Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras dan mengutuk tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan prajurit TNI yang berdinas di di wilayah Kodim 1627 Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Serka AOK dan Serma B kepada seorang anak berusia 13 tahun, berinisial PS (selanjutnya disebut korban), pada tanggal 19 Agustus 2021. Penyiksaan tersebut dilakukan dengan dalih karena korban diduga melakukan pencurian handphone milik prajurit TNI tersebut.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, korban mengalami nyeri pada tubuh, mulutnya berdarah, luka lecet di bagian wajah, dan bagian tubuh lainnya. Luka bakar di bagian belakang tubuh korban dikarenakan terkena 15 batang rokok. Selain itu, alat kelamin korban juga ditempelkan dengan lilin dan pasta gigi, lalu dibakar dengan api. perlakuan kejam dan tidak manusiawi tersebut, membuat korban tidak tahan dan terpaksa mengakui bahwa korban yang mencuri handphone milik prajurit TNI tersebut. Padahal faktanya korban tidak mengetahui apapun terkait pencurian tersebut. Atas tindakan penyiksaan tersebut, korban dilarikan ke RSUD Rote Ndao Ba’a oleh orang tuanya. Tidak hanya luka fisik yang diderita, korban juga mengalami trauma pasca peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI tersebut, hal ini terlihat dari perilaku korban yang merasa ketakutan dan tidak ingin ditinggalkan sendirian di rumah sakit.
Berdasarkan fakta peristiwa tersebut, kami mengindikasikan apa yang dilakukan oleh prajurit TNI tersebut telah melanggar prinsip hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik):
“Tidak seorangpun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.”
Selain itu tindakan tersebut juga melanggar Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Hak-Hak Anak, Undang, Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Koalisi menilai tindakan yang dilakukan oleh Prajurit TNI tersebut merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 76C Jo. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 65 ayat (2) Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI):
“Prajurit …… tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Maka dari itu koalisi menilai Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak tersebut harus dibawa dan diadili di muka Peradilan Umum.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh KontraS, sepanjang bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, terdapat 7 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh TNI. Selain itu, penyiksaan oleh prajurit TNI kepada anak di bawah umur di Nusa Tenggara Timur bukan hanya terjadi kali ini. Beberapa saat sebelum kasus ini terjadi, kasus serupa dialami oleh dua orang anak di bawah umur yang mendapatkan tindakan kekerasan oleh prajurit TNI dengan dalih penegakan protokol kesehatan.
Untuk itu, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak:
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) agar memerintahkan Jajaran dibawahnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap prajurit TNI yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak (PS);
- Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) segera menerbitkan keputusan Pemberhentian secara tidak hormat terhadap Serka AOK dan Serma B yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak (PS);
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendampingi dan memberikan fasilitas pemulihan psikologis bagi korban, mengingat korban masih dalam usia anak mengalami langsung peristiwa penyiksaan tersebut;
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus memberikan perlindungan bagi korban, keluarga korban, maupun saksi dalam menuntut haknya terkait tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI, serta memberikan pengawasan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak korban berdasarkan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan memberikan pengobatan fisik, psikis sampai pemulihan;
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Jakarta, 24 Agustus 2021
Koalisi Reformasi Sektor Keamanan
Lampiran Kronologi:
Kasus ini terjadi pada hari Kamis tanggal (12/8) sekitar pukul 19.00 WITA korban dijemput dari rumah korban dengan alasan kalau korban mencuri handphone milik prajurit TNI AOK dan rekannya B dibawa menuju rumah rekannya di RT 09 RW 03 Kelurahan Metina Kecamatan Lobalain.
Bahwa korban pulang kembali ke rumah ketika tengah malam dan tidak menyampaikan apapun kepada orang tua korban. Kemudian keesokan harinya Jumat (13/8) korban dicari lagi saat sedang bermain di Pantai Baa untuk diinterogasi seputar masalah hilangnya handphone.
Selanjutnya kamis (19/8) sekitar pukul 19.00 WITA korban kembali dijemput lagi oleh prajurit TNI tersebut, B dan sejumlah rekannya. Setelah mengetahui kedatangan AOK dan rekan-rekannya, korban merasa ketakutan dan bersembunyi di dalam lemari kamarnya. Di Kamar tersebut korban langsung dianiaya oleh AOK hingga mulutnya berdarah dan dibawa lagi ke rumah rekannya B yang juga prajurit TNI.
Beberapa saat kemudian ayah dan ibu korban menyusul ke rumah B untuk melihat kejadian apa yang sedang dialami korban. Setelah mengetahui anaknya sedang diikat pada kedua tangannya dan kedua kakinya dan dianiaya sampai tidak berdaya oleh AOK, ayah korban sampai tidak tega dan justru mengambil sikap pulang kembali ke rumah. Setelah ditinggal pulang oleh kedua orang tuanya korban diantarkan pulang dini hari dalam keadaan telanjang karena pakaian yang dikenakannya sudah dirobek oleh AOK. Korban diantarkan pulang hanya ingin ditunjukkan dimana handphone milik AOK disembunyikan. Karena korban tidak mampu menunjukan tempat ia menyembunyikan handphone tersebut karena memang korban bukanlah orang yang mencuri, amarah AOK makin tersulut dan kembali melakukan penganiayaan dan dibawa kembali ke rumah B.
Sekitar pukul 09.00 WITA, korban baru dibawa kembali pulang ke rumah korban oleh rekan-rekan AOK. Sesampainya dirumah korban langsung jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke RSUD Baa untuk mendapatkan pertolongan medis.