Pandemi Covid-19 telah melanda lebih dari dua tahun di Indonesia. Wabah ini telah menyebabkan berbagai macam persoalan serius di seluruh lini sektor kehidupan masyarakat, baik persoalan ekonomi, sosial, politik, hingga ketenagakerjaan. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah buruh. Berbagai permasalahan timbul, mulai dari pelanggaran Hak Normatif, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan minimnya Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Berangkat dari persoalan tersebut, LBH Jakarta kemudian melakukan riset laporan pemantauan pelanggaran hak buruh selama Pandemi Covid-19 yang hasilnya diluncurkan pada Sabtu, 28 Agustus 2021 dengan tema : “BURUH DICEKIK PANDEMIK”.
Diskusi peluncuran Laporan Pemantauan Pelanggaran Hak Buruh selama Pandemi : “Buruh Dicekik Pandemik” tersebut, dihadiri oleh Jeanny Sirait sebagai Penulis laporan pemantauan, Saut C. Manalu (Mantan Hakim Ad Hoc PHI), Nining Elitos (Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI) dan Sri Astuti (Perwakilan Ditjen Binwasnaker dan K3 – Kemnaker) sebagai Penanggap.
Laporan pemantauan tersebut menyimpulkan berbagai pelanggaran hak buruh yang masif dan merata terjadi selama Pandemi Covid-19. Pertama, bentuk Pelanggaran Hak Normatif yang paling sering dialami oleh Buruh adalah pemotongan upah (unpaid leave) sebanyak 52,11% dari 7188 Buruh di JABODETABEK. Disamping itu juga terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewenang-wenang, Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak dibayarkan atau dibayarkan bertahap, hingga penahanan dokumen-dokumen pribadi Buruh. Adapun persentase pemotongan upah tertinggi mencapai 50% dari upah Buruh. Kedua, bentuk pelanggaran Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang paling sering dialami oleh Buruh adalah tidak adanya upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 ditempat kerja, yakni 38,58% dari 889 Buruh di JABODETABEK.
Pelanggaran Hak Buruh selama Pandemi Covid-19 adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya pelanggaran hak atas pekerjaan dan hak atas pemenuhan standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau. Lebih lanjut, pelanggaran HAM bagi buruh ini dilegalkan oleh Pemerintah dalam berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh seperti SE MENAKER M/3/HK.04/III/2020, SE MENAKER M/7/As.02.02/V/2020, SE MENAKER M/6/HI.00.01/V/2020, SE MENAKER M/6/IV/2021 hingga pengesahan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berdampak pada terus terjadinya pelanggaran hak buruh meski Pandemik telah berakhir kelak. Keadaan ini diperburuk dengan minimnya fungsi pengawasan dan tidak efektifnya kinerja Dinas Tenaga Kerja.
Para penanggap menyatakan bahwa temuan yang disampaikan dalam Laporan Pemantauan adalah benar adanya. Sri Astuti (Perwakilan Ditjen Binwasnaker dan K3 – Kemnaker) menyatakan bahwa data PHK di seluruh Indonesia pada Januari – Agustus 2021 telah mencapai 538.305 buruh. Hal ini menunjukan garis lurus dengan hasil data PHK pada riset pemantauan LBH Jakarta. Lebih lanjut, Sri Astuti juga menyampaikan bahwa sektor yang kerap melakukan pelanggaran adalah sektor perdagangan, pariwisata dan kuliner.
Saut C. Manalu (Mantan Hakim Ad Hoc PHI) menyatakan bahwa salah satu penyebab tidak efektifnya kinerja Dinas Tenaga Kerja dapat disebabkan oleh politik anggaran yang minim. Sehingga sulit bagi pengawas untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang membutuhkan mobilitas tinggi. Pada praktiknya, banyak pelaksanaan pengawasan yang difasilitasi oleh perusahaan, hal ini juga tentu saja akan mempengaruhi kinerja pengawas. Lebih lanjut, Nining Elitos menyoroti pula kelompok buruh yang paling rentan, yakni kelompok buruh perempuan. Banyak sekali kasus dimana buruh perempuan yang dalam keadaan hamil atau menyusui harus bekerja di tengah kerumunan tanpa alat perlindungan diri yang mumpuni. Dampaknya, dapat menyebabkan buruh perempuan tersebut terpapar covid hingga bayi yang dikandungnya meninggal dunia.
Berdasarkan pada paparan kondisi tersebut, dalam rangka memperbaiki situasi perlindungan HAM bagi Buruh, LBH Jakarta mendesak :
- Presiden Republik Indonesia, untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) untuk membatalkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, untuk berhenti mengeluarkan kebijakan yang tidak memiliki kedudukan yang jelas dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan diskriminatif terhadap Buruh. Serta menambah sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan dan petugas perselisihan hubungan industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan/atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Ketenagakerjaan;
- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan/atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengawas Ketenagakerjaan di seluruh JABODETABEK, untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik khususnya fungsi pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, agar berbagai pelanggaran hak yang dialami oleh Buruh tidak terus berlanjut;
- Pelaku Usaha atau Pemberi Kerja di seluruh JABODETABEK. untuk memberikan pemenuhan hak normatif bagi Buruh, tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sewenang-wenang dan menjamin pemenuhan protokol kesehatan bagi Buruh di tempat kerja demi menjamin Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dari virus Covid-19.
Jakarta, 04 September 2021
Hormat Kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA