Semenjak meroketnya angka positif Covid-19 pada pertengahan (Juni-Juli) tahun 2021, pemerintah menerapkan kebijakan PPKM darurat untuk membatasi mobilisasi dan aktivitas warga demi mencegah meluasnya penyebaran virus Covid-19. Setelahnya ketika memasuki akhir Juli dan awal Agustus, Pemerintah kemudian mulai melonggarkan pembatasan mobilisasi dan aktivitas warga secara bertahap. Kebijakan pelonggaran ini dilandasi dengan data turunnya angka kasus positif Covid-19 serta peningkatan progres jumlah vaksinasi di berbagai wilayah.
Pelonggaran pembatasan mobilisasi dimanfaatkan oleh beberapa sekolah untuk mulai melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT), yaitu kegiatan pembelajaran secara luring dengan ketentuan dibatasinya jumlah peserta didik yang dapat hadir secara langsung di sekolah. Adapun ketentuan PTMT ini juga diatur pada SKB 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di masa Pandemi Covid-19 yang terbit pada April 2021 lalu, dimana isinya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan dengan pembelajaran tatap muka terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan; dan/ atau pembelajaran jarak jauh.
Namun sayangnya baru-baru ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek) merilis data survei terkait munculnya 25 klaster penularan Covid-19 di DKI Jakarta yang terjadi karena adanya kegiatan PTMT. LBH Jakarta menilai, keputusan pemerintah untuk memulai pembelajaran tatap muka terlalu prematur dan membahayakan baik bagi peserta didik maupun tenaga pengajar.
Di sisi lain dengan adanya kejadian dan klaster penularan COVID-19 tersebut, menjadikan upaya penurunan kurva angka kasus positif Covid-19 menjadi melamban. Meskipun pembelajaran secara daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) dianggap memiliki banyak keterbatasan sehingga peserta didik tidak dapat menyerap materi pembelajaran secara optimal, namun hal tersebut tidak serta merta dapat dijawab dengan diberlakukannya PTMT.
LBH Jakarta menilai bahwa kebijakan penyelenggaraan PTMT semestinya tidak dikeluarkan sebelum adanya persiapan yang baik dan komprehensif. Persiapan yang baik antara lain mencakup sarana prasarana yang memadai untuk dilaksanakannya PTMT, serta terjaminnya hak atas kesehatan seluruh tenaga pengajar dan peserta didik.
Selain itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan risiko penyebaran virus Covid-19 di kalangan pelajar anak yang cenderung lebih tinggi mengingat kesadaran serta pemahaman anak untuk menerapkan protokol kesehatan cenderung lebih minim dibandingkan orang dewasa. Terlebih saat ini pelajar anak adalah kelompok yang paling rentan karena belum mendapatkan perlindungan melalui vaksinasi.
Dengan munculnya 25 klaster Covid-19 yang berasal dari kegiatan PTMT ini menjadi bukti bahwa ketentuan mengenai penerapan protokol kesehatan yang ketat pada saat sekolah melaksanakan PTMT tidak dapat mencegah penyebaran Covid-19 secara maksimal, dan persiapan kebijakan PTMT nampaknya belum benar-benar komprehensif.
Berangkat dari persoalan munculnya 25 klaster penularan COVID-19 di sekolah-sekolah wilayah DKI Jakarta yang menerapkan PTMT, LBH Jakarta mendesak agar;
- Pemerintah untuk melakukan evaluasi dan menunda untuk sementara waktu kebijakan Pembelajaran Tatap Muka baik di institusi pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi;
- Pemerintah untuk memperbaiki peraturan-peraturan terkait mengenai Pembelajaran Tatap Muka Terbatas serta syarat-syarat konkrit yang ketat saat hendak menerapkan PTMT;
- Mempercepat pelaksanaan vaksinasi secara menyeluruh dan tepat sasaran khususnya kepada tenaga pengajar maupun peserta didik;