisi pada peristiwa ini:
Pertama, tindakan brutal aparat kepolisian tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, terlebih, hak atas kemerdekaan menyampaikan pendapat bagi peserta aksi dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Serta, melanggar hukum pidana yaitu kekerasan secara bersama-sama di muka umum yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, ada juga Perkap Nomor 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; Perkap Nomor 2/2006 tentang Pengendalian Massa; Perkap Nomor 2/2019 tentang Penindakan Huru-Hara yang menegaskan bahwa aparat kepolisian dalam melakukan tugas pengamanan unjuk rasa harus dilakukan secara profesional, dengan tetap menghargai dan melindungi HAM terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi pada setiap saat dan dalam keadaan apa pun.
Kedua, terkait video klarifikasi pihak Polres Tangerang bersama korban yang ikut beredar beberapa jam setelah video brutalitas aparat kepolisian tersebut ramai. Video klarifikasi dan keterangan tersebut bermasalah, sebab keterangan tersebut disampaikan tanpa didukung hasil pemeriksaan secara medis terhadap korban oleh ahlinya. Sehingga baik korban maupun pihak kepolisian tidak memiliki kredibilitas untuk menyampaikan jika kondisi yang bersangkutan baik-baik saja.
Selain itu, keterangan yang disampaikan korban dalam video klarifikasi kuat dapat diduga merupakan keterangan yang disampaikan dalam kondisi “di bawah tekanan” sebab adanya relasi kuasa yang timpang antara korban dan aparat kepolisian. Mengingat keterangan tersebut disampaikan oleh korban tanpa didampingi oleh penasihat hukum.
Ketiga, alasan pembubaran unjuk rasa yang tidak logis. Menurut pihak kepolisian, aksi unjuk rasa itu dianggap tidak berizin, sebab pelaksanaan aksi demonstrasi pada saat PPKM level 3, tidak diperkenankan dari aspek protokol kesehatan.
Hal ini merupakan kesalahan berpikir dari aparat penegak hukum, karena unjuk rasa merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi juga UU Nomor 39/1999 tentang HAM. Berdasarkan UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, diwajibkan adanya pemberitahuan, bukan izin dari kepolisian.
Keempat, terjadi penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa tersebut. Dianggap tidak berizin dan melanggar protokol kesehatan menjadi salah satu alasan aparat kepolisian untuk membubarkan unjuk rasa tersebut, serta menangkap 18 orang peserta aksi.
Kelima, ada upaya penjebakan atau framing yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi dengan melakukan pemaksaan tes urine. Berdasarkan Pasal 75 UU Narkotika, pelaksanaan tes urine dapat dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan.
Kasus brutalitas aparat kepolisian kepada peserta unjuk rasa Aksi di depan Kantor Bupati Tangerang ini, merupakan rentetan dan rangkaian pengulangan peristiwa yang pernah terjadi. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari praktik impunitas dan ketiadaan penegakan hukum yang tegas kepada aparat kepolisian yang melanggar. Sebagai pengingat, pada 2019 terdapat beberapa unjuk rasa yang akrab dengan brutalitas aparat kepolisian. Kerusuhan 21-22 Mei yang mengakibatkan 5 orang tewas (4 karena peluru, dan 1 karena hantaman benda tumpul).
Pada Aksi #ReformasiDikorupsi lalu, dalam melakukan pengamanan, aparat kepolisian melakukan kekerasan setidaknya kepada 88 orang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (2 orang menderita luka pada bagian kepala). Tim Advokasi untuk Demokrasi menerima 390 Pengaduan korban kekerasan aparat kepolisian yang antara lain 201 korban merupakan mahasiswa, 50 korban merupakan pelajar, 13 korban berasal dari karyawan, 3 aduan kekerasan berasa dari pedagang, 2 aduan pegawai lepas, dan 1 aduan dari pengemudi ojek daring.
Saat Demonstrasi Menolak Omnibus Law, bulan Agustus 2020 lalu, juga beredar puluhan video brutalitas anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap demonstran. Dari data pengaduan yang masuk ke Tim Advokasi Untuk Demokrasi, terdapat 187 orang dibawa ke Polda Metro Jaya. Berdasarkan informasi dari korban mereka mengalami kekerasan dari anggota Kepolisian pada saat ditangkap. Selain kepada peserta aksi, 28 jurnalis ikut mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian saat meliput penolakan masyarakat terhadap Omnibus Law.
Jargon #PolriTegasHumanis harus dibuktikan, jangan hanya jadi sebuah apologi untuk membantah kritik publik atas kinerja kepolisian. Jika kepolisian tetap bersikap abai dan tidak menindak tegas secara hukum aparat yang melakukan kekerasan, maka tidak salah jika publik lebih memilih meyakini dan percaya dengan jargon #PercumaLaporPolisi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan mendesak:
1. Agar Kapolri Listyo Sigit Prabowo memerintahkan Kapolda Banten dan Kapolres Tangerang untuk menghormati hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan menghentikan penangkapan sewenang-wenang kepada peserta aksi;
2. Kapolri untuk memutus rantai impunitas dan memastikan penegakan hukum baik secara pidana, disiplin, maupun etik agar berjalan kepada seluruh aparat kepolisian yang melakukan brutalitas kepada peserta unjuk rasa;
3. Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengamanan unjuk rasa;
4. Komnas HAM, Kompolnas dan Ombudsman RI untuk turun langsung menginvestigasi penangkapan sewenang wenang dan brutalitas aparat kepolisian untuk memberikan perimbangan terhadap upaya-upaya yang mengarah ke impunitas kekerasan.
Koalisi Anti Kekerasan Polisi
1. Aksi Kamisan Kaltim
2. Aksi Kamisan Semarang
3. Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law
4. Aliansi Batang Bergerak
5. Aliansi BEM Seluruh Indonesia
6. Aliansi BEM se-Undip
7. Bangsa Mahasiswa
8. BEM Fapet UNPAD
9. BEM FH UI
10. BEM FH Universitas Bengkulu
11. BEM FH UNSIKA
12. BEM FH UPNVJ
13. BEM FISIP UI
14. BEM FISIP Universitas Siliwangi
15. BEM FISIP UNMUL
16. BEM KBM Universitas Bengkulu
17. BEM KEMA FKB Universitas Telkom
18. BEM KM Universitas Yarsi
19. BEM KM UNNES
20. BEM Semarang Raya
21. BEM STHI JENTERA
22. BEM UI
23. BEM ULM
24. BEM Universitas Siliwangi
25. BEM UNSIQ
26. FraksiRakyatIndonesia
27. GERAM Jateng
28. Greenpeace Indonesia
29. JATAM Kaltim
30. Kelompok Belajar Anak Muda
31. KIKA
32. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
33. Lembaga Bantuan Hukum Samarinda
34. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta
35. PPHG FH UB
36. PUSaKO FH UNAND
37. Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia
38. YLBHI